Mubadalah.id – Hubungan seksual yang halal dan proporsional adalah baik bagi manusia. Sesuatu yang baik bagi manusia adalah juga baik dalam perspektif Islam. Huseks yang proporsional ini tidaklah tabu untuk dibicarakan dalam Islam. Al-Qur’an sendiri membicarakanya dalam Surat al-Baqarah, justru ketika sedang membicarakan ibadah puasa di Bulan Ramadan.
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (البقرة، 2: 187).
Artinya: “Dihalalkan bagi kalian semua berhubungan seks pada malam hari (bulan) puasa dengan istri-istri kalian. Karena mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi mereka (yang harus saling menutupi dan membahagiakan satu sama lain). Allah mengetahui bahwa kalian (terkadang) mengkhianati diri kalian sendiri. Allah mengampuni kalian dan meringankan beban kalian. Sekarang, kalian (dipersilahkan) saling menggauli (satu sama lain dengan) istri-istri kalian dan carilah (melalui hubungan seks itu) apa yang telah Allah tetapkan kepada kalian (rekreasi dan prokreasi). Makanlah dan minumlah sehingga nampak jelas fajar pagi yang terang dari malam yang gelap, lalu berpuasalah (mulai fajar itu) hingga (awal) malam (atau maghrib). Kalian tidak boleh menggauli istri-isitri kalian ketika sedang beri’tikaf di masjid. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka terpelihara (dari kejahatan dan keburukan). (QS. Al-Baqarah, 2: 187).
Ayat ini sangat kentara mengenai hubungan seks antara pasangan suami istri pada saat bulan Ramadan. Ayat ini didahului oleh ayat-ayat mengenai kewajiban puasa, sejarah puasa orang-orang terdahulu, dispensasi bagi orang-orang yang sakit dan bepergian pada saat puasa, dan amalan-amalan bulan puasa, terutama dzikir mengingat Allah dan berdoa kepada-Nya (QS. Al-Baqarah, 2: 183-186).
Jadi, dalam perspektif al-Qur’an, membicarakan hubungan seksual berbarengan dengan membicarakan hal-hal yang bersifat ibadah ritual adalah baik dan perlu. Sama sekali bukan tabu. Al-Qur’an sendiri menyinggung sebagian orang yang terkadang menutup diri dalam hal seks, padahal menginginkannya.
Inilah yang disinggung al-Qur’an sebagai “mengkhianati diri sendiri”. Menginginkan tetapi berpura-pura tidak menginginkan, lalu menutup diri, sehingga tidak memperoleh informasi yang akurat mengenai hubungan seks yang halal, baik, sehat, dan membahagiakan.
Di antara prinsip berhubungan seks yang baik dan membahagiakan, yang disebutkan ayat al-Qur’an ini, adalah prinsip kesalingan. Artinya, huseks ini harus dilakukan dengan kesadaran dan kerelaan dua belah pihak, serta untuk kenikmatan bersama. Al-Qur’an menggambarkanya dengan ungkapan yang sangat epik “suami adalah pakaian istri dan istri adalah pakaian suami”. Ungkapan persisnya adalah “hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna”.
Ungkapan lain yang menarik dalam ayat ini adalah kata “mubaasyarah”, yang secara bahasa berarti saling mempertemukan kulit dengan kulit, saling menempelkan tubuh, dan saling menggauli satu sama lain. Sekalipun secara literal ditujukan kepada laki-laki untuk menggauli mereka para perempuan (hunna), tetapi kata “baasyiruu” dalam ayat itu adalah kata kerja kesalingan (mubaadalah) dan kerjasama (musyaarakah).
Artinya, hubungan seksual itu, yang diawali dengan petting bersama, atau mubaasyarah (persentuhan kulit dengan kulit), harus dilakukan secara berkesalingan, untuk dan oleh kedua belah pihak, serta kerjasama satu sama lain. Baik untuk kepentingan kenikmatan bersama, yang dibahasakan oleh teks hadits dengan kata “mulaa’abah” (saling bermain-main antara suami dan istri, Sahih Bukhari, no. hadits: 2136), maupun tujuan memiliki keturunan.
Lebih lanjut hadits Nabi Saw memandang hubungan seks dan intim suami istri ini sebagai sedekah yang berpahala (Sahih Muslim, no. hadits: 2376). Sedekah dalam bahasa Arab berasa dari akar kata sh-d-q (صدق), yang berarti jujur dan tulus. Artinya, hubungan intim juga akan lebih baik dan bisa berenergi jika didasarkan pada cinta kasih yang jujur dan tulus.
Tentu saja, tidak boleh ada yang memaksa dan menyakiti. Di samping karena bertentangan dengan prinsip kesalingan dan kerjasama di atas, juga karena tidak sesuai dengan semangat sedekah yang jujur dan tulus. Kata al-Qur’an, sedekah itu tidak boleh dengan cara menyakitkan (QS. Al-Baqarah, 2: 263). Begitupun hubungan seks yang Qur’ani, berkesalingan, saling membahagikan, yang muncul dari sedekah yang jujur, tidak boleh dengan cara memaksa dan menyakiti.
Hadits-hadits yang berbicara mengenai laknat malaikat kepada istri yang tidak melayani kebutuhan biologis suami (Sahih Bukhari, no. hadits: 3273), harus dipahami dalam semangat kesalingan dan kebaikan (mubadalah) di atas. Artinya, saling melayani dan saling meminta antara suami dan istri dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis maupun psikologis.
Istri yang melayani juga bisa (atau harus) meminta untuk dirinya, begitupun suami yang meminta hubungan seks juga harus mengawalinya dengan melayani istrinya. Sehingga, hubungan intim suami istri bisa menghadirkan kebaikan bersama dan cinta kasih.
Dus, ibadah puasa dalam Islam, bukanlah sesuatu yang menjauhkan seseorang dari kebutuhan biologis dan psikologis. Seperti pelampiasan cinta kasih dan pemenuhan hubungan seks bagi pasangan suami istri. Asalkan dilakukan pada saat yang tepat, dengan cara baik dan tidak menyakiti, dengan semangat untuk saling memberi kenikmatan satu sama lain, sehingga bisa bahagia dan membahagiakan. Orang yang beriman adalah orang yang tahu kapan waktu yang tepat untuk beribadah, makan, minum, dan menikmati seks yang halal. Wallahu a’lam. []