Mubadalah.id – Sebagai pasangan yang hendak menikah dalam hitungan beberapa hari ke depan, saya dan calon istri kerap kali mendapatkan pertanyaan, “rencana mau punya anak berapa?” atau “punya anak dulu atau berkarir dulu? ”. Pertanyaan semacam ini biasanya terlontar saat bertemu dengan teman-teman ngopi kami atau rekan kerja di kantor.
Hal ini mengulang ingatan saya pada masa awal-awal kami jadian sekitar 3 Tahun yang lalu. Kala itu saya sering ditanya teman-teman KKN, bahkan pak Dukuh setempat, terkait jumlah anak yang diidamkan. Dengan lantang saya menjawab “dua puluh anak cukup”, yang kemudian dijawab dengan gesit dan tegas oleh kekasih hati (yang saat ini statusnya calon istri) “mangsamu aku ki pabrik po pie” (Kamu kira aku ini pabrik apa gimana). Dan seketika semua orang saat itu tertawa ceria.
Karena saya dan calon istri dipertemukan di KKN, atau kalau bahasa kerennya adalah “cinlok KKN”, maka secara tidak langsung kami pun sering dihadapkan dengan kenyataan terkait kondisi keluarga-kelurga yang beragam dalam hal kesepakatan internal keluarganya. Ada yang menolak KB, ada yang berbagi peran domestik, ada yang keduanya sama-sama melakukan peran publik, dan lainnya.
Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan seperti di awal tulisan ini, biasanya untuk saat ini kami jawab dengan sederhana: se-dikasih-Nya. Namun, belakangan saya sempat memikirkan satu hal lain, pertanyaan semacam itu memang tampa muncul secara tiba-tiba. Akan tetapi, jawaban yang terlontar akan berkaitan dengan hal lain yang lebih besar, yaitu persepsi tentang hidup dalam rumah tangga.
Terdapat begitu banyak hal yang berkaitan dengan hal ini, salah satunya ialah tentang bagaimana membangun rumah tangga, seperti apa memposisikan anggota keluarga, sampai hal yang bagi saya paling vital, yaitu bagaimana membangun komunikasi yang baik di antara keluarga nantinya.
Hal-hal semacam ini seringkali tidak banyak diulas secara mendalam, termasuk oleh mereka yang sering mengampanyekan “nikah muda”. Saya juga tidak tahu persis apakah hal ini juga sering dibahas oleh ustadz-ustadzah yang sering mengisi ‘kajian pra-nikah’ atau emacamnya.
Akan tetapi, penting bagi kita (khususnya pasangan yang hendak menikah), untuk membahas dan mendiskusikan hal ini lebih tajam dan detail, supaya kita tidak memandang seseorang hanya dari status menikah, memiliki anak, atau hal lainnya yang (bagi saya) sangat absurd, seperti rumah, mobil/motor, atau bahkan pekerjaan pasangan baik istri atau suami.
Anggota Keluarga adalah Subjek Keluarga
Saya memiliki filosofi yang sedikit berbeda terkait ‘anak’ serta peran keluarga, yaitu memposisikan mereka sebagai subjek, bukan sekedar sebagai anggota keluarga yang akan dipimpin oleh seorang Bapak. Artinya, istri dan anak merupakan manusia yang memiliki hak, memiliki otonomi dalam penentuan pilihan masing-masing. Ke semuanya memiliki hak dan kebebasan dalam melakukan apapun, selama hal itu tidak keluar atau melenceng dari norma dasar yang telah kita sepakati bersama (dalam hal ini: agama).
Otonomi untuk menentukan pilihan, kebebasan mengemukakan pendapat, serta norma yang disepakati dalam keluarga memiliki konsekuensi lain, yaitu kami nantinya menempatkan posisi istri dan suami secara setara. Selain itu, dalam hal berkomunikasi juga perlu ada dialog dalam memahami cara pandang masing-masing untuk setiap hal yang telah dan akan terjadi.
Kemudian, dalam perspektif yang lebih jauh, hal ini juga berkaitan dengan pembagian tugas domestik di rumah tangga. Artinya, soal cuci-mencuci, masak-memasak, belanja-belanja, dan hal lainnya adalah tugas bersama, bukan lagi tugas Bapak atau Ibu secara perseorangan, akan tetapi juga tugas kolektif bersama.
Bagi saya sendiri, hal-hal semacam ini merupakan hal yang sangat penting supaya kita tidak lagi terbebani oleh standarisasi norma-norma tertentu yang artifisial. Bahkan, dalam banyak hal, aktivitas domestik seperti mencuci, memasak, membersihkan rumah ialah tugas yang harus dilakukan oleh semua orang supaya bisa lebih mandiri, tidak peduli jenis kelamin nya, gender-nya, bahkan asal-usul etnisnya, dan hal lainnya.
Saya dan calon istri sepakat bahwa mitos ‘memasak ialah tugas istri sedangkan mencari nafkah ialah tugas suami’ perlu dikaji dan didiskusikan ulang secara mendalam.
Tidak salah jika saya sebagai calon suami memiliki tugas mencari nafkah serta menghasilkan uang lebih untuk belanja, tapi hal itu juga berlaku untuk calon istri saya, diamana kita akan sama-sama mencari nafkah dan sama-sama berperan domestik. Artinya, apa yang calon istri saya lakukan hari ini dengan karirnya tidak boleh terhambat okeh status dia sebagai istri saya, atau bahkan untuk mimpi/Cita-cita yang belum terwujud. Dan hal itu berlaku sebaliknya untuk saya.
Mitos-mitos terkait rumah tangga seperti tadi, jika mengutip pendapat Arief Budiman (1995), berakar dan bermula dari pembagian kerja yang dilakukan secara seksual di masyarakat modern. Sehingga, membangun rumah tangga merupakan proses belajar yang akan berlangsung seumur hidup dan membangun ‘komune’ di level yang sederhana. Bukan hanya soal memahami anggota keluarga, namun juga Terkait mengomunikasikan pandangan, pikiran, serta mengambil keputusan secara rasional.
Tentang Bagaimana Memposisikan Anak dalam Keluarga
Konsekuensi dari filosofi dan prinsip dasar ini mengenai hal-hal yang berhubungan dengan anak. Sebagai suatu disclaimer, saya belum memiliki anak sehingga sangat tidak fair jika bicara terkait bagaimana mendidik dan membesarkan anak. Namun, saya dan calon istri memiliki prinsip yang kami sepakati sedari sekarang, yaitu sama-sama sepakat bahwa anak kami kelak adalah merupakan amanah dan bukan sekedar milik kami sebagai orang tua.
Kami sama-sama meyakini bahwa anak kami kelak merupakan amanah dari Allah Tuhan kami yang dititipkan kepada kami untuk kemudian dididik supaya menjadi manusia yang baik dan berguna. Ini tugas yang amat berat, dan bagi saya pribadi lebih berat daripada amanah sebagai seorang pemimpin. Ketika kita keliru dalam mendidik anak, maka kita telah gagal dalam melahirkan pemimpin yang adil di masa yang akan datang.
Artinya, tidak perlu terlalu berbelit ketika nanti kami belum dikaruniai anak. Terlalu banyak hal produktif lainnya yang bisa kami lakukan, sembari mempersiapkan diri ketika nanti amanah itu kemudian hadir di keluarga kecil kami. Sama halnya ketika hendak menikah. Baik memilih untuk menikah ataupun tidak, hal itu tidak dapat menentukan kualitas hidup kita selaku manusia, karena jika banyak hal produktif lain yang dapat dilakukan sendiri.
Prinsip-prinsip dasar seperti ini penting untuk dikaji dan didiskusikan secara mendalam, karena saya pribadi menyadari bahwa saya dan calon istri memiliki perbedaan dalam begitu banyak hal. Kami sedikit berbeda dalam pandangan tentang sosial-politik dalam kehidupan (saya lebih cenderung liberal-kiri, calon istri lebih cenderung dinamis), memiliki preferensi hobi yang juga berbeda (saya sangat suka mendaki gunung, calon istri lebih suka menjamah tempat-tempat baru), dan juga kultur keluarga kami berbeda (saya berasal dari tanah Sunda yang tidak terlalu menjunjung tradisi, dan keluarga calon istri lebih menjunjung tradisi Jawa).
Perbedaan tersebut menegaskan bahwa sangat penting bagi kami dalam menanamkan dialog serta saling memahami satu sama lain. Apabila tradisi dialog tidak dibangun dan dijaga, nantinya ditakutkan akan menimbulkan pertarungan ego yang bagi kami kurang produktif, yang mana hal tersebut sudah sangat sering kami antisipasi semenjak dalam status ‘pacaran’. Begitu juga nantinya dengan anak. Takutnya, apabila nanti kami gagal memposisikan anak sebagai subjek, amanah dari Allah tersebut tidak bisa kami jaga secara maksimal.
Bagi kami, melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan berarti harus sudah mengkompromikan hal seperti ini, dan ini tidak serta merta dapat diselesaikan secara instan, tentu tidak dapat diukur secara sama kondisi setiap orang terutama setiap pasangan yang hendak menikah.
Dengan demikian, saya tidak perlu menjauhi atau bahkan membenci orang dengan pertanyaan “kapan kalian nikah?” “kapan rencana punya anak?” “mau punya anak berapa?” dan semacamnya. Santai saja. Yang begitu-begitu bukanlah satu-satunya tolak ukur untuk menentukan kualitas hidup kita di hadapan Allah ataupun manusia. Cukup kita memaknai “Hayaatunaa Kullahaa Ibadah” (Hidup kita sepenuhnya adalah ibadah) sebagai suatu poduktivitas dalam kerja, amalan rutinitas, atau kualitas dalam pengambilan kebijakan, bukan sekedar tentang kapan menikah atau memiliki anak. []