Mubadalah.id – Sejak Nabi Muhammad Saw menerima wahyu pertama dan diangkat sebagai Rasulullah (utusan Allah), beliau terus berdakwah, mengajak kaumnya kepada agama tauhid, yakni ajaran tentang ke-Esaan Tuhan.
Beliau tidak pernah berhenti menyampaikan, mengajak, dan memperjuangkan berjalannya ajaran-ajaran Allah itu. Perjuangan ini adalah perjuangan kemanusiaan. Ia ingin mengembalikan martabat atau kehormatan manusia yang telah lama hancur dan dalam waktu yang sama menyampaikan pengetahuan.
Perjuangan itu tentu sangat berat dan mempertaruhkan nyawanya. Tetapi Nabi tak hendak berhenti. Kaum kafir Quraisy terus menerus mencaci, menghina, menyakiti, bahkan terus berusaha untuk membunuhnya. Tetapi mereka kewalahan.
Mereka kemudian meminta Abu Thalib, pamannya yang tercinta dan yang amat mencintainya, agar membujuk keponakannya itu dengan segala cara yang mungkin agar dia menghentikan seruan Tauhidnya itu.
“Tuan Abu Thalib,” kata mereka, “keponakanmu itu sudah mencaci maki berhala-berhala kita, menghina keyakinan kita, tidak menghargai harapan-harapan kita, dan menganggap sesat nenek-moyang kita. Sekarang kami minta kepadamu agar menghentikan dia. Kalau tidak, biarlah kami sendiri yang akan menghadapinya.”
Manakala kemudian Abu Thalib menyampaikan apa yang dipesankan kaum kafir Quraisy itu, Nabi Muhammad Saw dengan tegas mengatakan:
“O, paman, demi Tuhan, andai kata mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku untuk memaksaku agar meninggalkan tugas suci ini, sungguh tidak akan aku tinggalkan sampai Tuhan memberiku kemenangan atau aku mati karenanya.”
Kata-kata Nabi Muhammad Saw yang amat tegas ini untuk kita kenang sebagai muslim. Abu Thalib tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya diam saja, tetapi menyimpan rasa kagum yang luar biasa atas sikap keponakannya itu.