Sabtu, 20 September 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Kampanye Inklusivitas

    Inklusivitas di Era Digital: Strategi Baru Kampanye di Media Sosial

    Tempat Ibadah Ramah Disabilitas

    Rektor ISIF Dorong Gerakan Tempat Ibadah Ramah Disabilitas dalam MISI ke-10

    Amal Maulid KUPI

    Amal Maulid KUPI dan Majelis Taklim di Yogyakarta Gelar Santunan untuk 120 Perempuan

    Pengaburan Femisida

    Di Balik Topeng Penyesalan: Narasi Tunggal Pelaku dan Pengaburan Femisida

    Bincang Syariah Goes to Campus

    Kemenag Gelar Blissful Mawlid “Bincang Syariah Goes to Campus” Ajak Generasi Muda Rawat Bumi

    Ulama Perempuan KUPI

    Doa, Seruan Moral, dan Harapan Ulama Perempuan KUPI untuk Indonesia

    Ulama Perempuan KUPI yang

    Nyai Badriyah Fayumi: Maklumat Ulama Perempuan KUPI untuk Menyelamatkan Indonesia

    Ekoteologi

    Forum Rektor Bersama Gusdurian Dorong Ekoteologi Kampus

    Tuntutan 17+8

    Kamala Chandrakirana: Demokrasi Indonesia Hadapi “Krisis dalam Krisis”

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Qobiltu Nikaahaa

    Ketika Hidup Berubah dengan Satu Kalimat: Refleksi Qobiltu Nikaahaa

    Difabel dan Kesehatan Mental

    Difabel dan Kesehatan Mental

    Pernikahan Anak

    Mari Akhiri Pernikahan Anak di Lingkungan Kita

    Santri Era Digital

    Santri di Era Digital: Mengapa Dakwah Harus Hadir di Media Sosial?

    Imajinasi

    Urgensi Imajinasi dan Identitas Manusia Demi Keseimbangan Peradaban

    Living Together

    Jangan Pernah Normalisasi Living Together

    Takut Bicara

    Taklukkan Takut Bicara di Depan Umum: Dari Ketakutan Menjadi Kekuatan

    Saling Pengertian

    Gus Dur, Gereja, dan Kearifan Saling Pengertian Antarumat Beragama

    Tafsir Kesetaraan

    Menilik Tafsir Kesetaraan dan Fakta Kepemimpinan Perempuan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Aurat

    Perbedaan Batasan Aurat Menurut Al-Qur’an

    Konteks Sosial yang

    Batas Aurat Ditentukan oleh Konteks Sosial dan Budaya

    Aurat

    Batas Aurat Perempuan dalam Islam: Ragam Tafsir dan Konteks Sosialnya

    Seksualitas Perempuan dalam

    Aurat dan Fitnah: Pergulatan Tafsir Seksualitas Perempuan dalam Islam

    Perempuan di Ruang Publik

    Perempuan di Ruang Publik Menurut Islam

    Menjaga Bumi

    Maulid Nabi dan Kewajiban Menjaga Bumi

    Perempuan dan Perang

    Sejak Awal Islam, Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Terlibat di Politik dan Perang

    Karakter

    Pendidikan Karakter

    konservatif

    Bahaya Konservatif di Tengah Arus Perubahan Zaman

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Kampanye Inklusivitas

    Inklusivitas di Era Digital: Strategi Baru Kampanye di Media Sosial

    Tempat Ibadah Ramah Disabilitas

    Rektor ISIF Dorong Gerakan Tempat Ibadah Ramah Disabilitas dalam MISI ke-10

    Amal Maulid KUPI

    Amal Maulid KUPI dan Majelis Taklim di Yogyakarta Gelar Santunan untuk 120 Perempuan

    Pengaburan Femisida

    Di Balik Topeng Penyesalan: Narasi Tunggal Pelaku dan Pengaburan Femisida

    Bincang Syariah Goes to Campus

    Kemenag Gelar Blissful Mawlid “Bincang Syariah Goes to Campus” Ajak Generasi Muda Rawat Bumi

    Ulama Perempuan KUPI

    Doa, Seruan Moral, dan Harapan Ulama Perempuan KUPI untuk Indonesia

    Ulama Perempuan KUPI yang

    Nyai Badriyah Fayumi: Maklumat Ulama Perempuan KUPI untuk Menyelamatkan Indonesia

    Ekoteologi

    Forum Rektor Bersama Gusdurian Dorong Ekoteologi Kampus

    Tuntutan 17+8

    Kamala Chandrakirana: Demokrasi Indonesia Hadapi “Krisis dalam Krisis”

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Qobiltu Nikaahaa

    Ketika Hidup Berubah dengan Satu Kalimat: Refleksi Qobiltu Nikaahaa

    Difabel dan Kesehatan Mental

    Difabel dan Kesehatan Mental

    Pernikahan Anak

    Mari Akhiri Pernikahan Anak di Lingkungan Kita

    Santri Era Digital

    Santri di Era Digital: Mengapa Dakwah Harus Hadir di Media Sosial?

    Imajinasi

    Urgensi Imajinasi dan Identitas Manusia Demi Keseimbangan Peradaban

    Living Together

    Jangan Pernah Normalisasi Living Together

    Takut Bicara

    Taklukkan Takut Bicara di Depan Umum: Dari Ketakutan Menjadi Kekuatan

    Saling Pengertian

    Gus Dur, Gereja, dan Kearifan Saling Pengertian Antarumat Beragama

    Tafsir Kesetaraan

    Menilik Tafsir Kesetaraan dan Fakta Kepemimpinan Perempuan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Aurat

    Perbedaan Batasan Aurat Menurut Al-Qur’an

    Konteks Sosial yang

    Batas Aurat Ditentukan oleh Konteks Sosial dan Budaya

    Aurat

    Batas Aurat Perempuan dalam Islam: Ragam Tafsir dan Konteks Sosialnya

    Seksualitas Perempuan dalam

    Aurat dan Fitnah: Pergulatan Tafsir Seksualitas Perempuan dalam Islam

    Perempuan di Ruang Publik

    Perempuan di Ruang Publik Menurut Islam

    Menjaga Bumi

    Maulid Nabi dan Kewajiban Menjaga Bumi

    Perempuan dan Perang

    Sejak Awal Islam, Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Terlibat di Politik dan Perang

    Karakter

    Pendidikan Karakter

    konservatif

    Bahaya Konservatif di Tengah Arus Perubahan Zaman

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Difabel dan Kesehatan Mental

Aku percaya, setiap manusia ingin merasa berarti. Tugas kita bersama adalah memastikan bahwa tidak ada satu pun yang merasa hidupnya tidak layak dijalani.

arinarahmatika arinarahmatika
20 September 2025
in Personal, Rekomendasi
0
Difabel dan Kesehatan Mental

Difabel dan Kesehatan Mental

593
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Disclaimer: Tulisan ini mengandung pembahasan mengenai bunuh diri. Jika kamu sedang berada dalam kondisi tertekan atau memiliki pikiran untuk mengakhiri hidup, segera cari pertolongan. Kamu tidak sendirian.

Mubadalah.id – Masih teringat jelas dalam ingatanku, ketika seorang teman difabel Netra, tiba-tiba mengirimkan pesan voicenote. Suaranya begitu getir, kalimat-kalimatnya penuh keputusasaan, bahkan ia ingin mengakhiri hidupnya. Sebuah ungkapan yang langsung membuatku terdiam. Ia bercerita bagaimana dia berulang kali tertolak saat melamar pekerjaan, bahkan di posisi yang sebenarnya mampu ia jalani.

Alih-alih diberi kesempatan, ia hanya berada di rumah. Dunia seolah menutup pintu rapat-rapat. “Aku tidak berguna lagi,” katanya lirih. Aku hanya bisa terdiam, menahan perasaan yang bercampur antara sedih, marah, dan bingung.

Bagaimana mungkin seseorang yang kukenal penuh semangat bisa merasa seputus-asa itu? Tapi justru di situlah aku sadar, ada luka terdalam seringkali tidak tampak. Bukan pada tubuh yang terlihat berbeda, melainkan pada batin yang terus-menerus tertolak dan terpinggirkan.

Luka yang Tak Terlihat

Cerita temanku hanyalah satu potongan kecil dari kenyataan yang jauh lebih besar. Banyak difabel yang mengalami tekanan serupa. Di balik senyum mereka, ada kemungkinan tumpukan rasa kecewa, marah, bahkan putus asa. Masalahnya, kesehatan mental difabel seringkali luput dari perhatian.

Fokus kita kerap terhenti pada aksesibilitas fisik seperti jalur kursi roda, lift di gedung publik, atau papan informasi braille. Semua itu penting, tentu saja. Tetapi jarang sekali kita menengok pada dimensi batin, bagaimana rasanya hidup dalam dunia yang hampir setiap hari berkata, “kamu tidak layak”?

Ketika berbicara tentang difabel, banyak orang masih terjebak dalam dua pandangan sempit. Pertama, melihat difabel sebagai “pahlawan” yang harus selalu kuat, tabah, dan menjadi inspirasi. Kedua, menempatkan mereka sebagai “beban” yang hanya pantas untuk kita kasihani. Dua-duanya sama-sama berbahaya, sebab sama-sama menghapus kemanusiaan mereka yang utuh.

Dari kacamata psikologis, beban difabel tidak hanya terletak pada keterbatasan fisik atau sensorik yang mereka miliki. Beban terbesar justru datang dari interaksi sosial, seperti tatapan iba, ucapan merendahkan, perlakuan diskriminatif, hingga sistem yang menutup kesempatan mereka.

Bayangkan, setiap kali melamar kerja, pintu tertutup hanya karena label “difabel.” Setiap kali keluar rumah, tubuh mereka kita pandang seolah-olah menjadi pusat rasa kasihan. Setiap kali ingin menyuarakan pendapat, suara mereka dianggap tidak penting.

Difabel dan Beban Psikologis

Akumulasi perlakuan semacam itu melahirkan luka batin yang sulit tersembuhkan. Rasa percaya diri terkikis, perasaan tidak berguna menguasai, hingga akhirnya muncul pikiran untuk menyerah. Dalam psikologi, kita mengenal istilah “learned helplessness” atau keadaan ketika seseorang merasa tak berdaya karena berulang kali mengalami kegagalan akibat faktor di luar kendalinya.

Pada difabel, kondisi ini bisa lebih cepat muncul karena dukungan sosial seringkali minim. Lebih buruk lagi, budaya kita masih tabu membicarakan isu kesehatan mental. Depresi seringkali disalahpahami sebagai “kurang iman.” Keinginan bunuh diri dianggap sekadar “lemah.”

Padahal, masalah ini nyata, sama seriusnya dengan penyakit fisik. Bagi difabel, stigma ganda pun muncul, mereka sudah mendapat stigma karena tubuhnya, ditambah lagi dianggap “tidak waras” ketika mengalami gangguan mental.

Apa yang temanku alami sebetulnya mungkin dialami juga oleh teman difabel lainnya. Banyak kisah serupa berserakan, meski jarang tersuarakan. Seorang penyandang disabilitas fisik pernah bercerita bahwa ia merasa seperti “beban keluarga.” Setiap kali ingin keluar rumah, ia harus meminta bantuan, dan itu membuatnya merasa bersalah.

Seorang difabel tuli mengatakan bahwa ia sering merasa tidak terdengar, bukan hanya karena keterbatasan komunikasi, melainkan karena orang-orang enggan bersabar untuk benar-benar memahami bahasanya.

Di satu sisi, cerita-cerita ini menunjukkan bahwa yang mereka butuhkan bukanlah sekadar fasilitas fisik, melainkan penerimaan sosial yang tulus. Di sisi lain, kisah ini juga menegaskan bahwa isu kesehatan mental difabel bukanlah persoalan individu belaka, melainkan persoalan kolektif.

Sistem yang Tidak Inklusif

Mengapa difabel begitu rentan terhadap masalah kesehatan mental? Jawabannya terletak pada sistem sosial yang tidak inklusif. Sejak dari pendidikan, mereka sudah menghadapi tantangan. Banyak difabel tidak bisa mengakses sekolah yang ramah karena fasilitas minim atau guru tidak terlatih untuk mengajar secara inklusif. Akibatnya, peluang untuk berkembang sejak dini sudah tertutup.

Ketika memasuki dunia kerja, hambatan semakin nyata. Data menunjukkan tingkat pengangguran difabel jauh lebih tinggi daripada non-difabel. Perusahaan sering menolak dengan alasan “tidak sesuai kebutuhan,” padahal kenyataannya mereka enggan beradaptasi. Lalu, dalam kehidupan sehari-hari, stigma sosial memperparah situasi.

Difabel sering direduksi menjadi “kasihan” atau “pahlawan,” padahal mereka butuh untuk kita perlakukan sebagai manusia biasa. Layanan kesehatan mental pun jarang ramah difabel. Banyak psikolog, psikiater, atau konselor belum memiliki pelatihan untuk mendampingi difabel, bahkan fasilitas konseling jarang yang aksesibel secara fisik maupun komunikatif.

Sistem yang eksklusif ini membuat difabel menghadapi hambatan ganda, baik fisik maupun mental. Pada akhirnya, muncul lingkaran setan. Keterbatasan akses memicu stres, stres memperburuk kondisi fisik, lalu berujung pada semakin sempitnya kesempatan. Di sinilah kita melihat betapa pentingnya hal kecil yang sering kita anggap remeh yaitu mendengarkan.

Ketika temanku mengungkapkan keinginan bunuh diri, aku tidak punya jawaban. Aku bukan psikolog, bukan pula ahli konseling. Yang bisa kulakukan hanyalah mendengarkan. Aku membiarkan ia bercerita panjang tanpa menyela, tanpa buru-buru menghakimi. Aku tahu, satu kata “jangan” pun bisa terdengar seolah-olah meremehkan penderitaannya. Maka aku hanya hadir, berusaha menunjukkan bahwa ada seseorang yang peduli.

Mendengarkan Sebagai Pertolongan Pertama

Kadang, mendengarkan memang menjadi pertolongan pertama paling sederhana namun paling ampuh. Banyak difabel terbiasa tertolak suaranya. Maka, ketika ada yang sungguh-sungguh mau mendengar, mereka merasa eksistensinya diakui. Itu bisa menjadi tali kecil yang menahan mereka dari jurang paling gelap.

Namun, tentu saja mendengarkan saja tidak cukup. Mereka butuh akses ke layanan profesional, komunitas suportif, serta dukungan nyata dari lingkungan sekitar. Tetapi setidaknya, mendengarkan bisa menjadi pintu awal untuk menyelamatkan nyawa.

Kesehatan mental difabel tidak bisa didekati hanya sebagai masalah pribadi. Ia harus dilihat sebagai isu struktural dan sosial. Perlu ada pendidikan publik tentang kesehatan mental yang membongkar stigma “kurang iman” atau “lemah” yang melekat pada orang dengan depresi. Edukasi ini penting agar difabel bisa mencari bantuan tanpa takut dihakimi.

Layanan kesehatan mental pun harus inklusif, dengan fasilitas yang aksesibel, tenaga profesional yang terlatih, dan pendekatan yang memahami konteks kehidupan difabel. Dunia kerja juga harus berubah, membuka pintu bagi difabel bukan hanya karena kewajiban hukum, melainkan karena pengakuan bahwa mereka mampu dan berhak. Kesempatan kerja bukan hanya soal penghasilan, melainkan juga soal harga diri dan kesehatan mental. Komunitas suportif juga memegang peran penting.

Banyak difabel menemukan kekuatan dalam komunitas yang saling memahami, berbagi pengalaman, dan saling menopang. Ruang-ruang ini perlu diperluas, didukung, dan difasilitasi agar menjadi tempat berbagi tanpa stigma. Dan di luar semua itu, setiap kita sebagai individu punya peran. Hal sederhana seperti menghargai, tidak meremehkan, dan tidak memperlakukan difabel dengan kasihan bisa memberi dampak besar. Dukungan sosial adalah penyangga utama kesehatan mental.

Merawat Kesehatan Mental Difabel

Tulisan ini lahir dari pertemuan dengan keputusasaan seorang teman difabel. Tetapi lebih dari itu, pertemuan itu menjadi refleksi bahwa isu difabel bukan hanya soal akses fisik, melainkan juga soal jiwa. Kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap fakta bahwa banyak difabel bergulat dengan depresi, kecemasan, bahkan keinginan bunuh diri.

Sebagai masyarakat, kita punya pilihan, apakah terus membiarkan mereka merasa sendirian, atau mulai bergerak menciptakan ruang inklusif? Bagiku, jawabannya jelas. Kita perlu menjadikan kesehatan mental difabel sebagai bagian dari publik, kebijakan negara, dan juga perhatian pribadi.

Aku percaya, setiap manusia ingin merasa berarti. Dan tugas kita bersama adalah memastikan bahwa tidak ada satu pun yang merasa hidupnya tidak layak dijalani. Difabel bukan sekadar “inspirasional” atau “beban”, mereka adalah manusia penuh, yang berhak hidup dengan martabat, kesempatan, dan kesehatan mental yang terjaga.

Pengalaman itu menjadi pengingat abadi bagiku bahwa terkadang, hidup seseorang bisa diselamatkan hanya dengan keberanian untuk hadir. Tetapi di atas itu semua, kita membutuhkan perubahan besar agar difabel tidak lagi dibiarkan tenggelam dalam kesepian dan keputusasaan.

Mari kita mulai dari hal kecil, mendengar, memahami, menghargai. Dari sana, semoga lahir sistem yang lebih adil, lebih ramah, dan lebih manusiawi. Karena dunia yang sehat adalah dunia yang tidak meninggalkan siapa pun, termasuk mereka yang difabel. []

Tags: AksesibilitasDifabelInklusi SosialIsu DisabilitasKesehatan Mental
arinarahmatika

arinarahmatika

Terkait Posts

Film Taare Zameen Par
Film

Film Taare Zameen Par: Setiap Anak Istimewa

19 September 2025
Takut Bicara
Personal

Taklukkan Takut Bicara di Depan Umum: Dari Ketakutan Menjadi Kekuatan

18 September 2025
Bahasa Isyarat
Publik

Membuka Ruang Inklusi: Perlunya Kurikulum Bahasa Isyarat untuk Semua Siswa

17 September 2025
Pengguna Kursi Roda
Publik

Salatnya Pengguna Kursi Roda itu Bukan Ruhsah, tapi Azimah

13 September 2025
Shadow Teacher
Publik

Peran Penting Shadow Teacher dalam Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

10 September 2025
Temu Inklusi
Pernak-pernik

Temu Inklusi: Memastikan Aksesibilitas bagi Teman Disabilitas

8 September 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Imajinasi

    Urgensi Imajinasi dan Identitas Manusia Demi Keseimbangan Peradaban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Batas Aurat Ditentukan oleh Konteks Sosial dan Budaya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film Taare Zameen Par: Setiap Anak Istimewa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Santri di Era Digital: Mengapa Dakwah Harus Hadir di Media Sosial?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perbedaan Batasan Aurat Menurut Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ketika Hidup Berubah dengan Satu Kalimat: Refleksi Qobiltu Nikaahaa
  • Inklusivitas di Era Digital: Strategi Baru Kampanye di Media Sosial
  • Difabel dan Kesehatan Mental
  • Mari Akhiri Pernikahan Anak di Lingkungan Kita
  • Santri di Era Digital: Mengapa Dakwah Harus Hadir di Media Sosial?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID