Mubadalah.id – Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta belum lama ini membuat nota kerja sama dengan Pusat Rehabilitasi Yakkum. Keduanya bersepakat untuk saling bersinergi menciptakan lingkungan Kota Yogyakarta yang inklusif untuk semua kalangan.
Walikota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, berharap kerja sama tersebut dapat memajukan, melindungi, serta memenuhi gak disabilitas di lingkungan Kota Yogyakarta. “Semua warga, termasuk penyandang disabilitas, memiliki hak yang sama untuk memperoleh layanan, kesempatan, dan akses pembangunan,” tegas Hasto dalam sambutannya.
Menyambung tuturan Hasto, Direktur Pusat Rehabilitasi YAKKUM, Chatarina Sari, membeberkan bahwa kerja sama ini menyasar dua fokus utama. Keduanya yakni Open the Gate Phase dan Religious Mental Health (RMH) yang menyasar pengelolaan panti sosial dan rehabilitasi kesehatan mental.
Teladan nyata
Upaya Pemkot Yogyakarta untuk menciptakan lingkungan urban modern yang inklusif merupakan suatu keteladanan nyata. Pasalnya, hingga tahun 2023, jumlah penyandang disabilitas di kota pelajar ini mencapai 3.099 dari total populasi 414.705 jiwa.
Secara komparasi kuantitas, jumlah penyandang disabilitas memang punya angka persentase yang sangat kecil, yakni sekitar 0,74%. Namun, Pemkot Yogyakarta tak memandang angka ini dengan sepele. Alih-alih menutup mata, Pemkot justru berupaya hadir.
Langkah Pemkot ini selaras dengan amanat UU Nomor 19 Tahun 2011. Peraturan ini merupakan pengesahan daei Convention on the Rights of Persons with Disabilities PBB. Intinya, hak serta martabat disabilitas mesti beroleh perlindungan, jaminan, serta pemenuhan yang di antaranya mewujud dalam bentuk fasilitas umum (fasum).
Sementara, di kota lain sekaliber Jakarta, misalnya, standar inklusif masih belum benar-benar mewujud nyata dalam pelbagai layanan publik. Tulisan Dwi Setyasari (2025) mengungkap bahwa baru 67 dari 240 (27,9%) halte bus di Jakarta yang sungguh telah inklusif.
Mengapa banyak kota belum inklusif?
Keteladanan yang Pemkot Yogyakarta tunjukkan sejatinya juga hendak merobohkan fenomena jamak perihal banyaknya kota di Indonesia yang belum inklusif. Dwi Setyasari (2025) menyoroti bahwa kebijakan pemerintah daerah yang seringkali menggunakan pendekatan top down sebagai akar masalah belum inklusifnya infrastruktur kota.
Pendapat ini rasanya tepat, utamanya dengan konsepsi publik yang melihat kalangan disabilitas sebagai kelompok minoritas yang jauh dari prioritas pembangunan. Pemerintah, dalam banyak temuan, acap memprioritaskan pembangunan untuk kelompok mayoritas yang secara potensial punya signifikansi terhadap peningkatan ekonomi.
Akibatnya, pembangunan infrastruktur untuk kalangan disabilitas—sesederhana lajur khsusus untuk pengguna kursi roda—jarang mendapat sorot dan perhatian serius. Kegagalan pendekatan top down, bila mengiblat pada Bryan Lindsley (2025), juga tak lepas dari hasrat pemerintah untuk terus mengontrol dan mendominasi kuasa.
Beralih ke bottom up
Kegagalan pendekatan top down dalam mengupayakan kawasan kota yang inklusif semestinya membuka mata kita bersama. Sudah saatnya, perlahan kota-kota di Indonesia mengalihkan pandangannya menuju strategi bottom up dalam merancang tata kawasan.
Pemerintah kota mesti tak jemu lagi ringan kaki untuk turun ke lapangan guna mewadahi aspirasi dan kebutuhan penyandang disabilitas secara langsung. Harapannya, pewadahan aspirasi dari level akar rumput (grass root) semacam ini dapat menghasilkan luaran kebijakan yang tepat sasaran dan tepat guna.
Selain itu, selaras dengan langkah Pemkot Yogyakarta, para punggawa pemerintahan daerah juga wajib mau bekerja sama dengan ahli, praktisi, atau lembaga terkait. Pasalnya, kebutuhan disabilitas seringkali bersifat interseksional yang memerlukan langkah dekomposisi multi-ekspertise.
Sokongan publik dan SDM unggul
Inisiatif yang Pemkot Yogyakarta tempuh untuk menghadirkan desain kawasan urban yang inklusif tentu tak datang sebagai “wahyu pancer” yang tiba mendadak dari Sang Transenden. Gagasan itu muncul tak lepas dari sokongan publik Yogyakarta yang mengidamkan mewujudnya kota modern yang tak mentoleransi praktik someone left behind.
Publik di kota ini, harus kita akui, telah punya kesadaran akan inklusifitas yang tinggi berkat kualitas sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Kota Yogyakarta merupakan kota ber-SDM paling ajib versi Human Development Index (2024) dengan skor mencapai 88,77.
Hal ini menegaskan bahwa kesadaran akan inklusifitas bertalian erat dengan seberapa tinggi kualitas SDM masyarakatnya. Manakala sebuah wilayah punya kualitas SDM yang unggul, hampir bisa dipastikan bahwa kepekaan akan inklusifitas telah merasuk dalam sumsum tubuh masyarakatnya.
Sementara, selagi sebuah daerah punya SDM yang belum berdaya, jangan heran jika bayangan akan kota inklusif itu hanya bakal menjadi bunga bobok pagi saja. Jadi, kapan kota-kota di Indonesia bakal inklusif kalau anggaran pemberdayaan SDM rakyat kerap disunat? []