Mubadalah.id – Sebagai Istri Pertama Rasuluallah, Sayyidah Khadijah memang termasuk ke dalam Asabiqunal Awalun atau golongan orang-orang pertama yang masuk Islam. Ia juga merupakan perempuan pertama yang masuk Islam. Namun belum banyak yang tahu bahwa sebenarnya keimanan Khadijah sudah ia miliki jauh sebelum nubuwah kenabian diberikan pada Rasuluallah.
Keimanannya Mendahului Nubuwah
Khadijah binti Khuwailid lahir pada tahun 555 M di Mekkah dari keluarga bangsawan Quraisy. Ayahnya, Khuwailid bin Asad, adalah seorang pedagang terkemuka di Mekkah dan ibunya, Fatimah binti Za’idah, berasal dari keluarga yang juga terkemuka di Mekkah. Sejak kecil, ia tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga yang kaya dan berpengaruh di Mekkah.
Setelah dewasa, Sayyidah Khadijah menjadi seorang pebisnis sukses dan terkenal di Mekkah. Ia mengelola perdagangan karavan besar yang menghubungkan Mekkah dengan Syam dan Yaman. Kecerdasannya dalam berbisnis dan keuletanya membuat bisnisnya berkembang pesat. Keberhasilannya dalam bisnis juga menjadikan Khadijah sebagai salah satu perempuan terkaya di Mekkah pada masa itu.
Sayyidah Khadijah memiliki seorang saudara sepupu bernama Waraqah bin Naufal, Waraqah adalah orang yang menguasai kitab-kitab suci terdahulu, khususnya Yahudi dan Nasrani. Waraqah termasuk orang langka.
Di saat mayoritas orang Quraisy menyembah berhala, ia mempercayai tradisi agama-agama terdahulu dan menolak menyembah berhala. Ia mencari agama yang lurus (hanif ) dari ajaran Nabi Ibrahim. Dari sepupunya itulah Khadijah banyak mempelajari tentang agama samawi, termasuk berita tentang nubwuah kenabian seorang rasul akhir zaman.
Kecerdasan yang ia miliki membuatnya mudah untuk mengakses banyak informasi dari kitab-kitab yang ia pelajari dari sepupunya. Ia pun menjadi penasaran dan mulai mencari tahu kebenaran tentang adanya Rasul akhir zaman. Ia mulai mengidentifikasi dan mengonfirmasi tentang ciri-ciri dan sifat kenabian.
Dari sini kita bisa memahami, bahwa rasa penasaran dan pengetahuan Sayyidah Khadijah tentang berita nubuwah menjadi sebuah indikasi keimanan yang sebenarnya sudah ada dalam hatinya. Hanya saja ia belum bisa memverifikasinya sampai nubuwah itu diberikan pada Rasuluallah kelak di usia 40 tahun.
Meminang Rasuluallah
Hingga suatu hari rasa penasaranya itu terjawab dengan hadirnya seorang pemuda yang jujur, cerdas dan berbudi luhur dalam kehidupanya. Pemuda itu bernama Muhammad SAW, yang saat itu bekerja padanya. Muhammad muda berperan sebagai agen pemasar yang menjajakan bisnisnya ke luar kota.
Perangai jujur nan luhur dari Muhammad pun menarik perhatian Sayyidah Khadijah dan mengingatkanya akan sosok rasul akhir zaman yang selama ini ia cari. Khadijah yang cerdas tidak buru-buru mengambil kesimpulan. Ia pun memerintahkan salah satu asistenya bernama Maisarah untuk mengikuti dan mengawasi Muhammad selama dalam perjalanan.
Sepulang dari perjalanan dagang, Maisarah pun memberikan laporan pada Sayyidah Khadijah bahwa memang terdapat ciri-ciri kenabian yang ada pada diri Muhammad. Selain karea perangainya yang jujur dan luhur ada satu hal tak biasa yang juga hanya terjadi padanya. Maisarah memberitahu bahwa selama perjalanan Muhammad selalu dipayungi oleh awan yang mengikutinya.
Berbekal keyakinan yang kuat akan datangnya nubuwah, Sayyidah Khadijah pun memutuskan untuk meminag Muhammad SAW yang kala itu masih berusia 25 tahun. Meskipun terpaut usia yang cukup jauh dengan suaminya, Ia sangat menghormati dan selalu menjadi pendukung bagi suaminya dalam segala hal.
Lima belas tahun sudah masa pernikahanya. Keyakinan Sayidah Khadijah pada berita nubuwah membuatnya sedikit gelisah. Mengapa suami yang sangat ia yakini sebagai calon nabi tersebut tak kunjung memberikan suatu pertanda.
Hingga tibalah suatu malam, Saat suaminya itu berlari ketakutan dan memintanya untuk diselimuti. Saat itulah ia merasa yakin bahwa penantianya selama ini dan keputusanya untuk menikahi suaminya dulu tidaklah sia-sia. Suaminya benar-benar manusia terpilih yang akan menjadi Nabi akhir zaman.
Pengawal Wahyu Kenabian
Melihat suaminya yang ketakutan, Khadijah pun menenangkan dan meyakinkanya. Dengan penuh kasih, Khadijah mencoba menenangkan Rasuluallah seraya berucap,
“Sama sekali tidak. Demi Allah, Allah selamanya tidak akan menghinakan engkau. Sesungguhnya engkau selalu menyambung tali persaudaraan, selalu menanggung orang yang kesusahan, selalu mengupayakan apa yang diperlukan, selalu menghormati tamu dan membantu derita orang yang membela kebenaran.”
Khadijah pun berharap Nabi Saw. menjadi seorang utusan penghujung zaman yang akan memandu umat manusia (Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah).
Tidak banyak yang mengkritisi, mengapa Sayyidah Khadijah bisa begitu yakin dengan apa yang dilihat suaminya. Jawabanya adalah karena keyakinan pada berita nubuwah itulah yang sejak lama telah ia pelajari
Sayyidah Khadijah kemudian mengajak Nabi untuk menemui sepupunya, Waraqah bin Naufal. Dengan segala pengetahuannya, Waraqah menjelaskan jika lelaki yang datang kepada Nabi Muhammad di Gua Hira adalah an-Namus (Jibril), sama seperti yang datang kepada Musa dahulu. Waraqah juga memperingatkan kalau nantinya Nabi Muhammad akan didustakan, diganggu, diusir, dan diperangi oleh kaumnya sendiri.
Kecerdikan Sayidah Khadijah
Sayyidah Khadijah adalah seorang yang cerdik. Meskipun rasa penasarannya telah terjawab, ia perlu memastikan bahwa sosok yang ditemui suaminya adalah seorang malaikat pembawa nubuwah kenabian. Oleh karena itu suatu hari ia melakukan sebuah tes tanpa diketahui Rasuluallah.
Suatu hari Sayyidah Khadijah meminta Rasuluallah untuk memberitahunya manakala Jibril datang kepadanya. Maka saat Jibril datang Rasuluallah pun memberitahu kepada Khadijah. Khadijah pun duduk di dekat Rasuluallah dan menanyakan apakah Jibril masih di sana?
Rasuluallah pun mengiyakan, kemudian ia merubah posisi duduknya dan betanya kembali, Rasuluallah memberi tahu bahwa Jibril masih di sana. Beberapa kali Khadijah merubah posisi duduknya dan bertanya pada Rasuluallah, namun jawabanya masih sama. Hingga dengan cerdik ia pun membuka kerudungnya (untuk menguji). Benar saja setelah itu Rasuluallah memberi tahu bahwa Jibril sudah pergi.
Sayidah Khadijah pun berkata : ”Bergembiralah dan bersabarlah. Demi Allah, sungguh dia adalah malaikat dan bukan setan.” Ia tahu betul jika yang datang pada suaminya adalah sosok malaikat, maka ia akan pergi saat melihat aurat perempuan.
Dari sini kita bisa melihat bahwa peranan Sayyidah Khadijah sangatlah besar pada masa awal kenabian. Tidak hanya sebagai istri yang mendukung dakwah suaminya, namun lebih dari itu, pengetahuan dan kecerdasan yang ia miliki ikut mengawal wahyu kenabian yang turun kepada Rasulullah.
Dedikasi Sayyidah Khadijah untuk Dakwah Kenabian
Sejak saat itu keyakinan Khadijah pada amanah kenabian yang diemban suaminya pun semakin mantap. Ia selalu mendukung apapun yang Rasuluallah lakukan. Khadijah yang terkenal sebagai pengusaha sukses itupun, tak segan menghabiskan seluruh hartanya demi mendukung dakwah kenabian.
Pada awal masa dakwah, Rasulullah hanya memiliki sedikit pengikut dan sumber daya yang terbatas. Namun, Sayyidah Khadijah dengan kekayaannya, memberikan dukungan finansial yang besar bagi dakwah Nabi Muhammad SAW. Ia membiayai perjalanan dakwah dan memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi para pengikutnya.
Selain itu, Sayidah Khadijah juga menjadi tempat berlindung dan memberikan dukungan moral kepada Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi tantangan dan tekanan yang berat.
Dedikasinya untuk dakwah kenabian sangatlah konsisten, bahkan hingga menjelang akhir hayatnya. Terdapat sebuah percakapan dan kisah yang sangat menyentuh antara Sayyidah Khadijah dan Rasuallah yang sangat jelas menunjukan keteguhanya untuk terus memberikan kontribusi terhadap dakwah Islam.
Rasulullah pernah bertanya pada Sayidah Khadijah “Dahulu engkau wanita mulia dan bangsawan. Kini engkau dihina oleh orang lain. Semua orang menjauhimu. Kekayaanmu habis. Apakah engkau menyesal bersuamikan Muhammad?” Tanya Rasuluallah pada Sayidah Khadijah.
“Wahai suamiku dan nabi Allah. Bukan itu yang kami tangisi. Kemuliaan dan kekayaan yang kami miliki, diserahkan pada Allah dan Rasul-Nya. Sekarang kami tak punya apa-apa, tetapi engkau terus memperjuangkan agama ini. Seandainya aku mati, namun perjuangan ini belum selesai. Maka galilah lubang kuburku. Ambillah tulang belulangku untuk dijadikan jembatan menyeberangi sungai atau lautan,” jawab Sayidah Khadijah.
Sebegitu royalnya komitmen Sayidah Khadijah terhadap dakwah Islam, sampai-sampai ia berharap sisa-sisa tulang tubuhnya setelah kematian, masih bisa bermanfaat. Dengan dedikasinya yang cukup besar kiranya pantas jika Sayyidah Khadijah meminta sesuatu yang besar pada Rasuluallah di akhir hayatnya. Namun nyatanya ia hanya meminta sorban Rasuluallah, itupun disampaikanya dengan rasa malu.
Permintaan Sederhana
Di saat Khadijah terbaring sakit (menjelang ajal kematian). Sebagai istri, ia meminta maaf pada nabi, ia khawatir jika kurang berbakti pada Rasulullah. Mendengar permohonan maaf itu, sontak nabi mengatakan bahwa Khadijah telah mendukung dakwah Islam secara penuh dan benar-benar berbakti pada suami.
Di saat yang berbeda, Sayidah Khadijah memanggil putrinya Fatimah sambil berbisik bahwa ajalnya akan segera tiba. Yang ia takutkan adalah siksa kubur. Oleh karena itu ia meminta tolong kepada Fatimah untuk memintakan sorban yang biasa Rasuluallah pakai saat menerima wahyu dari Allah.
Ia merasa malu dan takut untuk mengatakan hal itu secara langsung kepada Rasuluallah sehingga ia meminta tolong lewat putrinya. Diketahui, sorban itu akan dijadikan sebagai kain kafan.
Mendengar hal itu, Rasuluallah mengatakan, bahwa Allah telah menyiapkan surga untuk istrinya. Di saat yang sama, Sayidah Khadijah menghembuskan nafas terakhir di pangkuan Rasuluallah. Setelah kewafatannya, Jibril pun turun dengan membawa 5 kain kafan yang salah satunya diperuntukkan khusus untuk Sayyidah Khadijah. []