• Login
  • Register
Kamis, 30 November 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Ajaran, Kebiasaan dan Tradisi Budaya dalam Pribumisasi Islam

Kita tidak berkewajiban menerapkan budaya Arab, karena kita adalah orang Indonesia dengan budaya yang telah mendarahdaging di dalamnya.

Aspiyah Kasdini RA Aspiyah Kasdini RA
12/10/2023
in Pernak-pernik
0
Pribumisasi Islam

Pribumisasi Islam

839
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pada pertemuan ketiga kelas pribumisasi islam bersama wali kelas, Kiai Zeki, ada tiga kata kunci yang saya garis bawahi untuk lebih mempermudah memahami konsep pribumisasi islam beserta cara menerapkannya. Tiga kata kunci tersebut adalah ajaran, kebiasaan dan tradisi budaya.

Daftar Isi

    • Ajaran
  • Baca Juga:
  • Kiprah Komnas Perempuan Selama 25 Tahun Didirikan
  • Dukung Pemilu Damai 2024, GUSDURian Bersama UNESCO Adakan Festival 4 Peace
  • Inilah Sejarah Panjang PGRI Di Balik Penetapan 25 November Sebagai Hari Guru Nasional
  • Hari Guru Nasional : Jadilah Pendidik yang Memanusiakan Manusia
    • Kebiasaan
    • Tradisi Budaya

Ajaran

Hal penting dalam meng’iya’kan konsep pribumisasi islam adalah logika yang kita bangun. Yakni apakah yang dilakukan oleh masyakarat muslim Indonesia tersebut bertentangan atau sejalan dengan syariat Islam.

Kiai Zeki memberikan contoh tentang komposisi bagian waris, gono-gini, perempuan sebagai pemimpin publik, dan lainnya. Kemampuan akal dalam menarik benang merah sebuah perilaku yang membudaya terhadap nash-nash syara’ adalah salah satu cara menghidupkan nash itu sendiri.

Oleh karena itu, Kiai Zeki ,membedakan antara islamisasi dan arabisasi. Kita tidak berkewajiban menerapkan budaya Arab, karena kita adalah orang Indonesia dengan budaya yang telah mendarahdaging di dalamnya. Kewajiban bagi kita adalah menerapkan ajarannya, keyakinannya. Kita bisa membawa ajaran ini dalam segala bentuk budaya masyarakat yang beragam.

Seperti contoh, ajarannya adalah menutup aurat/sitr al-awrah, dan bagaimana caranya, ya bermacam-macam. Adapun tentang batasan aurat? Tentu berbeda-beda. Untuk dalam solat semua ulama sepakat, dan di luar salat para ulama beragam pendapatnya.

Contoh lain, ajarannya adalah mengucap salam, caranya bagaimana? Ya bisa dengan mengucap Assalamualaikum, hello, selamat pagi dan lain-lain. Ajarannya adalah menyapa lawan bicara dengan hangat. Adapun salam dalam salat adalah bagian dari rukun salat yang tentunya berbeda dengan salam sapaan, sehingga tidak boleh kita ubah.

Baca Juga:

Kiprah Komnas Perempuan Selama 25 Tahun Didirikan

Dukung Pemilu Damai 2024, GUSDURian Bersama UNESCO Adakan Festival 4 Peace

Inilah Sejarah Panjang PGRI Di Balik Penetapan 25 November Sebagai Hari Guru Nasional

Hari Guru Nasional : Jadilah Pendidik yang Memanusiakan Manusia

Termasuk cara memberi penghormatan. Jika di Jepang memberi penghormatan sampai tampak seperti rukuk atau bahkan sujud. Lalu di kalangan santri di pesantren sampai ‘mengesot’ jika di depan kiai dan nyainya. Cara-cara yang demikian bukan bagian dari feodalisme atau penyembahan, melainkan bagian dari ekspresi kebudayaan.

Ekspresi kebudayaan ini tidak bermaksud menyembah melebihi Sang Esa. Ekspresi kebudayaan yang demikian tentu diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang kullliyah. Dan tentunya ekspresi ini memiliki pilihan, tidak mutlak sama. Karena cara takriman wa ta’dliman tentu menyesuaikan tempat dan waktu.

Kebiasaan

Hal lain yang saya garis bawahi dalam memaknai pribumisasi islam adalah kebiasaan. Ada satu kaidah yang erat dalam mengambil hukum yang melekat pada praktik pribumisasi islam, yakni al-adah muhakkamah.

Menurut Fahmi Hasan Nugroho, Lc. MA, al-adah dalam kaidah ini bermakna kebiasaan, bukan tradisi budaya, sehingga penggunaan kaidah ini adalah untuk landasan hukum ketika syariat membahas suatu hal. Namun tidak memberikan batasannya, maka kebiasaan adalah batasan yang kemudian dapat menjadi landasan hukumnya.

Ada yang berbentuk kebiasaan individu, seperti tentang adah haid. Ada yang berupa kebiasaan masyarakat, seperti tentang jumlah gerakan yang membatalkan salat. Yakni 3, akrena dalam urf orang Arab, ukuran banyak itu kita mulai dari 3.

Hal serupa juga terungkap oleh Safdhinar M. An-Noor dalam memberi takrif kaidah ini yang artinya, “Semua yang datang dari syara secara mutlak, tidak ada ketentuannnya dalam agama maupun bahasa, maka kita kembalikan kepada urf (adat yang berlaku).”

Seperti contoh ukuran nafkah kepada istri dan bentuk ihsan kepada kedua orang tua, juga kaifiyah silaturahim. Juga ukuran membatalkannya menyentuh perempuan bukan muhrim dengan takaran sudah besar. Tentunya ukuran besar ini tergantung kebiasaan masyarakat setempat.

Patokannya penggunaan kaidah ini adalah sudah terbahas dalam syara, namun tidak ada penjelasan tentang ketentuan ukurannya. Tentu hal ini berbeda dengan tradisi budaya murni yang belum pernah terbahas oleh syara’. Lantas bagaimana menghukumi tradisi budaya yang demikian?

Tradisi Budaya

Kalau tentang tradisi budaya yang belum pernah dibahas oleh syara karena merupakan budaya lokal masing-masing daerah yang beragam, dua pakar di atas juga Rohmat Hudawan Al-Samidani meyampaikan, bahwa yang demikian itu diperbolehkan bukan karena dasar urf. Melainkan atas dasar dalil, karena jika menggunakan kaidah di atas maka tidak mathuk.

Karena penggunaan kaidah di atas memiliki syarat yang tidak cocok jika kita gunakan dalam tradisi budaya yang belum pernah dibahas syara’. Oleh karena itu, apabila kita menjumpai tradisi muludan, syuroan, megengan, tahlilan, ziarah  dan lain sebagainya boleh kita lakukan karena berandaskan dalil yang memperkuatnya.

Tradisi budaya merupakan bagian dari urf. Yakni urf yang berupa tradisi budaya, bukan urf yang kita gunakan sebagai landasan hukum seperti yang telah saya jelaskan di atas. Yasinan setiap malam Jumat dengan berkatan ambeng diperbolehkan, karena berdasarkan dalil umum seperti dalil membaca Alquran. Berkatan ambengan-nya diperbolehkan dengan dalil sedekah.

Walaupun terkadang terdapat perbedaan dalam memaknai kebiasaan dan tradisi budaya, namun arah semuanya sama, yakni menghidupkan ajaran Islam dalam segala laku kehidupan. Demikianlah pribumisasi Islam yang sesungguhnya. []

 

 

Tags: gusdurianIndonesiaislamJaringan GusdurianKelas Pemikiran Gus DurPribumisasi Islam
Aspiyah Kasdini RA

Aspiyah Kasdini RA

Alumni Women Writers Conference Mubadalah tahun 2019

Terkait Posts

pernikahan bukan solusi

Pernikahan Bukan Solusi untuk Meminimalisir Kekerasan Seksual

29 November 2023
Komnas Perempuan

Kiprah Komnas Perempuan Selama 25 Tahun Didirikan

28 November 2023
Asma al-Murabit

Asma Al-Murabit: Perempuan Ulama yang Menuntut Pembebasan Kaum Perempuan

27 November 2023
Asma al-Murabit

Kritik Asma Al-Murabit kepada Orang yang Melemahkan Perempuan

27 November 2023
Asma al-Murabit

Mengenal Lebih Dekat Asma al-Murabit

27 November 2023
Nyai Khairiyah

Nyai Khairiyah Hasyim: Sosok Ulama Perempuan Pertama yang Memimpin Pesantren

25 November 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anxiety

    Menyikapi Anxiety dengan Romanticizing Life ala Stoicisme

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan: Air Mata Ibu Tak Akan Pernah Reda

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingkah Laki-laki Terlibat dalam Penghapusan Kekerasan Seksual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hanan Al-Hroub, Sosok Guru Pejuang untuk Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memperingati Hari Guru dan Peran Penting Masing-masing Individu dalam Memajukan Pendidikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menguak Dalih Kekerasan Israel lewat Topeng Agama
  • Pernikahan Bukan Solusi untuk Meminimalisir Kekerasan Seksual
  • Hanan Al-Hroub, Sosok Guru Pejuang untuk Palestina
  • Bukan Hanya Perempuan, Laki-laki juga Rentan Menjadi Korban Kekerasan Seksual
  • Memperingati Hari Guru dan Peran Penting Masing-masing Individu dalam Memajukan Pendidikan

Komentar Terbaru

  • Ainulmuafa422 pada Simple Notes: Tak Se-sederhana Kata-kata
  • Muhammad Nasruddin pada Pesan-Tren Damai: Ajarkan Anak Muda Mencintai Keberagaman
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist