Mubadalah.id – Dalam beberapa tahun terakhir, isu terkait perempuan semakin menyebar dan menarik perhatian publik. Beberapa kalangan menyoroti bahwa hak-hak kaum perempuan masih perlu kita perjuangkan karena mereka belum memiliki kesempatan yang setara dengan laki-laki.
Di sisi lain, tidak sedikit pula yang memberikan kritik mengenai struktur sosial dan praktik budaya tertentu yang dianggap membatasi ruang gerak perempuan.
Dalam berbagai narasi yang muncul, Islam menjadi salah satunya yang mendapatkan kritik, khususnya terkait ajaran yang mengatur aurat, hijab, dan penjagaan diri. Bagi beberapa orang, aturan-aturan tersebut mungkin terlihat sebagai suatu beban yang membatasi kebebasan perempuan. Disinilah kesalahpahaman tersebut belum menemukan titik temunya.
Di tengah berbagai perdebatan yang ada, novel Ratu yang Bersujud karya Mahdavi menghadirkan narasi untuk merefleksikan ulang apa yang selama ini masih menjadi simpang siur bagi beberapa kalangan.
Perjalanan para tokohnya mengajak kita untuk menelusuri bagaimana agensi perempuan, memaknai hijab, dan nilai-nilai spiritual bisa kita pahami secara lebih utuh. Pergulatan batin yang Charlotte alami ketika berinteraksi dengan saudaranya sepupunya memberikan ruang pemahaman yang baru.
Makna Hijab yang Sering Disalahpahami
Saat ini, sudah banyak perempuan di luar sana yang mengenakan hijab. Mereka pelan-pelan memahami bahwa hal itu merupakan suatu keharusan yang harus terjaga sebagai seorang muslimah. Selain itu, hijab juga sudah menjadi tren fashion yang terus berkembang setiap masanya. Namun, tidak sedikit pula yang mempertanyakan esensi untuk menggunakannya.
Apakah memakai hijab sepenting itu? Bahkan, beberapa orang punya keyakinan jika hijab tidaklah menjamin kebaikan hati seseorang. Bertambah lagi adanya berbagai perdebatan yang mengatakan jika hal tersebut terkesan memaksa perempuan tentang bagaimana dia harus memperlakukan diri. Seolah-olah cara mereka menampakkan diri terbatasi sedemikian rupa. Tentu kita tidak dapat menyalahkan pendapat tersebut karena mereka mungkin melihatnya berdasarkan pengalaman masing-masing.
Dalam novel Ratu yang Bersujud, dialog antar tokohnya memberikan suatu pemahaman bagaimana makna hijab yang sesungguhnya. Ia bukan hanya simbol yang perlu ia tunjukkan agar setiap orang tahu identitas diri. Lebih dari itu, hijab memberikan banyak sekali keutamaan. Perempuan diperintahkan untuk menggunakannya sebagai sistem perlindungan yang preventif.
Perempuan di Masa Nabi
Pada masa Nabi Muhammad Saw., kehidupan yang ada tidak kalah bebas dengan apa yang ada di zaman modern ini. Akibatnya, ada berbagai kejahatan yang perempuan alami. Hijab memiliki esensi sebagai bentuk kebebasan. Di era sekarang ini, ada banyak sekali industri dan tren yang menargetkan perempuan seperti kosmetik ataupun fashion.
Menggunakan kosmetik dan fashion sesuai zaman tidak terlarang sama sekali. Hal tersebut sangat boleh selama tidak melanggar syariat. Yang menjadi masalah adalah saat berbagai tren yang muncul justru membuat perempuan tidak mampu mengontrol diri sendiri. Mereka terus disibukkan untuk berpikir pakaian model apa yang akan ia kenakan dan produk-produk apa yang harus ia miliki supaya dianggap sebagai perempuan yang keren.
Ada beberapa orang yang mungkin merubah fisiknya hanya untuk memenuhi standar kecantikan yang terakui oleh masyarakat umum. Dengan memakai hijab, perempuan bisa membebaskan diri dari standar yang membelenggu dan hal-hal konsumtif dari berbagai industri yang sebenarnya tidak memberikan kebahagiaan dan manfaat.
Hijab juga merupakan salah satu cara untuk menghindari kemelekatan terhadap hal-hal yang bersifat sementara. Dengan begitu, perempuan bisa lebih memfokuskan diri untuk melakukan sesuatu yang lebih bermakna. Islam sama sekali tidak melarang pengikutnya untuk berbudaya dan menyalurkan ekspresi. Namun lebih pada melindungi dari apapun yang berpotensi membahayakan fisik, jiwa, dan keyakinan.
Perempuan juga Punya Pilihan
Beberapa stigma yang menyebar di masyarakat mungkin memunculkan persepsi bagaimana perempuan dituntut untuk taat dan tunduk terhadap aturan yang sudah ditetapkan pada mereka. Dari situlah tercipta suatu pemahaman bahwa perempuan tidak memiliki ruang gerak bahkan untuk sekedar menentukan pilihan hidupnya.
Namun faktanya, perempuan tidak hanya dianggap sebagai penerima aturan saja. Mereka adalah pribadi yang juga teranugerahi pikiran dan akal sehat untuk memutuskan setiap langkah yang ia ambil. Dengan begitu, mereka juga memiliki tanggung jawab atas apa yang ia lakukan.
Adapun berbagai ajaran atau aturan yang selama ini tersampaikan bertujuan untuk mengarahkan agar segala sesuatunya tidak melewati batas. Dalam hal berpendapat, perempuan juga berhak untuk tidak menyetujui suatu narasi yang mungkin bertentangan dengan nilai hidup mereka.
Dalam novel Ratu yang Bersujud, salah satu tokohnya mempertanyakan berbagai hal yang ada dalam agama Islam. Dia merenungi ajaran yang baru saja ia pelajari dan sempat mengalami pergolakan batin karena ternyata apa yang sebelumnya dia pahami sangat berbeda jauh dengan kenyataannya.
Meskipun begitu, dia memberikan ruang pada diri agar tidak terburu-buru menyimpulkan keyakinannya. Begitupun orang-orang di sekitarnya yang tidak memaksa dia dalam memilih sampai akhirnya dia memutuskan untuk menjadi mualaf dengan kesadarannya sendiri.
Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam
Perbincangan antara Charlotte dan Lale dalam novel Ratu yang bersujud memberikan ruang yang utuh untuk memahami kesetaraan gender yang seharusnya diterapkan. Laki-laki dan perempuan memang diciptakan dengan fitrah dan kapasitas yang berbeda. Akan tetapi, perbedaan tersebut tidak sepantasnya kita jadikan perdebatan tentang siapa yang paling kuat dan lebih unggul.
Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa’ yang menggambarkan bahwa laki-laki adalah qawwam bagi perempuan. Qawwam tidak dimaknai sebagai superioritas laki-laki, namun lebih kepada tanggung jawab untuk menafkahi, menjaga, dan memberikan rasa aman bagi perempuan yang ada di sampingnya.
Sementara perempuan juga dapat memberikan kontribusi yang sama mulianya seperti halnya menghadirkan kehangatan secara emosional di tengah keluarga atau komunitas. Selain itu juga menjadi sumber nilai spiritualitas yang menenangkan.
Jika keduanya fokus menjalani perannya masing-masing, maka akan tercipta suatu keselarasan yang indah. Peran gender yang ada bukanlah soal dominasi, akan tetapi tentang keseimbangan dan saling memuliakan satu sama lain. []










































