• Login
  • Register
Sabtu, 5 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Hampa dan Rasa yang Tertinggal dari Hari Raya

Hari raya, meski ada kehampaan yang tertinggal, aku masih ingin mengingati ragam kenangan, kampung halaman dan orang-orang di masa lalu.

Zahra Amin Zahra Amin
05/04/2025
in Personal
0
Hari Raya

Hari Raya

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Enam hari sudah Hari Raya Idulfitri 1446 H berlalu. Segala kewajiban pun telah tertunaikan sudah, zakat fitrah, zakat mal, THR dan bingkisan lebaran. Lalu terakhir salat Idulfitri yang berlanjut dengan silaturahmi bersama keluarga ke kerabat dan tetangga terdekat. Lantas kini hanya ada rasa hampa yang tertinggal dari hari raya.

Entah kita sadari atau tidak, semakin tahun lingkaran silaturahim kita semakin mengecil dan berkurang. Satu demi satu orang yang kita tuakan meninggal dunia. Ada rasa sesak ketika kita hanya melintas saja di depan rumahnya.

Mungkin di sini juga pentingnya Halal bi Halal antar keluarga dalam lingkaran keluarga yang lebih besar, agar yang tua dan muda berkumpul untuk saling mengenalkan. Sehingga jika ada orang tua yang wafat, tali silaturahmi tetap terawat dengan baik.

Sayangnya, di tahun ini keluarga besarku memutuskan meniadakan Halal bi Halal, karena dampak PHK di beberapa perusahaan di Jakarta. Bertambah dengan banjir yang menghantam wilayah Bekasi dan sekitarnya di bulan puasa kemarin, sehingga di antara sanak kerabat memilih tidak mudik tahun ini.

Menilik Lansia di Hari Raya

Ketika memasuki rumah-rumah yang masih ada orang lanjut usia, aku membatin, kelak esok pun aku akan seperti mereka. Ada yang mendapatkan perlakuan baik dari keluarganya, namun ada yang terabaikan dan tak terurus, sehingga refleks ketika masuk ke kamarnya aku menahan nafas dengan bau-bauan dan aroma yang tak sedap.

Baca Juga:

Cara Mengatasi Rasa Jenuh dalam Kehidupan Rumah Tangga

Menilik Masjid Ramah Musafir: Buka 24 Jam!

Tradisi Syawalan di Pekalongan, Meningkatkan Ukhuwah dan Perekonomian Masyarakat

Hari Kemenangan dan 11 Bulan Kemudian

Menilik lansia di hari raya adalah gambaran kita di esok hari, bagaimana relasi kita, gaya hidup dan pola makan akan mempengaruhi kehidupan di masa tua. Sebenarnya yang lebih penting adalah perhatian dan kepedulian dari anak, mantu dan cucu-cucunya. Bahkan aku sampai merenung, andai orangtuaku dan mertua masih hidup, apakah kami mampu merawatnya dengan baik?

Melihat ada satu dan dua orang lansia yang terlantar di hari raya ini, membuatku spontan berucap, esok aku ingin tinggal di Panti Wreda saja, sepertinya lebih nyaman, ada yang mengurus dan ada teman sebaya minimal bisa bercengkrama dengan sesama lansia. Anak lelakiku langsung merespon, “Jangan Mamah, nanti biar Aqiel yang ngurus Mamah kalau sudah tua.” Begitu saja sudah membuat hatiku meleleh.

Entah di sekitar Cirebon Indramayu ini apakah ada Panti Wreda yang layak ditempati oleh lansia, minimal secara fasilitas dan layanan sesuai standar dari dinas terkait. Setidaknya para lansia ini bisa terkontrol kebersihan dan kesehatannya, karena lansia juga manusia yang berhak atas kehidupan yang layak.

Perjalanan Menjadi Manusia

Pada akhirnya perjalanan menjadi manusia akan sampai pada muara, entah di titik mana langkah itu akan terhenti. Entah di usia berapa, jantung akan berhenti berdetak. Di setiap hari raya, meski ada kehampaan yang tertinggal, aku masih ingin mengingati tentang ragam kenangan, pada keluarga dan orang-orangnya di masa lalu. Pada kampung halaman yang mungkin tak pernah lagi sama.

Sebagaimana yang Maria Hartiningsih ungkapkan dalam novelnya yang berjudul Pulang. Awal dan akhir, suatu perjalanan mustahil kita ungkapkan. Tetapi begitu melangkah, tak ada kekuatan dari luar yang dapat menghentikan, karena setiap langkah adalah doa.

Di dalamnya ada yang berlalu dan yang baru, namun yang lalu adalah baru, dan yang baru segera lalu, dengan waktu sebagai penentu. Di dalam waktu , semua datang untuk pergi dan yang pergi akan hadir lagi dalam bungkus lain.

Semuanya menyertai perjalanan sampai di penghujung, entah di mana, karena bukan itu tujuanku.

Pulang dan Suwung

Ya, pulang sejatinya adalah perjalanan menuju diri, kedalaman jiwa yang tak pernah kita tahu seperti apa. Hening, wening, bening. Istilah lain adalah suwung. Ruang kosong yang tak berarti hampa, namun menyimpan banyak makna. Akhir perjalanan manusia yang selalu diawali dengan keberangkatan dan kepergian. Meski kita tak pernah bergerak ke mana-mana.

Dalam kata suwung, aku seperti menarik diri begitu dalam, melintasi diksi demi diksi yang Maria Hartingsih tuliskan. Katanya, ada banyak saat di dalam perjalanan itu beriringan dengan rasa suwung yang harus dipeluk, direngkuh, didekap agar terasakan detaknya. Suwung bukan kosong dan bukan kekosongan. Dia adalah timbunan berjuta ketakjuban di kedalaman senyap.

Dalam suwung, Maria Hartingsih menambahkan, aku melihat pengalaman sebagai perjalanan menerima dan melatih mata hati untuk melihat indahnya warna pelangi. Suwung mengajariku meletakkan bata-bata kesadaran untuk memahami keserbakosongan dalam situasi-situasi di antara.

Seperti sisi ketiga dari mata uang, itulah lapis pipih di antara yang terbuka dan tertutup atau sebaliknya, yang membuatku terbebas dari definisi baik-buruk dan tak berusaha menjadi ini-itu, selain diri, apa adanya.

Suwung, kata Maria Hartingsih, mengantarku memasuki labirin jiwa yang sangat jarang aku kunjungi dan merasakan kepenuhan dalam perjumpaan yang paling intim dengan diri sendiri. Dia melepaskanku dari pengetahuan luar dan atribut-atribut yang membelenggu, serta meletakkan diri dalam perjalanan menuju, senantiasa menuju.

Di dalam suwung, Maria Hartinigsih mengakhiri tulisannya, perjalanan memaknai adalah perjalanan ke depan, sekaligus menyusur ke belakang, dan di antara itu adalah diam. Semuanya menyatu dalam tarikan Ruang dan Waktu. []

 

Tags: Hampahari rayaLansialebaranpulangRasaSuuwng
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Rumah Tak

    Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Siapa Pemimpin dalam Keluarga?
  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID