Mubadalah.id – Pendidikan inklusif merupakan upaya untuk mewujudkan sistem pendidikan yang adil, setara, dan menghargai keberagaman. Di Indonesia, meskipun pendidikan inklusif telah diperkenalkan sejak tahun 1990-an.
Implementasinya sampai hari ini masih menghadapi berbagai tantangan. Mulai dari keterbatasan sumber daya, stigma terhadap peserta didik berkebutuhan khusus, hingga kurangnya kompetensi guru dalam menangani siswa dengan kebutuhan khusus.
Salah satu aspek yang sering terabaikan adalah kemampuan komunikasi lintas kemampuan, khususnya interaksi dengan penyandang tunarungu. Integrasi kurikulum yang mengajarkan bahasa isyarat dan strategi komunikasi yang inklusif ke dalam pendidikan formal dapat menjadi langkah konkret untuk mengatasi masalah ini dan mewujudkan prinsip inklusi secara nyata.
Prinsip pendidikan inklusif berakar pada konsep keadilan sosial, hak asasi manusia, dan penghapusan diskriminasi. Ainscow dan Miles (2008) menekankan bahwa pendidikan inklusif bertujuan untuk memastikan semua anak, tanpa memandang kemampuan atau latar belakang, memperoleh akses terhadap pendidikan berkualitas.
Florian (2014) juga menegaskan bahwa pendidikan inklusif harus mampu merespons kebutuhan semua peserta didik. Terutama mereka yang terpinggirkan, dengan pendekatan yang fleksibel dan adaptif. Di Indonesia, peraturan seperti Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2008 telah memberikan pedoman bagi sekolah untuk mengimplementasikan pendidikan inklusif.
Namun, praktik nyata menunjukkan bahwa masih banyak sekolah yang belum memiliki strategi jelas untuk memastikan keterlibatan siswa dengan kebutuhan khusus. Termasuk penyandang tunarungu, dalam proses belajar mengajar secara setara.
Pentingnya Bahasa Isyarat
Bahasa isyarat, seperti BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia), merupakan alat komunikasi utama bagi komunitas tunarungu. Namun, bahasa isyarat masih jarang diajarkan secara sistematis dalam kurikulum pendidikan formal di Indonesia.
Akibatnya, siswa dengan kemampuan pendengaran normal jarang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman penyandang tunarungu secara efektif, sehingga membatasi kemampuan mereka untuk membangun hubungan sosial yang inklusif.
Pengenalan bahasa isyarat di sekolah bukan hanya memberi keterampilan komunikasi tambahan, tetapi juga menanamkan nilai empati dan penghargaan terhadap keberagaman. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan inklusif, yaitu menciptakan lingkungan belajar yang mendukung semua peserta didik, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus (Mudjito, 2012).
Implementasi kurikulum percakapan dengan penyandang tunarungu dapat kita lakukan melalui beberapa langkah strategis. Pertama, bahasa isyarat perlu dimasukkan ke dalam kurikulum sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa atau kegiatan ekstrakurikuler. Hal ini memungkinkan siswa belajar secara bertahap dan konsisten sejak dini.
Kedua, guru harus mendapatkan pelatihan khusus untuk mengajarkan bahasa isyarat dan menciptakan lingkungan kelas yang inklusif. Pelatihan ini penting agar guru tidak hanya mampu mengajarkan bahasa, tetapi juga menanamkan nilai empati dan toleransi.
Ketiga, sarana dan prasarana pendidikan harus mendukung interaksi inklusif, misalnya melalui papan tulis elektronik, alat bantu dengar, dan ruang kelas yang ramah bagi penyandang tunarungu. Keempat, keterlibatan komunitas tunarungu sebagai narasumber atau relawan dalam kegiatan sekolah dapat menambah pengalaman belajar siswa secara nyata.
Mendorong Interaksi yang Inklusi
Manfaat dari kurikulum percakapan dengan penyandang tunarungu sangat luas. Dari sisi akademis, siswa belajar keterampilan komunikasi yang lebih beragam, dan penting untuk dunia kerja serta kehidupan sosial. Secara psikologis, siswa menumbuhkan empati, rasa hormat, dan penghargaan terhadap perbedaan.
Secara sosial, interaksi yang inklusif membantu mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas pendengaran. Selain itu, keterampilan ini mempersiapkan generasi muda untuk hidup dalam masyarakat yang beragam dan kompleks, di mana kemampuan memahami orang dengan kemampuan berbeda menjadi nilai tambah yang signifikan.
Selain manfaat langsung bagi siswa, integrasi bahasa isyarat juga mencerminkan prinsip mubadalah. Yakni pertukaran dan saling menghargai dalam interaksi sosial. Dengan belajar bahasa isyarat, siswa bukan hanya memperoleh kemampuan komunikasi, tetapi juga belajar bagaimana menghargai hak dan martabat orang lain.
Hal ini sejalan dengan nilai-nilai inklusif dan kesetaraan yang menjadi fokus pendidikan modern. Lebih jauh, pendidikan yang mengajarkan percakapan dengan penyandang tunarungu dapat mendorong masyarakat yang lebih empatik, adil, dan responsif terhadap kebutuhan individu yang berbeda. Selain itu, membentuk generasi yang mampu menghargai keberagaman dalam semua aspek kehidupan.
Menilik Kebijakan Pendidikan Inklusi
Kebijakan pendidikan inklusif yang mengintegrasikan kurikulum percakapan dengan penyandang tunarungu memerlukan dukungan pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang jelas, menyediakan pelatihan guru, dan memastikan fasilitas pendukung tersedia di seluruh sekolah.
Sekolah dan guru harus memiliki komitmen untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan adaptif. Masyarakat dan orang tua juga perlu dilibatkan agar nilai inklusi dan penghargaan terhadap keberagaman dapat ditanamkan sejak dini. Dengan kolaborasi yang baik, pendidikan inklusif berbasis mubadalah dapat terwujudkan, memberikan manfaat jangka panjang bagi siswa, keluarga, dan masyarakat luas.
Pendidikan inklusif tidak hanya soal akses fisik atau fasilitas pendidikan, tetapi juga tentang kemampuan membangun komunikasi yang adil dan menghargai perbedaan. Integrasi kurikulum percakapan dengan penyandang tunarungu adalah langkah konkret untuk mewujudkan prinsip ini.
Dengan penerapan yang tepat, siswa belajar untuk menghargai dan memahami teman tunarungu, menumbuhkan empati, serta mempersiapkan diri untuk menghadapi dunia yang beragam. Pendidikan inklusif yang sesungguhnya dapat tercapai ketika semua pihak berkomitmen untuk membuka ruang bagi setiap individu, tanpa terkecuali, untuk belajar, berinteraksi, dan berkembang secara optimal. []