Mubadalah.id – Era modern menunjukkan kehidupan manusia serba instan dan praktis, bahkan rasa bersyukur pun acapkali kita tanggalkan. Bukankah demikian? Maraknya perbuatan korupsi, pelecehan seksual, diskriminasi antar sesama, selalu terjadi dengan terus menerus menandakan berkurangnya rasa bersyukur seseorang.
Padahal, seharusnya bersyukur adalah sebuah tindakan yang ringan bukan hanya dalam ucapan. Syukur sendiri dalam etimologi menunjukkan rasa terimakasih dan membalas kebaikan. Sedangkan dalam kamus lisan al-arabi Syukur berarti mengetahui kebaikan dan menyebarkannya
Penggunaan makna syukur dalam kehidupan manusia sangatlah beragam, namun biasanya identik dengan sesuatu yang nilainya lebih, tambah, banyak dan berlimpah. Jika syukur kita kaitkan dengan hewan maka maksudnya adalah hewan yang kuat, artinya hewan tersebut bersyukur meski makanan yang ia makan hanya sedikit. Konsep makna syukur sudah dikenal sejak masa pra-Islam lewat syair-syair Arab Jahiliyah.
Di tengah dunia yang semakin cepat dan penuh tuntutan, kita kerap lupa satu hal penting: menjadi manusia seutuhnya. Kita terbiasa mengejar target, membandingkan pencapaian, dan menilai nilai seseorang dari apa yang terlihat—jabatan, kekayaan, atau popularitas.
Padahal, esensi menjadi manusia bukan terletak pada apa yang dimiliki, tetapi pada bagaimana kita memanusiakan sesama. Salah satu cara paling mendasar untuk mencapainya adalah dengan bersyukur.
Antropomofisme Bersyukur
Dalam hal ini maksud antropomorfisme adalah kecenderungan manusia untuk menyematkan sifat, perasaan, empati, atau pikiran manusia pada entitas non-manusia. Pada pembahasan ini berarti menghidupkan rasa bersyukur dalam diri sendiri dan memberi implikasi energi syukur kepada yang lain.
Dalam ranah psikologi, hal demikian menjadi fenomena menarik karena memberikan wawasan tentang cara manusia memahami dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Ayat yang familiar dalam kehidupan kita adalah Ibrahim Ayat 7
وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَىِٕن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِیدَنَّكُمۡۖ وَلَىِٕن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِی لَشَدِیدࣱ
(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras. (Q.S. Ibrahim:7)
Terhadap ayat ini, Tafsir Mafatih Al-Ghaib yang menjadi magnum opus Imam Fakhrur Ar-Razi menjelaskan adanya beban manusia agar menekankan berdzikir (mengingat), dan bersyukur. Konteks berdzikir dalam ayat ini menjelaskan agungnya fikiran manusia yang digunakan untuk menghamba kepada Allah dan berinteraksi dengan manusia.
Sedangkan bersyukur, Ar-Razi menganalogikan kehidupan manusia secara sederhana. Ar-Razi memaparkan kedekatan sesama manusia hanya dengan ucapan “Terima Kasih”. Jika kita kaitkan dengan kondisi yang rancu saat ini, egoisitas tinggi, gengsi merajalela, kehidupan penuh kamuflase, agaknya mengucapkan “terima kasih” merupakan perkara yang amat berat.
Saking beratnya, kita lupa akan berterimakasih kepada manusia, bahkan dengan keadaan diri sendiri pun jarang kita sadari. Setidaknya ucapan “Alhamdulillah” harus kita lestarikan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah Swt, sedangkan cara membalas kebaikan manusia adalah dengan bersyukur dan mengucap “terima kasih” kepadanya.
Ar-Razi lebih jauh menekankan kenikmatan yang terjalin antar manusia yakni adanya kedekatan antar keduanya. Kenikmatan tersebut dapat kita aplikasikan dengan bersyukur terhadap kebaikan yang telah hadir dalam keseharian. Demikian dapat dikatakan bahwa bersyukur bukanlah saja simbol penghambaan kepada Allah Swt, tetapi juga interaksi dan relasi dengan manusia secara harmonis.
Syukur bukanlah Akhir, Tapi Awal
Bersyukur bukanlah tanda bahwa perjuangan telah usai, ia merupakan tolak titik sebuah pangkal untuk melangkah lebih jauh dengan jiwa yang utuh. Ketika seseorang benar-benar bersyukur, ia tidak akan menjadi pasif atau merasa cukup dalam arti sempit. Ia justru terdorong untuk menjadi lebih baik, bukan demi kesombongan pribadi, tetapi agar keberadaannya bisa menjadi berkah bagi orang lain.
Dari bersyukur tumbuh kepedulian sosial. Bahwa kita masih membutuhkan orang lain hari ini dan bisa makan hari ini, mungkin ada orang lain yang belum tentu bisa. Rasa cukup itu bukan membuat kita diam, tetapi menggerakkan hati untuk peduli, berbagi, dan memperbaiki.
Kesadaran diri berawal dari terbentuknya bersyukur. Ia membuat lebih tenang dalm menyikapi hidup, tidak reaktif terhadap hal-hal kecil, dan lebih peka terhadap penderitaan orang lain. Dengan bersyukur, kita berhenti mengutuk kekurangan dan mulai mensyukuri kelebihan, baik dalam diri sendiri maupun orang lain. []