Mubadalah.id – Haidh bukan aib. Nifas bukan kelemahan. Dan istihadhah bukan dosa. Ketiganya adalah bagian dari fitrah biologis perempuan yang telah Tuhan atur dengan penuh hikmah.
Maka, sudah saatnya masyarakat Islam memandang persoalan reproduksi perempuan dengan perspektif keadilan dan kemanusiaan, bukan hanya hukum dan larangan.
Karena pandangan Islam sesungguhnya sangat menghormati perempuan. Nabi SAW bersabda, “Perempuan adalah saudara kandung laki-laki (asy-syqāiq).”
Hadis ini menunjukkan tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dengan begitu, semua tafsir dan fiqh yang menempatkan perempuan seolah-olah lebih rendah. Maka perlu kita tinjau ulang dengan pendekatan fiqh yang berkeadilan gender, sebagaimana pandangan para ulama perempuan seperti Nyai Hj. Badriyah Fayumi dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
KUPI berpendapat, pengalaman biologis perempuan adalah sumber pengetahuan keagamaan yang sah. Ia tidak boleh kita abaikan dalam tafsir maupun hukum Islam. Sebab, mengabaikan pengalaman perempuan sama saja menafikan separuh realitas umat.
Bahkan, Nyai Badriyah menegaskan bahwa haidh, nifas, dan istihadhah menyangkut pengakuan terhadap eksistensi perempuan sebagai manusia utuh.
Oleh karena itu, Islam sesungguhnya datang untuk memuliakan manusia, bukan membebani. Maka, tugas kita hari ini adalah menafsirkan ulang teks-teks agama dengan semangat kemanusiaan dan keadilan bukan dengan kacamata patriarki.
Sebab menstruasi bukanlah kotoran, tetapi siklus reproduksi yang normal. Darah yang keluar setiap bulan dari tubuh perempuan adalah simbol kekuatan, bukan kelemahan.
Sudah saatnya kita belajar dari para ulama perempuan bahwa memahami agama berarti juga memahami tubuh perempuan dengan penuh empati. []








































