Mubadalah.id – Menikah sering kali diasumsikan sebagai keharusan hidup. Padahal, dalam pandangan Islam, menikah bukanlah kewajiban, melainkan hak yang bisa dipilih atau tidak, baik oleh perempuan maupun laki-laki.
Karena merupakan hak, maka seseorang—terutama perempuan yang kerap menjadi korban tekanan sosial—berhak penuh untuk menentukan apakah ia ingin menikah, dengan siapa, dan dalam situasi seperti apa.
Sayangnya, dalam praktik sosial keagamaan yang berlangsung hari ini, masih banyak norma dan tekanan yang menjadikan pernikahan sebagai media penundukan dan pembuktian ketaatan, khususnya dari perempuan kepada laki-laki.
Padahal, sebaiknya pernikahan menjadi ruang untuk tumbuh bersama, bukan menjadi jerat yang membelenggu.
Sebagaimana dalam pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama untuk mengejar kebahagiaan dalam perkawinan. Maka dari itu, segala sistem sosial yang berkelindan dengan institusi perkawinan perlu kita kaji ulang.
Bahkan jika perlu kita reformasi, bila terbukti gagal menjamin kebahagiaan atau justru membiarkan seseorang terseret ke dalam hubungan yang menyakitkan.
Karena cita-cita ideal dalam pernikahan sebenarnya sudah tercatat dalam Al-Qur’an. Dalam Surah Ar-Rum ayat 21, Allah SWT menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah agar manusia menemukan “ketenangan” (sakinah). Serta menciptakan relasi yang berlandaskan oleh cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah).
Ayat ini menegaskan bahwa pondasi perkawinan bukanlah ketaatan sepihak. Melainkan kesetaraan dan kasih yang saling memberi.
Termasuk dalam memberi hak untuk mencintai dan dicintai dengan sehat, hak untuk merasa aman dan dihargai, dan hak untuk bahagia adalah hal-hal yang melekat pada semua manusia—baik laki-laki maupun perempuan.
Kebahagiaan dalam perkawinan tidak akan mungkin hadir apabila sistem nilai yang membungkusnya justru mempertahankan relasi timpang, atau melanggengkan kekerasan simbolik dan struktural.
Oleh karena itu, ketika sistem nilai lama dalam masyarakat tidak lagi menjamin tercapainya tujuan cinta dan kedamaian dalam perkawinan. Maka kita perlu dengan berani mengubahnya. Bukan untuk memberontak terhadap tradisi, melainkan untuk menjadikannya lebih manusiawi dan sejalan dengan spirit Islam yang rahmatan lil alamin. []