Mubadalah.id – Beberapa hari lalu, angin kabar dari Bandung berembus pelan, tapi menyesak di dada. Di sudut kota, dua gedung Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri A Pajajaran mesti rela berbagi atap dengan Sekolah Rakyat, program baru gagasan Kementerian Sosial. Dampaknya bukan sekadar tembok yang bergeser, melainkan ruang belajar anak-anak difabel yang menyempit, sunyi, dan kurang layak untuk bertumbuh ke arah yang lebih inklusi.
“Dampaknya dengan kondisi kelas yang kurang, sangat tidak kondusif,” ujar Bu Wenni Herawati, guru yang merawat mimpi-mimpi kecil di sana. Potongan foto ruang kelas yang dibongkar cepat beredar, jadi percakapan, jadi sangka-sangka. Banyak yang cemas: benarkah SLB akan dipindah, atau diam-diam diluruhkan demi bangunan baru?
Pihak kementerian memang menegaskan, Sekolah Rakyat berdiri untuk memutus rantai kemiskinan ekstrem, menggratiskan asrama dan bangku belajar bagi anak-anak dari keluarga miskin. Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2025 jadi tameng di atas kertas.
Niatnya tampak suci—memutus warisan kemiskinan lewat pendidikan. Tapi di balik niat yang mulia, muncul tanya yang perlu jawaban: kenapa mimpi membebaskan kemiskinan harus merampas ruang aman difabel? Bukankah semangat inklusi, dalam arti paling sederhana, justru memastikan tak satu pun yang tertinggal di luar pagar?
Sekolah Rakyat dan Ruang yang Tersisih
Sekolah Rakyat lahir dari semangat antipoverty—atau kalau mau di-Indonesiakan maknanya adalah pengentasan kemiskinan. Dalam naskah kebijakan, istilah ini terdengar gagah: break the cycle of poverty.
Sebuah janji: anak-anak dari keluarga paling rentan akan mendapat sekolah berasrama, seragam gratis, makan terjamin, dan bangku belajar yang tak memungut biaya. Sebuah jaring pengaman sosial yang cita-citanya adalah menambal celah-celah kemiskinan struktural.
Tapi, mimpi baik itu retak di sudut realita. Di Bandung, ruang belajar anak-anak disabilitas netra dan disabilitas rungu dipersempit untuk memberi jalan pada gedung baru. Ruang kelas SLB Negeri A Pajajaran terpaksa berbagi atap dengan bangku-bangku Sekolah Rakyat. Di atas kertas, keduanya berdiri di nama inklusi. Tapi di lapangan, yang satu harus minggir agar yang lain bisa berteduh.
Apa kabar inklusi kalau difabel justru tersingkir? Apa kabar rahmatan lil alamin kalau sebagian makhluk Allah terpaksa menepi, demi niat mulia yang lain?
Memahami Inklusi, Merumuskan Keadilan
Dalam konotasi pendidikan, inklusi bukan sekadar jargon di rapat-rapat kementerian. Ia adalah ruang yang sungguh-sungguh merangkul semua perbedaan: anak miskin, anak kaya, anak berkebutuhan khusus, anak mayoritas, anak minoritas. Sekolah inklusif berdiri bukan untuk memisahkan, apalagi menyingkirkan salah satu, tetapi mencipta bangku belajar yang cukup lebar bagi semua.
Sebaliknya, antipoverty adalah cita-cita mulia: membebaskan anak-anak dari rantai kemiskinan struktural. Keduanya—inklusi dan antipoverty—bisa dan seharusnya berjalan beriring. Sayangnya, di banyak ruang kebijakan, dua diksi ini sering bertabrakan di jalan sempit bernama keterbatasan anggaran dan tata kelola yang setengah hati.
Maka jadilah pemandangan ganjil: sekolah untuk memerdekakan si miskin justru menekan ruang belajar si difabel. Padahal Rasulullah berpesan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad). Dalam logika mubadalah, kebermanfaatan bukan hanya untuk satu golongan, melainkan untuk semua.
Tak Ada yang Layak Dikorbankan
Dalam kerangka Mubadalah, menolong satu pihak dengan menciderai pihak lain bukanlah jalan yang benar. Islam menempatkan keadilan sebagai tiang penyangga kemaslahatan. Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 58 mengingatkan: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.”
Begitu pula para ulama berulang kali menekankan, inti keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, tidak mengorbankan yang lemah hanya demi menolong yang lain.
Maka, gagasan Sekolah Rakyat semestinya tidak berdiri dengan mengorbankan ruang aman difabel. Kenapa harus memaksa mereka berbagi ruang yang sempit, kalau negara bisa membangun gedung baru? Bukankah lebih mulia membangun tambahan kelas di lahan kosong, ketimbang membongkar bangku belajar yang sudah lebih dulu melayani anak-anak luar biasa ini?
Menjaga Mimpi Bersama
Sekolah Rakyat bisa menjadi jembatan emas bagi anak-anak miskin meraih cita-cita. Tapi jangan lupa: gedung-gedung SLB juga adalah jembatan harapan bagi anak-anak difabel bertumbuh dengan cara yang paling manusiawi.
Maka, membiarkan mimpi satu pihak menyingkirkan mimpi pihak lain sama saja menodai semangat rahmatan lil alamin. Karena dalam Islam, tidak ada satu pun jiwa yang patut merasa tersisih, apalagi demi kebijakan yang katanya memihak kaum tertindas.
Yah, pemerintah mungkin punya hitung-hitungan efisiensi anggaran, tetapi rakyat punya hitung-hitungan keadilan. Yang tentu saja bukan sekadar di atas kertas. Ia nyata di ruang kelas, di koridor sempit, di suara guru yang terengah-engah menyesuaikan metode belajar di ruang yang semakin sempit.
Islam selalu mengingatkan kita: merawat yang lemah, mendengar yang terpinggirkan, adalah bagian dari ibadah. Kita boleh menginginkan anak-anak miskin bebas dari kemiskinan, tetapi jangan biarkan mimpi itu menggilas anak-anak difabel yang juga berhak tumbuh secara utuh. Karena pada akhirnya, sebaik-baik bangsa adalah bangsa yang merangkul semua anaknya, tanpa terkecuali. []