Mubadalah.id – Bagi sebagian perempuan, menikah sering kita pandang sebagai pencapaian besar dalam hidup. Namun, tak jarang momen bahagia itu justru diikuti dengan serangkaian pertanyaan yang datang tanpa henti. Baru saja cincin melingkar di jari, orang-orang terdekat langsung melontarkan pertanyaan klasik,
“Kapan punya anak?”
“Nggak usah ditunda, nanti malah lama dapatnya”
“Udah isi belum?”
Seolah-olah sebuah pernikahan tidak lengkap tanpa kehadiran bayi. Ironisnya, kalau si perempuan belum juga hamil, ia yang pertama kali terposisikan sebagai penyebabnya. Entah dianggap terlalu sibuk bekerja, terlalu lelah, kurang sehat, atau bahkan kurang berdoa.
Tekanan ini tak berhenti di situ. Ketika akhirnya memiliki anak, muncul lagi komentar “Kapan nambah lagi?” Jika memilih menunda, perempuan kembali menjadi sasaran gosip.
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini terasa sepele bagi yang melontarkan, tetapi bagi perempuan, ia bisa jadi beban mental yang sangat besar. Ternyata menikah bukan berarti selesai dari tekanan sosial, melainkan justru membuka pintu babak baru dengan ekspektasi yang nyaris tak ada habisnya.
Serba Salah dalam Konstruksi Patriarki
Masyarakat patriarki melihat perempuan menikah selalu berada dalam posisi serba salah. Jika ia bekerja dan belum punya anak, ia tertuding terlalu sibuk mengejar karier. Jika ia memilih tidak bekerja, langsung dianggap numpang hidup dari suami. Bertambah lagi kalau ia berpendidikan tinggi lalu memutuskan menjadi ibu rumah tangga, komentar yang muncul pun bernada merendahkan
“Sayang banget, sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya di dapur.”
Tidak ada ruang yang benar-benar aman. Pilihan apapun yang perempuan ambil seolah selalu salah di mata orang lain. Inilah yang oleh para peneliti sosiologi menyebutkannya sebagai double bind, yakni kondisi ketika setiap keputusan yang kita ambil tetap akan berujung pada kritik.
Fenomena ini bukan hanya cerita keseharian, tetapi juga tercermin dalam berbagai penelitian. Journal of Marriage and Family menunjukkan bahwa perempuan menikah lebih sering mengalami tekanan sosial terkait peran reproduksi dibanding laki-laki. Penelitian ini menemukan adanya bias besar, di mana masyarakat cenderung menyalahkan perempuan ketika pasangan belum memiliki anak, sementara laki-laki nyaris terbebas dari tudingan serupa.
Lebih lanjut, Nur Hidayati dalam Jurnal Sosiologi Reflektif menegaskan hal serupa. Ia menemukan bahwa stigma belum punya anak hampir selalu melekat pada perempuan, meskipun persoalan kesuburan sebenarnya bisa berasal dari laki-laki.
Laporan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2022 bahkan mencatat bahwa 65% perempuan merasa tertekan akibat pertanyaan atau komentar seputar kehamilan setelah menikah.
Di sisi lain, ekspektasi soal bekerja atau tidak bekerja juga menjadi beban tersendiri. Kajian UN Women 2020 menjelaskan bahwa perempuan di Asia Tenggara masih menghadapi beban ganda. Yakni tuntutan mengurus rumah tangga sekaligus dituntut berkontribusi di ranah publik. Tak heran jika banyak perempuan merasa apa pun yang mereka lakukan, selalu ada yang salah di mata masyarakat.
Tekanan yang Nyata, Bukan Sekadar Baper
Sebagian orang mungkin menilai bahwa pertanyaan seperti “Kapan punya anak?” hanyalah bentuk perhatian. Padahal, di balik kalimat itu, tersimpan potensi luka. Bagi perempuan yang sedang berjuang menghadapi masalah kesehatan reproduksi, komentar tersebut bisa terasa seperti tusukan.
Bagi mereka yang memilih menunda punya anak karena alasan ekonomi atau karier, pertanyaan itu bisa menimbulkan rasa bersalah atau dianggap tidak berbakti pada keluarga.
Dalam jangka panjang, tekanan sosial semacam ini bisa memengaruhi kesehatan mental. Studi dari Frontiers in Psychology menemukan bahwa stigma terkait infertilitas atau keterlambatan memiliki anak dapat meningkatkan risiko depresi pada perempuan. Tekanan ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga bisa mengganggu kualitas hubungan suami istri.
Standar Ganda dan Refleksi Keadilan Gender
Yang membuat situasi ini semakin ironis adalah adanya standar ganda. Laki-laki jarang sekali kita tanya dengan intensitas yang sama mengenai “Kapan punya anak?” atau “Kenapa belum punya anak?”.
Bahkan jika seorang suami lebih memilih fokus bekerja dan jarang membantu urusan rumah tangga, masyarakat cenderung memaklumi. Sementara perempuan harus terus membuktikan diri. Harus mampu menjadi ibu yang baik, istri yang patuh, pekerja yang produktif, sekaligus tetap menjaga penampilan.
Bu Nur Rofiah dalam bukunya Nalar Kritis Muslimah menyatakan bahwa perempuan sering kali diperlakukan sebagai penanggung jawab utama atas urusan domestik dan reproduksi. Padahal dalam Islam, tanggung jawab itu bersifat mubadalah artinya saling berbagi dan saling mendukung antara suami dan istri.
“Perempuan bukanlah alat reproduksi sosial semata, melainkan subjek penuh yang memiliki kehendak, pengetahuan, dan tanggung jawab atas dirinya.”
Artinya, keputusan untuk memiliki anak bukanlah ajang pembuktian atau kewajiban sepihak, melainkan hasil dialog setara antara dua manusia dewasa. Hal ini tentu menentang pandangan lama bahwa nilai perempuan terukur dari rahimnya. Beliau juga mengingatkan bahwa ukuran kebermaknaan perempuan tidak terletak pada berapa banyak anak yang ia lahirkan, tapi pada sejauh mana ia bisa tumbuh sebagai manusia yang merdeka dan bahagia.
Dengan kata lain, tubuh dan pilihan hidup perempuan bukanlah ruang publik yang bisa diintervensi siapa pun. Ketika pertanyaan itu muncul dari ibu kandung, mertua, teman, atau tetangga, perempuan sering kali hanya bisa tersenyum sambil menelan perasaan sendiri, menimbang antara memberi jawaban yang memuaskan orang lain atau mempertahankan ruang pribadinya. Namun seperti kata Bu Nur Rofiah,
“Keadilan gender bukan soal siapa yang lebih tinggi, tapi bagaimana setiap pihak mendapatkan ruang untuk menjadi manusia seutuhnya.”
Dan mungkin, dari kalimat itu kita bisa belajar, bahwa menghormati perempuan berarti menghargai pilihannya, bukan menginterogasinya. Cinta sejati dalam pernikahan bukan tentang siapa yang lebih dulu punya anak, tapi siapa yang lebih dulu belajar memahami. []