“Ekoteologi bukan sekadar isu lingkungan, tetapi panggilan iman. Ia mengajarkan bahwa merawat bumi sama halnya dengan merawat kehidupan.”
Mubadalah.id – Krisis global yang melanda umat manusia kian hari semakin nyata. Bukan hanya soal perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, tetapi juga dehumanisasi dan konflik yang kerap menempatkan kelompok rentan sebagai korban. Kondisi ini, menurut para pemuka agama dan akademisi, menuntut tanggung jawab kolektif umat manusia lintas bangsa dan agama.
Kesadaran itu menguat pasca Deklarasi Istiqlal 2024 yang ditandatangani oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, dan Paus Fransiskus di Jakarta. Deklarasi bersejarah tersebut menegaskan kembali Pancasila sebagai fondasi etik dan spiritual bangsa, sekaligus memberi pesan kuat bahwa agama seharusnya menjadi sumber kasih sayang, rekonsiliasi, solidaritas, serta perlindungan ekologis.
Momentum itu kemudian berlanjut dalam The Bali Interfaith Movement (BIM) pada gelaran Tri Hita Karana Forum di Bali, 14–15 Desember 2024. Forum internasional tersebut menekankan bahwa agama memiliki mandat moral untuk merawat martabat kemanusiaan dan menjaga kelestarian bumi. “Agama tidak boleh diinstrumentalisasi untuk kekerasan. Sebaliknya, ia harus hadir sebagai energi yang mempersatukan dan menyembuhkan,” tegas Nasaruddin Umar kala itu.
Kampus Jadi Pusat Gerakan Ekoteologi
Semangat tersebut menemukan ruang baru pada akhir Agustus 2025. Dalam Temu Nasional Jaringan Gusdurian di Asrama Haji Pondok Gede, Forum Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan, akademisi lintas kampus, serta Jaringan Gusdurian menyerukan lahirnya gerakan ekoteologi berbasis kampus.
Seruan itu tidak sekadar wacana. Para rektor menegaskan komitmen nyata berupa lima agenda besar: menjadikan keadilan ekologi prioritas kampus, melahirkan generasi “insan kamil” yang sadar relasi manusia-Tuhan-alam, membangun sinergi dengan masyarakat sipil dan lembaga global, merumuskan prototipe green campus, hingga menginternalisasi kurikulum cinta berbasis ekoteologi dalam pendidikan.
“Perguruan tinggi keagamaan tidak boleh hanya menjadi menara gading. Ia harus turun tangan mengarusutamakan keadilan ekologis dalam kebijakan, kurikulum, hingga riset-riset akademik.”
Prototipe Green Campus
Salah satu agenda paling konkret adalah perumusan prototipe green campus menuju zero waste society. Konsep ini mengintegrasikan pendekatan agama, kearifan lokal, dan teknologi ramah lingkungan. Ada lima indikator utama:
Pertama, tata ruang dan infrastruktur ramah lingkungan, termasuk ruang terbuka hijau dan area resapan air. Kedua, pemanfaatan energi terbarukan serta efisiensi energi untuk mengurangi jejak karbon.
Ketiga, pengolahan sampah dan air, mulai dari daur ulang hingga pengolahan limbah. Keempat, transportasi ramah lingkungan, dengan penyediaan jalur pejalan kaki dan pesepeda.
Kelima, pendidikan dan penelitian responsif lingkungan, melalui penguatan mata kuliah, riset, dan publikasi ekologi.
Menurut para akademisi, model ini akan diuji coba di beberapa kampus keagamaan sebagai laboratorium sosial, sebelum diperluas menjadi gerakan nasional.
Ekoteologi dan Kurikulum Cinta
Di balik agenda teknis tersebut, terdapat pula dimensi spiritual. Forum ini menekankan pentingnya internalisasi kesadaran ekologis, spiritualitas kasih, dan relasi harmonis dalam pembelajaran. Gagasan ini disebut sebagai “kurikulum cinta” yang menempatkan relasi manusia dengan alam sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab moral.
“Ekoteologi bukan sekadar isu lingkungan, tetapi panggilan iman. Ia mengajarkan bahwa merawat bumi sama halnya dengan merawat kehidupan.”
Oleh sebab itu, dengan terhubungnya Forum Rektor, Kementerian Pendidikan Tinggi, Jaringan Gusdurian, hingga lembaga global, gerakan ini diharapkan tidak hanya berhenti di ruang kampus. Ia bisa menjadi gerakan kolektif lintas agama, bangsa, dan generasi.
“Indonesia dengan Pancasila dan kekayaan kearifan lokalnya punya modal besar untuk memimpin agenda ekoteologi dunia,” ujar seorang pengamat lingkungan. “Deklarasi Istiqlal dan Bali Interfaith Movement sudah memberi arah. Tinggal bagaimana kampus-kampus kita menjadikannya gerakan yang nyata.”
Tantangan tentu tidak ringan. Perubahan pola hidup, pengarusutamaan kurikulum, hingga investasi pada teknologi ramah lingkungan membutuhkan komitmen jangka panjang. Namun para penggagas yakin, tanpa keberanian memulai dari kampus, cita-cita ekoteologi hanya akan menjadi jargon kosong.
Pernyataan penutup forum itu menegaskan: “Pelestarian lingkungan adalah panggilan spiritual keagamaan yang niscaya demi kehidupan yang sehat, adil, damai, dan harmonis. Gerakan nasional ekoteologi berbasis kampus adalah langkah awal menuju masa depan itu.” []