Mubadalah.id – Masa kanak-kanak sering dianggap sebagai masa bermain yang menyenangkan. Namun di balik itu, sejatinya periode ini adalah fase paling krusial dalam pertumbuhan manusia. Di sinilah karakter dasar seseorang anak dibentuk, baik dari aspek kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosional (EQ), maupun kecerdasan spiritual (SQ). Fondasi inilah yang nantinya akan menentukan arah dan kualitas hidup seseorang di masa dewasa.
Penelitian dan pengalaman praktik parenting menunjukkan bahwa kualitas pengasuhan di masa kanak-kanak sangat menentukan masa depan anak. Bahkan, proses pembentukan ini bisa kita mulai sejak anak berada dalam kandungan.
Jika sejak dini anak tidak memperoleh fondasi yang kuat dalam hal mental dan karakter, maka besar kemungkinan ia akan tumbuh menjadi pribadi yang rapuh—mudah goyah, sulit mengelola emosi, dan berpotensi menghadirkan masalah, baik untuk dirinya sendiri maupun orang-orang di sekitarnya.
Dalam konteks inilah, peran orangtua menjadi sangat penting. Karena anak bukan sekadar titipan, melainkan amanah yang harus dirawat dengan penuh kesungguhan. Orangtua bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang mampu menstimulasi tiga ranah kecerdasan anak: intelektual, emosional, dan spiritual. Ketiganya perlu tumbuh secara seimbang.
Namun, bagaimana membentuk fondasi kuat bagi ketiga kecerdasan tersebut? Jawabannya tentu tidak mudah. Karena kita membutuhkan pemahaman, kesabaran, dan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan anak serta konteks zaman yang terus berubah.
Dalam buku Parenting with Love karya Maria Ulfa Anshor mencoba mengurai jawaban atas pertanyaan penting ini. Beliau menekankan pentingnya mengawali pengasuhan sejak pembentukan keluarga, karena relasi antara pasangan orangtua juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak.
Rumah sebagai Ruang Belajar
Dengan pendekatan yang tidak menggurui, beliau mengajak para orangtua untuk menjadikan rumah sebagai ruang belajar yang penuh kasih sayang.
Di sanalah anak belajar mengenal nilai-nilai hidup, seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, dan spiritualitas. Semua itu tumbuh bukan dari ceramah panjang, melainkan dari keteladanan dan hubungan emosional yang sehat antara anak dan orangtuanya.
Anak adalah amanah, bukan hanya secara teologis, tetapi juga secara sosial dan psikologis. Maka menjaga amanah itu bukan sekadar memastikan anak tumbuh sehat secara fisik, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual.
Dalam masyarakat yang serba cepat dan kompetitif seperti sekarang, kemampuan anak untuk memiliki mental yang kokoh, empati yang tinggi, serta spiritualitas yang hidup akan menjadi bekal penting untuk menghadapi tantangan hidup ke depan.
Mendidik anak memang tidak mudah. Tapi ketika kita menyadari bahwa setiap pelukan, setiap kata-kata yang kita ucapkan, dan setiap keputusan kecil dalam pengasuhan bisa menentukan masa depan mereka, kita akan lebih berhati-hati dan penuh kesungguhan. Karena sejatinya, memperlakukan anak dengan penuh cinta dan tanggung jawab bukan hanya investasi keluarga, melainkan juga investasi peradaban. []