Mubadalah.Id– Berikut stereotip perempuan Indramayu. Hal ini tak bisa dipungkiri ada di sebagian masyarakat. Yang menyarankan perempuan nikih siri atau kontrak.
“Kebanyakan perempuan di situ lebih memilih menikah siri daripada dicurigai berzina, lebih bangga karena sudah menjanda empat kali daripada belum menikah sama sekali di usia yang terbilang mapan”.
Kira-kira begitu kalimat yang terlontar dari seorang kawan ketika membicarakan daerah saya, Indramayu.
Meskipun saya belum banyak memberikan kontribusi untuk daerah saya, tetap saja saya merasa kesal ketika mendengar ungkapan seperti tersebut di atas. Tetapi saya memilih untuk mendengarkan apapun yang dikatakan lawan bicara saya terhadap daerah saya.
“Pasangan suami istri di sana, ketika suaminya mendengar istrinya melahirkan anak laki-laki, suami tidak bergeming dari pekerjaannya. Istrinya melahirkan di rumah, suaminya masih tetap mencangkul di sawah.”
“Tetapi ketika si istri melahirkan anak perempuan, si suami sangat antusias menyambut bayi perempuannya. Ia meninggalkan cangkulnya, bergegas pulang ke rumah. Lalu setelah besar, mereka (anak perempuan) bekerja sebagai TKI atau TKW di luar negeri karena tak mempunyai biaya untuk melanjutkan sekolah. Ini seakan menandakan bahwa di sana anak perempuan adalah aset berharga bagi keluarga”, katanya lagi.
Saya menangkap dari perkataannya, kuat anggapan bahwa perempuan di daerah saya semuanya sama, persis seperti yang diungkapkannya.
Sepanjang obrolan penuh stigma dan stereotip negatif terhadap perempuan-perempuan Indramayu, saya sadar bahwa stereotip itu tidak hanya terlontar dari dia saja. Bahkan mungkin di luar sana beragam stigma tentang daerah saya sudah banyak ditemui.
Ya, daerah saya berada di jalur pantai utara (pantura), lebih tepatnya Indramayu. Orang lebih mengenal Indramayu dengan lagu-lagu tarlingnya daripada potensi daerahnya. Lebih banyak mengenal warung remang-remangnya daripada kilang minyaknya.
Entah berawal dari mana dan siapa stereotip itu muncul. Saya pun tidak tahu persis, di bagian mana tepatnya daerah saya yang banyak kasus serupa itu. Sebab tak semua perempuan di daerah saya seperti apa yang banyak diperbincangkan oleh orang-orang di luar sana.
Tak semua perempuan Indramayu bersedia untuk menikah siri. Tak semua keluarga di Indramayu menjadikan anak perempuannya sebagai aset pendapatan keluarga. Tak semua perempuan Indramayu memilih menjadi janda di usia muda.
Ini sama halnya dengan stereotip yang diberikan kepada perempuan Sunda yang dicap matre, padahal kita semua pun makhluk matrealistis yang tak jarang mengukur sesuatu dengan materi.
Atau perempuan Jawa yang selalu dicap kemayu dan tidak berprinsip, karena kerap manut pada pendapat orang lain.
Pernah satu waktu kawan saya, seorang lelaki Jawa, bercerita tentang pernikahannya yang gagal karena orang tua yang tidak menyetujui hubungannya dengan gadis Sunda. Orang tuanya melarang anak laki-lakinya berhubungan dengan perempuan Sunda karena dinilai matre.
Lantas, mengapa harus perempuan yang mendapat stigma dan stereotip? Mengapa bukan laki-laki? Disadari atau tidak, stereotip yang muncul itu dari pikiran-pikiran masyarakat kita yang masih sangat kental nilai-nilai patriarkat.
Konstruksi pikiran dengan tujuan mengantarkan kita untuk menjadikan perempuan sebagai objektifikasi segala stigma. Kemudian melekat dan menjelma stereotip negatif yang menggejala di masyarakat kita hingga kini.
Stereotip daerah atau etnis yang berkembang sangat lekat di masyarakat kita, ini seakan menunjukkan bahwa dengan mudahnya kita memberi nilai atas sesuatu yang secara keseluruhan belum benar adanya. Atau jika pun ada, itu hanya sebagian tidak berarti keseluruhan.
Menurut saya ini tidak adil, sebab kita tidak bisa menyimpulkan sesuatu dengan memberi nilai hanya dari sebagian yang kita temui. Lalu menghilangkan nilai-nilai yang ada dari sebagian lainnya dan menilai secara generalisasi berdasarkan informasi umum yang dianggap benar.
Betapa relasi adil gender pada masyarakat kita masih jauh dari harapan. Ketimpangan-ketimpangan relasi ini seringkali melahirkan diskriminasi. Dari sekian diskriminasi adalah kaum perempuan yang paling rentan menjadi korban.
Demikian penjelasan terkait stereotip perempuan Indramayu. Semoga bermanfaat. []