Mubadalah.id – Ada pepatah lama yang sering kita dengar sejak kecil: “Mulutmu harimaumu.” Dalam konteks kepemimpinan, pepatah ini seharusnya diingat baik-baik, sebab kata-kata seorang pemimpin tidak hanya keluar dari bibir, tapi bisa masuk ke hati atau membakar emosi rakyatnya.
Hari ini, kasus di Pati, kita mendapat contoh nyata. Kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250% memicu gelombang protes. Namun yang membuat warga benar-benar naik pitam bukan sekadar angka itu, melainkan kalimat Bupati Sudewo yang terdengar menantang.
Ribuan orang kemudian memenuhi jalan-jalan menuju pendopo kabupaten. Spanduk, poster, bahkan keranda mereka arak sebagai simbol kemarahan. Baliho-baliho sang bupati jadi sasaran. Walau kebijakan akhirnya dicabut, amarah tetap membara. Bagi warga, masalah ini bukan lagi tentang pajak, tapi soal harga diri. Ketika pemimpin bicara seolah meremehkan aspirasi, yang terluka bukan hanya dompet, tetapi hati.
Pemimpin yang baik bukan hanya pandai membuat program atau cepat tanda tangan surat keputusan. Pemimpin juga harus mengerti cara bicara dan mendengar rakyatnya. Lemah lembut bukan berarti lemah; justru di sanalah kelas seorang pemimpin terlihat.
Kekuasaan yang dijalankan dengan arogansi membuat jarak psikologis semakin lebar. Rakyat yang tadinya hanya ingin terdengar malah merasa disepelekan. Di Pati, yang bikin panas bukan semata angka 250% itu, tetapi rasa bahwa warga tidak benar-benar pemerintah libatkan dalam proses kebijakan.
Kepemimpinan tidak Semata Soal Kewenangan
Dalam tradisi keilmuan Islam, para ulama sejak lama menekankan bahwa kepemimpinan tidak semata soal kewenangan, tetapi juga adab terhadap rakyat. Imam al-Ghazali dalam Nasihat al-Muluk menulis bahwa pemimpin harus menempatkan diri sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa yang semata-mata memerintah.
Ia menegaskan, “Pemimpin adalah laksana hati bagi tubuh. Jika hatinya baik, baiklah seluruh tubuh; jika hati itu rusak, rusaklah seluruh tubuh.” Kalimat ini relevan sekali: tutur kata dan sikap pemimpin adalah sinyal moral yang menentukan suasana batin rakyatnya.
Selain itu, Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah mencatat bahwa keruntuhan suatu pemerintahan sering bermula dari rusaknya hubungan emosional antara penguasa dan rakyat, yang biasanya berawal dari keangkuhan dan kehilangan rasa empati. Kekuasaan yang tidak disertai kelembutan hati akan menimbulkan ketidakpercayaan dan bahkan permusuhan, yang bisa menggerus legitimasi pemerintahan meskipun secara hukum tetap sah.
Penelitian kepemimpinan modern membuktikan hal ini. Owens, Johnson, dan Mitchell (2013) menemukan bahwa pemimpin yang mau mengakui kesalahan, menghargai kontribusi orang lain, dan terbuka pada kritik akan lebih terpercaya dan memiliki kinerja lebih baik. Dalam konteks pemerintahan, rakyat lebih bisa menerima kebijakan sulit jika prosesnya transparan dan mereka merasa terlibatkan.
Penelitian Lilius dkk. (2008) tentang “compassion at work” juga menunjukkan bahwa empati bukan hanya nilai moral, melainkan strategi praktis. Organisasi yang menerapkan welas asih lebih tahan terhadap krisis karena ikatan sosialnya kuat.
Jika kita terjemahkan ke dunia pemerintahan, sebelum membuat kebijakan berat seperti kenaikan pajak, pemimpin bisa mengadakan dialog publik, memaparkan data dampak, dan menerapkan kebijakan secara bertahap. Dengan begitu, rakyat merasa dihormati, bukan terpaksa.
Kritik terhadap Pemimpin Dianggap sebagai Gangguan
Sayangnya, di banyak daerah, pemimpin masih sering menganggap kritik publik sebagai gangguan, padahal itu sebenarnya tanda kepedulian masyarakat.
Semakin cepat aspirasi ini terakomodasi, semakin kecil risiko konflik membesar. Kata-kata yang pemimpin ucapkan memiliki daya resonansi kuat. Satu kalimat arogan bisa memicu amarah kolektif, sementara satu kalimat rendah hati bisa menenangkan ribuan hati.
Dalam kitab Adab al-Dunya wa al-Din, Imam al-Mawardi menulis, “Pemimpin yang keras hati akan dijauhi oleh rakyat, sebagaimana manusia menjauhi binatang buas.” Analogi ini jelas: kekuasaan tanpa kelembutan menimbulkan ketakutan, bukan kepercayaan.
Tanpa kepercayaan, pemerintahan akan kehilangan legitimasi meskipun secara hukum sah. Oleh karena itu, kelembutan bukan sekadar budi pekerti, tetapi benteng utama untuk menjaga keberlangsungan kepemimpinan.
Belajar dari Kasus di Pati
Dari kasus di Pati, ada tiga pelajaran penting bagi para pemimpin, di mana pun mereka berada. Pertama, komunikasi publik harus menjadi bagian integral dari setiap kebijakan. Pengumuman keputusan bukan sekadar menyampaikan hasil akhir, tetapi membangun pemahaman bersama.
Kebijakan sulit memerlukan dialog nyata, data terbuka, dan mitigasi yang jelas. Kedua, kerendahhatian justru memperkuat wibawa pemimpin. Mengakui kesalahan tidak mengurangi otoritas, malah menambah kredibilitas. Ketiga, penting adanya sistem umpan balik sebelum konflik meledak: forum konsultasi publik, ombudsman daerah, dan audit sosial harus aktif sejak awal.
Ini bukan sekadar ajakan moral, tapi strategi politik yang rasional. Di era media sosial, satu kalimat arogan bisa memicu ribuan orang marah, sementara satu kalimat rendah hati bisa meredakan ribuan dada. Para pemimpin, turunkan nada bicara, buka telinga, dan jadikan kebijakan sebagai proses dialog, bukan titah sepihak. Lembut bukan berarti kalah. Justru di sanalah letak kemenangan yang sesungguhnya: memenangkan hati rakyat.
Kasus di Pati sudah memberi peringatan mahal. Semoga pesan ini sampai bukan hanya ke telinga, tetapi ke hati para pemimpin. Di ujung masa jabatan, yang rakyat ingat bukan hanya jumlah proyek yang selesai, tetapi bagaimana mereka menerima perlakuan selama masa kepemimpinan. Sejarah akan mengingat pemimpin yang memimpin dengan kepala, tapi juga dengan hati. []