Mubadalah.id – Fahmina genap berusia 25 tahun. Peringatan Hari Lahir yang digelar di Cirebon, Selasa (25/11/2025), menjadi ruang refleksi seperempat abad perjuangan lembaga advokasi Islam progresif tersebut.
Ketua Yayasan Fahmina, Marzuki Rais, dalam sambutannya mengatakan bahwa hari ulang tahun lembaga sebenarnya jatuh pada 10 November 2025. Ia menyampaikan terima kasih kepada para tamu dan peserta yang hadir.
“Sebenarnya bukan hari ini. Kemarin, 10 November. Perjalanan kami sudah seperempat abad di Cirebon dan seluruh Indonesia. Kerja-kerja kami bukan hanya di Cirebon, meski kami lahir dan berbasis di sini, tapi gerakannya menjangkau seluruh Indonesia dan Asia,” kata Marzuki.
Marzuki menceritakan awal mula Fahmina Institute yang bermula dari ruang kontrakan sederhana seluas 100 meter persegi di Jl. Pangeran Drajat.
Di tempat kecil itu, para pendiri mulai berdiskusi dan mengkaji kegelisahan utama mereka yaitu realitas diskriminasi berbasis agama dan gender yang kerap dilegitimasi sebagai ajaran melalui tafsir keagamaan yang tekstual.
Perjalanan kemudian berpindah ke gang kecil di Gang Bakti. Dari sana, mereka mulai menerbitkan buletin dan jurnal untuk menyebarkan gagasan Islam yang memihak kesetaraan dan demokrasi.
Bahkan, mengadakan pelatihan Islam dan Gender juga mulai meluas ke berbagai kota lewat jejaring perguruan tinggi, melalui Pusat Studi Gender di kampus-kampus yang dulu lebih dikenal sebagai PSW.
Gagasan gerakan melalui pelatihan perlu kami perkuat lewat pendidikan formal. Marzuki bersama pendiri memutuskan mendirikan perguruan tinggi, yakni Institut Studi Islam Fahmina (ISIF).
“Lewat pendidikan, ada struktur, ujian, UTS. Harapan kami, isu demokrasi, gender, dan lainnya bisa kami sampaikan secara sistematis dan mengikat,” ujar Marzuki.
Lahir ISIF, Mubadalah, SD Awliya
Kini, ruang gerak lembaga berkembang ke berbagai sektor. Selain ISIF, lahir pula platform kesetaraan gender Mubadalah.id, pusat pelatihan vokasi komunitas BLK Komunitas, serta sekolah dasar SD Awliya.
Fahmina juga menjalankan program inovasi Sekolah Agama dan Kepercayaan (SAK), yang membawa anak muda belajar langsung ke rumah ibadah untuk berdialog dengan pemuka agama setempat, memperluas makna lintas iman hingga relasi manusia dengan alam.
Selama 25 tahun, perjalanan advokasi tidak selalu diterima mulus. “Di awal Reformasi, tudingan liberal sangat kuat, bahkan disertai serangan oleh pihak yang tidak sepaham,” katanya.
Meski begitu, konsistensi gerakan justru mengantarkan apresiasi global. Salah satu pendiri, Buya Husein Muhammad, pernah menerima penghargaan internasional yang membuat metodologi dan kajian Fahmina dipelajari di sejumlah negara Asia.
“Tahun kemarin ada empat negara datang belajar: dari Pakistan, Malaysia, Taiwan, dan Filipina. Kunjungan dari Asia Selatan bahkan sudah sering sejak 2004–2005,” tutup Marzuki. []











































