Mubadalah.id – Setiap pekan, linimasa media sosial kita terpenuhi beragam kisah tentang kegelisahan anak muda. Tekanan karier, kecemasan hidup di kota besar, dan rasa tidak pasti menghadapi masa depan. Di balik unggahan yang tampak ceria, banyak dari mereka menyimpan kegelisahan yang dalam.
Kondisi ini menandai munculnya bentuk kerapuhan sosial baru ketika generasi muda hidup di tengah derasnya perubahan, tetapi kehilangan arah dan pegangan makna. Ini bukan semata persoalan individu, melainkan potret perubahan sosial yang lebih luas. Ketika norma dan solidaritas masyarakat melemah di tengah tuntutan modernitas yang kian kompleks.
Kerapuhan itu tampak dari berbagai sisi. Tingginya angka depresi, meningkatnya kekhawatiran sosial, polarisasi opini di dunia maya, dan tekanan ekonomi menjadi gejala nyata keterasingan sosial generasi muda. Mereka hidup di ruang yang terfragmentasi.
Secara daring terhubung, namun dalam kehidupan nyata justru terisolasi. Rasa tertekan, kebingungan memilih jalan hidup, dan tekanan performa membuat banyak anak muda kehilangan arah. Di sinilah titik kritis kerapuhan sosial baru yang membutuhkan perhatian serius.
Konsep Anomie
Sosiolog Prancis, Émile Durkheim, dalam karyanya Le Suicide (1897), memperkenalkan konsep anomie, kondisi di mana norma sosial melemah sehingga individu kehilangan pegangan moral dan sosial. Durkheim menjelaskan bahwa anomie muncul ketika masyarakat gagal membangun kesepakatan nilai yang memberi arah hidup.
Di Indonesia hari ini, banyak anak muda yang merasakan anomie versi modern. Ekspektasi untuk sukses di usia muda, dan tuntutan tampil di media sosial. Selain itu tekanan ekonomi membuat mereka seperti terombang-ambing di tengah kebebasan yang menyesakkan. Ketiadaan norma yang jelas membuat individu rentan terhadap stres, kebingungan identitas, dan perilaku sosial yang tidak terkontrol.
Survei Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022 menemukan bahwa sekitar 34,9% remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental, setara dengan 15,5 juta remaja.
Gangguan yang paling umum adalah kecemasan (28,2% pada perempuan dan 25,4% pada laki-laki) dan depresi (6,7% pada perempuan dan 4,0% pada laki-laki). Data ini menunjukkan bahwa masalah psikologis anak muda bukan sekadar persoalan individu, melainkan kondisi sistemik yang memerlukan perhatian sosial.
Selain itu, data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri mencatat bahwa sepanjang Januari hingga Mei 2025, terjadi 594 kasus bunuh diri, dengan 46,6% melibatkan remaja berusia 15–29 tahun.
Angka ini mencerminkan bahwa kerapuhan sosial bukan hanya masalah pribadi, tetapi krisis sosial kolektif. Survei Lembaga Psikologi Indonesia tahun 2025 menunjukkan bahwa 60% penderita depresi enggan mencari bantuan karena takut dianggap lemah atau “tidak stabil”. Stigma sosial yang kuat memperburuk isolasi dan membuat individu semakin terasing.
Anak Muda Terjebak dalam Ruang Gema
Media sosial, yang awalnya menjanjikan keterhubungan, kini justru memperkuat isolasi. Budaya perbandingan tanpa henti menciptakan tekanan psikologis, sementara algoritma mempersempit pandangan dunia. Anak muda mudah terjebak dalam ruang gema (echo chamber) yang menegaskan pandangan mereka sendiri, sehingga empati terhadap orang lain menurun.
Situasi ini terlihat dalam meningkatnya polarisasi sosial dan perdebatan sengit di ruang digital. Mereka yang seharusnya menjadi jembatan dialog justru terseret dalam arus kebencian digital, teralienasi dari realitas sosial yang lebih luas.
Di sisi lain, dunia pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pembentukan karakter sosial masih terlalu menekankan kompetensi akademik. Sekolah dan perguruan tinggi sibuk mengejar akreditasi dan prestasi formal, sementara pembinaan nilai-nilai sosial kurang diperhatikan.
Anak muda terdorong untuk berhasil secara individual, bukan tumbuh bersama. Kehilangan komunitas nyata memperparah keadaan. Ruang sosial lokal yang dulu menguatkan solidaritas kini melemah, sehingga mereka mencari validasi di dunia maya yang rapuh.
Pasca-pandemi, ketika ekonomi digital tumbuh pesat dan biaya hidup meningkat, banyak anak muda terjebak dalam pekerjaan serabutan (gig economy) tanpa kepastian masa depan. Dalam kondisi ini, rasa cemas dan kehilangan makna mudah berubah menjadi keputusasaan sosial. Jika kita biarkan, kerapuhan sosial baru ini akan berimplikasi luas: dari meningkatnya konflik generasi hingga melemahnya kohesi sosial di tingkat komunitas dan nasional.
Solidaritas Sosial
Durkheim menegaskan bahwa solidaritas sosial adalah fondasi kebahagiaan manusia. Tanpa solidaritas, masyarakat rentan mengalami disintegrasi moral. Untuk membangun kembali jaringan sosial yang kuat, perlu keterlibatan berbagai pihak. Keluarga harus menjadi pelindung dan pemberi pegangan nilai, di mana anak muda merasa aman untuk mengekspresikan diri tanpa takut terhakimi.
Komunitas lokal perlu menghadirkan ruang interaksi sosial yang inklusif, memungkinkan pertukaran gagasan dan pengalaman. Sekolah dan perguruan tinggi harus mengintegrasikan pendidikan karakter, empati, dan kolaborasi dalam kurikulum, bukan hanya menekankan pencapaian akademik.
Media dan influencer juga memiliki peran penting. Mereka bisa menjadi penguat narasi positif tentang kebermaknaan hidup, menekankan kolaborasi, solidaritas, dan kepedulian sosial.
Kebudayaan digital harus kita arahkan untuk membangun empati dan menumbuhkan kepedulian, bukan sekadar persaingan dan perbandingan instan. Pemerintah dan lembaga sosial dapat menyediakan ruang aman bagi anak muda untuk menyalurkan kreativitas, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan membangun jejaring solidaritas yang sehat.
Kerapuhan sosial yang dialami generasi muda Indonesia saat ini bukan sekadar kejadian individual, melainkan simptom struktural dari melemahnya norma dan solidaritas sosial adalah inti dari konsep anomie Durkheim. Data di atas menunjukkan bahwa hampir sepertiga remaja Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental, sementara hampir setengah kasus bunuh diri melibatkan kelompok usia 15–29 tahun.
Menyoal Kerapuhan Sosial
Stigma terhadap kesehatan mental memperburuk isolasi mereka, sehingga masalah yang awalnya bersifat personal berubah menjadi krisis sosial kolektif. Dalam konteks ini, teknologi dan media sosial, yang seharusnya memperkuat keterhubungan, justru menimbulkan fragmentasi pengalaman sosial, memperlemah jaringan solidaritas, dan memicu polarisasi yang mengakar.
Kondisi ini menunjukkan bahwa anak muda hidup dalam ruang sosial yang kehilangan pedoman normatif yang jelas. Kompetisi akademik, tekanan ekonomi, ekspektasi kesuksesan instan, dan budaya perbandingan digital menciptakan ketidakpastian nilai yang memunculkan kegelisahan, rasa cemas, dan kehilangan makna.
Dengan kata lain, mereka bukan hanya menghadapi tekanan psikologis, tetapi juga ketidakjelasan sosial dan moral yang membuat mereka rentan terhadap disintegrasi sosial. Tanpa intervensi terpadu dari keluarga, sekolah, komunitas, media, dan pemerintah, kerapuhan ini akan terus memperdalam fragmentasi sosial dan melemahkan kohesi masyarakat Indonesia di masa depan.
Perhatian terhadap kesehatan mental anak muda tidak boleh hanya bersifat individual atau reaktif. Kita membutuhkan pendekatan sistemik dan integratif yang mengembalikan pedoman norma sosial dan memperkuat jaringan solidaritas.
Pendidikan karakter yang menekankan empati, ruang aman untuk ekspresi kreatif, narasi positif di media, serta dukungan keluarga dan komunitas adalah kunci untuk membalik kondisi ini. Hanya dengan memulihkan fondasi moral dan sosial yang stabil, anak muda Indonesia dapat mengatasi kerapuhan sosial, menguatkan kohesi sosial, dan berkontribusi pada pembangunan masyarakat yang lebih inklusif, resilient, dan bermakna. []








































