“Dan diantara tanda-tanda (kebesara)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan- pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. Ar-Rum, 21).
Menikah merupakan impian semua orang. Menikah adalah komitmen untuk hidup bersama antara laki-laki dan perempuan yang disatukan dalam jalinan ikatan suci pernikahan yang disaksikan oleh Allah SWT dengan perantara Wali dan Penghulu dengan ikrar ijab dan qabul.
Dalam menjalani bahtera rumah tangga tentu saja tidak semudah mengucap ijab. Bayangkan saja, orang yang awalnya kita kenal sebatas pada saat pacaran atau ta’aruf, kini harus menjalani hidup bersama sebagai suami-isteri.
Dimana saat menjalin hubungan ta’aruf seringnya yang terlihat hanya hal baiknya saja, kita belum terlalu tahu tentang sifat asli dan kebiasaan buruk pasangan dan tentu saja hal itu akan terungkap ketika hidup satu atap.
Sehingga diperlukan adaptasi dan komunikasi yang baik antara pasangan. Dengan beradapatasi diharapkan sifat atau kebiasaan buruk yang dimiliki pasangan bisa diterima atau bahkan pelan-pelan bisa dirubah setelah dikomunikasikan.
Adaptasi diperlukan bukan hanya antar pasangan tetapi juga adaptasi dengan anggota keluarga. Menikah sejatinya bukan hanya menyatukan dua sejoli akan tetapi menyatukan dua keluarga dengan sifat dan karakter yang beragam. Sehingga, jika hal tersebut bisa dilalui tentu saja hubungan suami isteri beserta anggota keluarganya (mertua, ipar, dan lain-lain) akan berjalan dengan baik.
Ironisnya masalah rumah tangga bukan hanya sebatas adaptasi dengan pasangan dan anggota keluarga saja. Ada banyak faktor yang sering kita sebut dengan ujian dalam rumah tangga, salah satunya adalah hadirnya orang ketiga yang berdampak pada keretakan rumah tangga.
Ada sebuah ungkapan:“Perempuan di uji ketika laki-laki tidak memiliki apa-apa, dan Laki-laki di uji ketika berada dipuncak karir (punya segalanya).”
Ya, faktor ekonomi merupakan faktor dominan yang sering memicu ketidak harmonisan hubungan dalam rumah tangga. Alih-alih berusaha keras dalam situasi tersebut yang terjadi malah sering cekcok karena perut minta diisi, anak-anak minta jajan tetapi tidak sedang pegang uang.
Pun, pada saat ekonomi diatas (puncak karir), bagi yang belum siap berada di puncak kesuksesan yang sedang diraihnya, bisa saja terjebak oleh hadirnya orang ketiga, bisa lelaki atau perempuan lain. Hadirnya orang ketiga tersebut tentu saja berakibat pada ketidakharmonisan rumah tangga.
Seperti halnya menikah adalah komitmen antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama-sama dalam suka-duka, dalam susah-senang, dalam janji suci pernikahan. Sehingga, mempertahankan biduk rumah tangga juga merupakan tanggungjawab bersama (suami-isteri). Kegagalan rumah tangga berarti kegagalan suami dan isteri dalam mempertahankannya,
Jika menelisik firman Allah SWT dalam surat Ar-rum ayat 21 diatas, tujuan Allah SWT menciptakan pasangan- pasangan untukmu (suami isteri) adalah agar saling menetramkan, saling mengasihi dan saling menyayangi satu sama lain.
Lantas bagaimana jika hadirnya orang ketiga dalam hubungan rumah tangga sehingga baik suami maupun isteri tidak lagi saling menetramkan, tidak lagi saling mengasihi dan saling menyanyangi satu sama lain. Apakah harus mempertahankan atau mengakhiri bahtera rumah tangga?
Ketika dihadapkan dengan pilihan tersebut tentu saja ibarat makan buah simalakama. Buah yang disatu sisi mengandung banyak manfaat sekaligus bisa menjadi racun yang berbahaya bagi tubuh jika dikonsumsi tidak tepat.
Lalu, dihadapkan pada pilihan mempertahankan atau mengkakhiri biduk rumah tangga tentu saja ada konsekuensi yang harus dipertaruhkan, sehingga tidak jarang membuat salah satu pihak (isteri/suami) lebih memilih bertahan dengan rumah tangganya yang tidak lagi sehat atau memilih mengakhiri bagi mereka yang memiliki keberanian menanggung segala konsekuensi.
Konsekuensi bagi mereka yang memilih mempertahankan pasangan, diantaranya adalah terbelenggu dalam kesedihan berkepanjangan dan keterpurukan. Hal tersebut jika dibiarkan dalam jangka waktu tertentu berakibat pada tekanan mental, terganggunya kondisi fisik dan kejiawaan yang mengakibatkan depresi. Fisik yang semakin kurus, lesu, sering marah-marah, menutup diri, anti sosial dan tak bergairah dalam menjalani hidup karena merasa tertekan dengan keadaan yang ada.
Dampak dari sering marah-marah atau depresi fatalnya sering kali dilampiasan kepada lingkungan terdekat dalam hal ini, anak. Karena kasus broken home yang menjadi korban sesungguhnya adalah anak. Di mana anak yang seharusnya berbahagia mendapatkan kasih sayang dan perlindungan dari kedua orang tua malah menjadi korban kekerasan.
Sehingga yang harus menjadi pertimbangan para orang tua adalah jangan pernah melibatkan anak dalam perselisihan. Seorang anak tidak dapat memilih orangtuanya sendiri, maka jangan pernah biarkan anak masuk dalam masalah orang tua. Sebisa mungkin, jangan pernah libatkan mereka.
Karena jika hal tersebut terjadi tentu saja akan mempengaruhi perkembangan psikologis dan karakter anak ketika mereka beranjak dewasa. Misalnya anak trauma tidak menginginkan untuk menikah. Selain itu, dampak kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak juga berkorelasi dengan perkembangan regulasi emosi anak dan perilakunya yang buruk di kemudian hari.
Orang dewasa yang pernah mengalami hukuman fisik berupa kekerasan ketika masih anak- anak memiliki kemungkinan lebih besar untuk melakukan kekerasan terhadap pasangan atau anaknya sendiri, dan atau melakukan tindakan kriminal.
Sebaliknya, jika memilih mengakhiri biduk rumah tangga juga harus menerima konsekuensi. Parahnya konsekuensi ketika memilih mengakhiri biduk rumah tangga justru lebih besar dirasa pihak isteri ketimbang suami, seperti dari segi ekonomi dan stigma negatif di masyarakat. Namun, dalam tulisan ini baru sebatas pada segi ekonomi dulu.
Bagi seorang isteri yang sebelumnya hanya menjadi ibu rumah tangga dan aktivitasnya mengurus anak serta melakukan pekerjaan rumah tanpa usaha, jika memilih melepaskan suaminya, konsekuensinya adalah harus siap-siap mencari nafkah untuk menghidupi diri sendiri dan anaknya.
Seperti halnya kasus Sarita Abdul Mukti yang kini menjadi Single Parent untuk ketiga puterinya setelah ia resmi bercerai dengan Faisal Haris karena isu orang ketiga. Pasca bercerai, Sarita mengaku berusaha untuk hidup mandiri, awalnya mengalami kesulitan karena sebelum bercerai ia menjadi ibu rumah tangga tanpa memiliki usaha. Alhasil, ketika berpisah, mengalami kepanikan karena sebelumnya bergantung kepada harta suami.
Karena, ketika sudah berpisah meskipun dalam pengadilan agama anak masih berhak mendapat tunjangan dari ayahnya setiap bulannya, justru yang terjadi adalah hanya sekali dua kali mendapatkan haknya, lalu seterusnya bahkan tidak mendapatkan haknya sama sekali.
Menilik pengalaman tersebut, sehingga menurut Sarita, perempuan harus bekerja dan punya penghasilan sendiri, meski suami sudah hidup mapan dan berkecukupan, jangan sampai terlena. Alhasil, Sarita sekarang bisa hidup mandiri dengan usaha yang dirintisnya.
Sehingga, solusi terbaik jika retaknya rumah tangga karena hadirnya pihak ketiga adalah sama- sama mencari jalan lain, sebisa mungkin dikomunikasikan dulu (ikhtiar), bisa saling introspeksi diri, saling menyadari dan memperbaiki kesalahan masing-masing.
Jika segala ikhtiar sudah dilakukan, tetapi tetap saja hubungan rumah tangga tidak lagi saling membahagiakan, tidak lagi saling menentramkan, tidak lagi saling mengasihi, dan saling menyayangi maka melepaskan adalah jalan yang terbaik. []