Mubadalah.id – Berbicara mengenai pendidikan inklusif tidak akan lepas dari peran kurikulum yang menjadi salah satu komponen strategis. Tetapi, salah satu tantangan dalam mewujudkan pendidikan inklusif adalah kurikulum yang belum adaptif. Kurikulum dapat kita pahami sebagai semacam pedoman sistematis untuk mencapai cita-cita pendidikan.
Setidaknya kurikulum mencakup empat hal; tujuan pendidikan, isi atau materi, metode dan strategi pembelajaran, serta evaluasi.
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, definisi kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Menilik dari definisi tersebut, kurikulum adalah bagian krusial, atau bahkan kunci akan terciptanya pendidikan yang berkualitas dan inklusif.
Peranan dan Fungsi
Sebagai komponen penting dalam keberlangsungan sektor pendidikan, kurikulum memiliki peranan dan fungsi strategis. Amarta dkk. dalam artikelnya yang berjudul Peranan dan Fungsi Kurikulum Secara Umum dan Khusus menyebutkan setidaknya ada tiga peranan kurikulum. Yaitu Peranan konservatif, peranan kritis atau evaluatif, dan peranan kreatif.
Kemudian kurikulum juga memiliki beberapa fungsi. Menurut Alexander James Inglis, seorang penulis dan pendidik Amerika, fungsi kurikulum ada enam. Yaitu fungsi penyesuaian (the adjustive or adaptive function), fungsi integrasi (the integrating function), fungsi diferensiasi (the differentiating function), fungsi persiapan (the propaedeutic function), fungsi pemilihan (the selective function), dan fungsi diagnostik (the diagnostic function).
Inglis telah secara gamblang menyebutkan bahwa satu dari enam fungsi tersebut adalah fungsi diferensiasi. Hal ini berarti mengandung tafsir bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus memberikan ruang yang tidak terbatas atas perbedaan individual siswa. Karena satu siswa dengan siswa yang lain memiliki perbedaan, baik dari sisi fisik maupun psikis. Menghargai dan memberikan validasi keadaannya menjadi suatu keharusan.
Jika kita andaikan fungsi diferensiasi ini dapat terimplementasi dengan baik dan merata, semua institusi pendidikan tanpa embel-embel “Sekolah Inklusif” sudah seharusnya menerapkan inklusivitas itu sendiri sebagai bare minimum pendidikan.
Mengenalkan kepada anak didik mengenai keberagaman, termasuk penyandang disabilitas dan non-disabilitas. Karena dengan adanya pemahaman atas keberagaman keadaan dan kemampuan, kebutuhan pemenuhan hak-hak pendidikan tentu beragam pula.
Dari Penyeragaman Menuju Keberagaman
Tetapi sayangnya hingga saat ini masih berlaku adanya keseragaman dalam dunia pendidikan, termasuk dalam implementasi kurikulum. Muhammad Khambali dalam bukunya Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan menawarkan dua prinsip yang sepatutnya menjadi acuan ketika mengembangkan serta mengimplementasikan kurikulum bagi anak dengan kebutuhan khusus.
Pertama, memahami bahwa kurikulum adalah pilihan. Dalam kalimat selanjutnya, Khambali menjelaskan bahwa sejatinya kurikulum dibuat untuk anak, alih-alih untuk sekolah. Dengan begitu kurikulum sudah selayaknya menjadikan keragaman siswa sebagai basis acuan. Baik keragaman dari sisi aksesibilitas, secara geografis dan sarana prasarana, maupun identitas tiap siswa yang memiliki layer berbeda.
Prinsip kedua adalah menempatkan kurikulum sebagai rambu atau patokan yang tidak kaku atau rigid. Bukan hanya menganggap sebagai dokumen mati, tetapi menjadi panduan dinamis yang bisa menyesuaikan dengan kebutuhan siswa. Prinsip ini perlu diterapkan dengan fakta bahwa satu siswa dengan siswa lain memiliki kebutuhan dan karakteristik yang berbeda.
Di mana perbedaan ini adalah sebuah keniscayaan. Oleh sebab itu fleksibilitas implementasi kurikulum kemudian menjadi kebutuhan agar tidak ada penyeragaman atas keberagaman. Karena pendekatan yang seragam justru akan menghambat perkembangan siswa. Dengan ‘membaca’ kurikulum sebagai pedoman yang lentur akan memungkinkan ruang untuk penyesuaian strategi dan metode pembelajaran agar tetap relevan dan inklusif.
Dari Teori Pembelajaran Berdiferensiasi Menuju Implementasi
Dalam konteks Indonesia, sangat perlu merealisasikan pembelajaran berdiferensiasi karena latar belakang siswa yang multikultural. Hal ini sama pentingnya dengan mengimplementasikan pembelajaran tersebut dalam konteks latar belakang penyandang disabilitas dan non-disabilitas. Menurut Carol Ann Tomlinson, pembelajaran berdiferensiasi atau differentiated Instruction merupakan upaya penyesuaian proses pembelajaran demi memenuhi kebutuhan siswa.
Artinya prinsip pembelajaran ini menempatkan kebutuhan siswa sebagai sentral atau fokus utama dalam proses belajar dan mengajar. Jadi, sebelum adanya proses belajar dan mengajar, guru melaksanakan screening terhadap siswa terlebih dahulu. Mengenali dan menganalisis keberagaman, mendialogkan dengan kurikulum, kemudian menyusun strategi dan metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
Pembelajaran berdiferensiasi dalam konteks kebutuhan bagi siswa penyandang disabilitas memiliki prinsip utama. Yaitu mengakui bahwa siswa dengan disabilitas memiliki potensi yang setara dengan siswa non-disabilitas. Artinya menggunakan kacamata keadilan bahwa siswa dengan penyandang disabilitas merupakan subjek penuh dalam lingkungan pendidikan.
Dalam hal ini, guru dan institusi sekolah harus mampu memodifikasi lima unsur kegiatan belajar. Yakni materi pembelajaran, proses pembelajaran, produk, lingkungan, dan evaluasi atau asesmen. Misalnya menyediakan teks dengan huruf braille bagi siswa disabilitas netra, menggunakan bahasa isyarat bagi siswa Tuli, serta memberikan waktu tambahan bagi penyandang disabilitas intelektual.
Jika hal tersebut terwujud, maka teori pembelajaran berdiferensiasi bukan hanya berhenti pada tataran teknis saja. Tetapi mewujudkan kemerdekaan dan pemenuhan hak pendidikan bagi penyandang disabilitas.
Membicarakan pendidikan inklusif dengan prinsip pembelajaran berdiferensiasi yang merata di Indonesia, memang terasa seperti cita-cita utopis. Mengingat sektor pendidikan tidak menjadi kebijakan strategis pemerintah. Tetapi tidak ada salahnya jika merawat, menghidupi, dan menyebarluaskan cita-cita tersebut, kemudian berharap sedikit-demi sedikit akan terwujud, bukan? []