Mubadalah.id – Semua ajaran Islam, terutama hal-hal terkait keimanan, sejatinya adalah untuk mempertegas kesetaraan dan kehambaan seluruh manusia di hadapan Allah SWT.
Penegasan kehambaan inilah yang dikenal dengan istilah ibadah, dan juga disyari’atkan melalui tindakan-tindakan yang dianggap ibadah, baik yang ritual (‘ibdidah mahdhah) maupun yang sosial (‘ibddah ghayr mahdhah).
Fondasi dari seluruh penghambaan ini, baik ibadah ritual maupun sosial, adalah ajaran tauhid: Menyatakan Tuhan sebagai Yang Esa.
Tauhid, sebagai ajaran inti Islam, adalah deklarasi faktual mengenai ketuhanan Allah SWT semata dan kehambaan siapa pun dan apa pun yang selain-Nya.
Kemudian, tauhid juga sekaligus menjadi ajaran normatif untuk mendorong manusia menjadi insan kamil yang menerjemahkan sifat rahamutiyyah dan rububiyyah dalam kehidupan nyata. Tauhid adalah keimanan akan keesaan Allah SWT.
Kalimat “Ia illaha illallah” yang sering diucapkan setiap Muslim adalah proklamasi tentang keesaan Allah SWT, sebagai satu-satunya Dzat yang patut disembah dan ditaati secara mutlak.
Ketauhidan
Memproklamasikan ketauhidan berarti menyatakan dua hal, pertama pengakuan akan keesaan Allah SWT dan kedua pernyataan atas kesetaraan manusia di hadapan-Nya.
Tiada tuhan kecuali Allah SWT, berarti tidak ada perantara antara hamba dengan Tuhannya, dan bahwa sesama manusia tidak boleh yang satu menjadi tuhan terhadap yang lain.
Raja bukan tuhan bagi rakyatnya, majikan bukan tuhan bagi buruhnya, juga suami bukan tuhan bagi istrinya. Dus, laki-laki sama sekali bukan rujukan utama bagi perempuan. Keduanya harus merujuk pada Tuhan yang sama, Allah SWT.
Tauhid merupakan basis teologis bagi kesetaraan manusia. Kesetaraan ini yang menjadi basis relasi resiprokal antara laki-laki dan perempuan.
Sistem sosial apa pun yang menjadikan salah satu ras, jenis kelamin, atau golongan sebagai superior dan yang lain sebagai inferior adalah menyalahi tauhid.
Patriarki, karena itu, bisa dianggap sebagai tindakan menyalahi tauhid. Bahkan bisa disebut sebagai tindakan syirik atau menyekutukan Tuhan.
Dalam sistem patriarki, jati diri perempuan lebih rendah dari laki-laki. Untuk bisa terakui di mata agama dan masyarakat, kiprah perempuan harus melewati laki-laki.
Sementara tauhid meniscayakan hubungan langsung antara perempuan dan Tuhannya, tanpa perantara laki-laki.
Karena hubungan vertikalnya hanya kepada Tuhan, maka relasi antara laki-laki dan perempuan bersifat horizontal di mana keduanya adalah setara.
Yang harus kita bangun di antara mereka, kemudian, adalah hal-hal yang mengacu pada nilai-nilai kerja sama dan kesalingan. Bukan superioritas hegemoni dan dominasi.
Relasi resiprokal ini, kata ulama perempuan amina wadud, bertumpu pada dua karakter utama. Yaitu, saling mengenal (ta’aruf, QS. al-Hujurat (49): 13) dan saling mendukung (ta’awun, QS. al-Ma’idah (5): 2). []