Demikianlah sekilas dan sedikit yang saya pahami tentang Metafisika Ketuhanan dari percakapan tentang Neoplatonisme dan Proclos yang saya temukan dalam buku ini. Saya tentu tidak punya otoritas untuk mengurainya lebih jauh dari ini. Uraian saya berikut ini ingin melihatnya dari sudut pandang Islam melalui pikiran para pemikir sufi falsafi sebagaimana yang saya pahami.
Pertemuan Gagasan Neoplatonisme dalam Dunia Arab-Islam
Pandangan-pandangan di atas sungguh sangat menarik hati. Harry, telah memberi saya jalan terang ke arah pertemuan saya dengan isu-isu mendasar yang terdapat dalam pengetahuan kaum sufi falsafi; Tasawuf Falsafi yang relative dapat saya mengerti meski serba sedikit dan terbatas. Maka sangat penting bagi saya untuk mengajukan pertanyaan dasar: bagaimana filsafat Neoplatonisme ditarik ke dalam pandangan Islam atau para pemikir atau ulama Islam?.
Seperti sudah maklum, Islam hadir abad ke 7 M di sahara Arabia, melalui kehadiran Muhammad bin Abd Allah (571-632 M). Kaum muslimin meyakini bahwa beliau adalah Nabi dan Rasul (utusan Tuhan) terakhir. Ia hadir untuk melanjutkan dan melengkapi misi profetik para utusan Tuhan sebelumnya. Misi tersebut adalah membebaskan kebodohan, ketidakadilan dan penderitaan manusia menuju tatatan dunia yang diliputi oleh cahaya pengetahuan, keadilan dan cinta.
Tuhan dalam Al-Qur’an menyatakan :
الر ۚ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha TerpujiTerpuji.”
Dunia gelap adalah dunia manusia yang tak paham tentang kemanusiaan dan penuh penindasan manusia atas manusia. Dan dunia bercahaya adalah dunia manusia yang berpengetahuan, keadilan dan cinta kasih. Untuk kepentingan ini Nabi Muhammad mengenalkan kembali doktrin fundamental para utusan Tuhan : Ke Esa-an Tuhan, yang telah dilupakan atau diasingkan umat manusia saat itu.
Wahyu Tuhan yang diterimanya menegaskan : “Muhammad, sampaikan kepada dunia : Tuhan itu Esa. Tuhan yang kepada-Nya segala sesuatu bergantung. Dia tak melahirkan dan tak dilahirkan. Tak ada apapun (selain Dia) yang sama dengan Dia.” (Q.S. al-Ikhlas, [112]:1-4). Muhammad menerima wahyu itu sesudah berhari-hari berkontempelasi penuh di sebuah goa di puncak gunung. Sejak saat itu kemudian mengalir dan bertahap “Suara-Suara” (Wahyu) Tuhan kepadanya, selama kurang dari 23 tahun.
Adalah menarik bahwa dari seluruh teks-teks wahyu yang diturunkan kepada Muhammad, tak satupun teks yang meminta manusia memikirkan tentang Zat/Diri Tuhan. Sebaliknya kitab suci Islam berkali-kali ia meminta mereka memikirkan dan merenungkan alam semesta. Muhammad, sang utusan Tuhan, mengatakan : “Tafakkaru fi Khalq Allah wa La Tatafakkaru fi Dzat Allah” (Pikirkan dan renungkan) alam semesta, dan tak usah kalian memikirkan Essensi Allah).
Kau akan menemukan Tuhan. Namun demikian tak ada rumusan teoritik filosofis dan sistemik yang dibuatnya untuk keperluan itu. Tak ada pula kata “filsafat” pada masa itu. Kitab suci al-Qur’an hanya menyebut kata “al-Hikmah” dalam banyak teks. Ia acap diterjemahkan sebagai “pengetahuan hakiki” dan “kebijaksanaan”. Wahyu Tuhan diarahkan kepada jantung manusia, bernama “jiwa”, “ruh”, “akal”, “nafs” dan “pena”. Ini adalah terma-terma yang abstrak. Para pemikir Islam dikemudian hari mendefinisikannya secara beragam.
Ketika Nabi Muhammad wafat, para sahabatnya telah menyebar ke berbagai negeri, antara lain Irak, Syam ( Syria, Yordania, Palestina, Lebanon), Mesir dan Persia bahkan sampai China. Di tempat-tempat itu mereka bertemu, bersentuhan dan berinteraksi dengan kebudayaan setempat yang telah terbentuk dan mengakar.
Ahmad Amin menginformasikan kepada kita bahwa ketika Islam masuk ke wilayah Syria dan Irak, kaum muslimin menemukan pikiran-pikiran dan kebudayaan masyarakat di wilayah tersebut yang diliputi oleh beragam kebudayaan, terutama Yunani, dan lebih khusus lagi pikiran Neoplatonisme, di samping Nasrani, Budha dan Zoroaster. Filsafat Yunani telah menyebar di Timur. Ketertarikan kaum muslimin pada kebudayaan di sana pada gilirannya menggerakkan Dinasty Umayyah di Damaskus untuk menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab.
Adalah Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah (634-704 M ) disebut sejumlah penulis sebagai orang pertama yang memperkenalkan filsafat Neoplatonisme ke dunia kaum muslimin. Ia mengembara ke Iskandaria dan belajar di perpustakaan di sana selama beberapa tahun. Di tempat itu, di sebuah perpustakaan besar, ia mempelajari sekaligus menerjemahkan buku-buku filsafat, kedokteran, astronomi, sastra dan sebagainya.
Lalu di Mesir ada Dzunnun al-Mishri (w. 786-859 M), seorang yang namanya disebut sebagai sufi besar. Ia mempunyai hubungan erat dengan tradisi Mesir kuno, juga tradisi filsafat Hellenis, Platonisme, Kristen dan Yahudi. Namanya dikenal kemudian sebagai penggagas teori “Ma’rifah” (gnostik) dalam tradisi sufisme Islam.
Sejumlah tokoh muslim awal yang mempelajari filsafat Helenistik, terutama Platon dan Aristoteles di atas, kemudian menerjemahkan karya-karya para filsuf Yunani ke dalam bahasa Arab baik melalui bahasa Yunani maupun bahasa Suryani Nestorian. Aktifitas penerjemahan warisan kebudayaan Yunani itu kemudian dilanjutkan pada masa dinasti Abbasiah di Irak.
Abu Ja’far al-Manshur (712-775 M), Khalif ke dua, meminta Ibn al-Muqaffa’ (724-759 M), cendikiawan beragama Majusi dari Persia, untuk menerjemahkan sejumlah karya logika Aristoteles, dan “Isagogi”, karya Porphyrius. Ibnu Muqaffa ini dikenal sebagai penerjemah buku yang sangat terkenal “Kalilah wa Dimnah”, sebuah buku sastra warisan India.
Gerakan penerjemahan warisan kebudayaan lama itu menemukan momentum paling penting adalah ketika dinasti ini dipimpin al-Makmun. Konon, Makmun pernah bermimpi bertemu seseorang yang menyebut diri sebagai Aristoteles. Mimpi itu menitipkan kesan yang sangat mendalam pada pikirannya. Ahli-ahli penerjemah lalu dimintanya menerjemah karya-karya Yunani kuno, atau yang dikenal sebagai “Ulum al-Awail” (ilmu-ilmu kuno).
Kepada mereka Khalifah Al-Makmun memberi imbalan yang layak. Para penerjemah tersebut antara lain Yahya bin Abi Manshur, Qusta bin Luqa, Sabian bin Tsabit bin Qura dan Hunain bin Ishaq (809-973 M). Hunain bin Ishaq adalah penerjemah paling terkenal. Ia salah seorang ilmuwan Nasrani dengan penguasaan atas sejumlah bahasa agama dan ilmu pengetahuan. Dia mendapat kehormatan Abdullah Al-Makmun putra Harun Al-Rasyid untuk menerjemahkan buku-buku karya para filsuf Yunani, terutama Platon dan Aristoteles.
Al-Makmun juga pernah mengirim utusan kepada Raja Roma, Leo Armenia, untuk mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani Kuno yang kemudian diterjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Aktifitas penerjemahan ini disertai pula dengan uraian dan penjelasan yang diperlukan. Ia kemudian mendirikan perpustakaan besar,“Bait al-Hikmah” (Rumah Kebijaksanaan).
Karya-karya Platon yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab antara lain: “Republika”, “Politeia”, Timeus, Sophist. Sementara dari Aristo adalah Logika, Fisika, Metafisika, Etika, dan Politik. Al-Makmun bin Harun Ar-Rasyid (813-833 M) memerintah Bani Abbasiyah pada 198-218 H/813-833 M. Ia adalah khalifah ketujuh Bani Abbasiyah sesudah saudaranya, Al-Amin yang keturunan Arab. Ibunya bernama Zubaidah. Sementara al-Makmun adalah putra Harun dari ibu keturunan Persia. (bersambung)