Mubadalah.id – Merdeka menurut Tan Malaka bukan sekadar bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga kemerdekaan dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Tan Malaka menilai kemerdekaan sebagai suatu proses yang harus kita perjuangkan. Bisa melalui pendidikan, revolusi, dan pembangunan ekonomi yang berkeadilan.
Sementara di dalam kemerdekaan, juga terdapat visi dan misi mengenai keberadaan hak-hak perempuan, dan bagaimana masyarakat mengimplementasikan harapan tersebut dalam kehidupan sehari-hari secara sejajar, setara, dan fokus berkeadilan dalam konflik ruang yang timpang.
Penjajahan Fisik Perempuan
Dalam deskripsi penjajahan fisik yang mengacu pada masa-masa kolonial, meski berbeda zaman, perempuan saat ini masih merasakan ketimpangan penjajahan, yang kali ini dilakukan oleh maskulinitas serta kuasa laki-laki. Penjajahan fisik yang dimaksud tentu saja lekat dengan makna tubuh perempuan sebagai objek sensual yang mengarah pada perlakuan seksual tanpa kehendak atau pemaksaan.
Berlaku juga pada penindasan identitas diri, perempuan masih berada dalam lingkaran lingkungan yang tidak menghargai perempuan, bahkan sesama perempuan. Seringkali identitas diri sebagai perempuan mendapat pandangan sebelah mata, dan tidak memiliki sorotan yang seharusnya.
Anggapan perempuan sebagai pelaku kedua dalam berbagai hal setelah laki-laki menggiring perasaan yang bingung atas jati diri dan identitas diri sebagai perempuan, padahal seperlunya dalam segala urusan laki-laki dan perempuan ialah satu entitas yang sama.
Ketimpangan Identitas Gender
Contoh akurat, ketika sebuah perusahaan membuka lowongan pekerjaan, prioritas utama biasanya ditujukan pada laki-laki. Karena jenis kelamin yang spesifik inilah perempuan masih tergolongkan pada ekstra bukan utama. Hal seperti ini terkait dengan pendidikan gender yang tidak merata dan analogi bahwa laki-laki tidak banyak ‘alasan’ berbeda dengan perempuan. Yang memiliki stereotipe “lebih bawa perasaan”.
Padahal, mayoritas perempuan juga berprofesi sebagai female breadwinners yang artinya pemberi nafkah utama dalam keluarga. Adanya penindasan pada identitas tertentu, tentu mengurangi peluang bagi perempuan untuk bersaing di dunia kerja.
Female breadwinners adalah perempuan pencari nafkah utama atau istilah yang merujuk pada perempuan yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, yaitu perempuan yang memiliki pendapatan terbesar dalam rumah tangga. Ini berarti bahwa perempuan tersebut memberikan kontribusi finansial yang signifikan, bahkan menjadi sumber utama pendapatan bagi keluarga.
Dalam buku Cerita Data Statistik Untuk Indonesia karya Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik, seorang perempuan masuk kategori female breadwinner jika mereka bekerja dan menerima pendapatan terbesar di keluarga, termasuk mereka yang menjadi satu-satunya pencari nafkah dalam rumah tangga.
Di Indonesia sendiri, masih banyak perempuan yang memegang peran krusial perekonomian keluarga. Jika peran mereka menjadi kecil karena identitas gender, dampak yang didapatkan tidak hanya menimpa dirinya sendiri, tetapi juga ikut menyeret satu kelompok keluarga. Sehingga, tuntutan kesetaraan dalam peluang berkarir dan mencari nafkah, hendaknya menyeluruh dan adil tanpa pandang jenis kelamin.
Kemerdekaan ialah Hak Milik
Selain penjajahan fisik dan ketimpangan identitas pada perempuan, sudahkah kita merasakan merdeka sebagai rakyat? Menurut KBBI, merdeka artinya bebas dari perhambaan, penjajahan, tuntutan, dan kekuasaan pihak lain; berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang atau pihak lain.
Sementara sebagai rakyat, yang termasuk pada masyarakat umumnya. Tentu kemerdekaan sudah kita rasakan, meski tidak sepenuhnya. Kita bukan hamba dari seseorang meski masih menjadi budak kapitalisme. Kita tidak lagi berada dalam genggaman jajahan negara luar, meski kita terpaksa sehat di negara yang sakit.
Sebagai rakyat kita tidak perlu lagi terbelenggu dalam sebuah tuntutan membayar upeti, meski pajak memeras seluruh harga diri. Setidaknya, kita berada pada kaki sendiri, tidak bergantung pada pihak lain (pemerintah) yang ingin panen tapi tak mau turun menyemai. Cukuplah Negara mengatur kehidupan rakyat, bukan kita tidak ingin taat. Namun, atas dasar apa kekejaman nurani pemerintah memilah, golongan mana yang pantas untuk hidup sejahtera. []