• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Figur

Amina Wadud dan Keberaniannya Berperspektif

Amina Wadud Muhsin. Perempuan keturunan Afrika yang memiliki keberanian menginterpretasi ayat dalam perspektif perempuan dan semangat keadilan. Langkahnya itu merupakan suatu keberanian di tengah budaya yang masih menganggap perempuan kurang akal dan dimarginalisasikan.

Atu Fauziah Atu Fauziah
26/11/2020
in Figur, Rekomendasi
0
672
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Kita tahu betul bagaimana perempuan diposisikan dengan sangat tidak baik, disubordinasikan oleh budaya patriarki, dan sejarah mencatat itu semua. Selama berabad-abad perempuan terpenjara dalam tirani yang sangat menindas, dan tidak diberikan kesempatan untuk bersuara meski sekedar mengemukakan apa yang dipikirkannya. Tidak hanya tubuhnya yang terpenjara, tetapi juga pikiran-pikirannya dibungkam.

Keadaan yang demikian timpang tidak dibiarkan semakin panjang. Gerakan-gerakan perempuan bermunculan, tentu saja dibarengi dengan lahirnya perempuan-perempuan kritis yang getol menyuarakan kesetaraan dan hak-hak perempuan yang telah lama dikubur. Para pemikir perempuan berusaha keras menghapuskan ketidakadilan gender yang sejak lama telah ada, tak terkecuali para perempuan muslim.

Kesadaran dan keberanian perempuan untuk bersuara mengemukakan pikirannya membuka jalan lebar untuk mengimbangi interpretasi laki-laki yang  kerapkali hanya mementingkan keuntungan dirinya. Inilah mengapa suara perempuan sangat dibutuhkan untuk mendobrak status quo yang dipertahankan masyarakat patriarki.

Langkah yang diambil oleh para pemikir perempuan muslim demi terciptanya keadilan gender antara laki-laki dan perempuan, yakni dengan membedah kembali tafsir al-Qur’an. Kita tidak bisa memungkiri jikalau karya-karya tafsir tradisional itu hampir seluruhnya ditulis oleh mufasir laki-laki.

Dan tentunya apa yang ditafsirkan laki-laki yang berkaitan dengan perempuan, ditafsirkan atas perspektif laki-laki saja. Keabsenan perempuan dalam hal ini saya pikir  bukan karena perempuan tidak mampu aktif , tetapi karena perempuan tidak diberi ruang untuk ambil bagian―pada bidang-bidang yang ‘dianggapnya’ hanya milik laki-laki dan perempuan tidak pantas ikut andil.

Baca Juga:

Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

Tafsir Sakinah

Spiritual Awakening : Kisah Maia dan Maya untuk Bangkit dari Keterpurukan

Seorang cendekiawan sekaligus aktivis feminis muslim, Amina Wadud Muhsin. Perempuan keturunan Afrika yang memiliki keberanian menginterpretasi ayat dalam perspektif perempuan dan semangat keadilan. Langkahnya itu merupakan suatu keberanian di tengah budaya yang masih menganggap perempuan kurang akal dan dimarginalisasikan.

Berikut pemikiran penting Amina Wadud Muhsin, seorang penggiat kesetaraan gender dan seorang  Profesor Kajian Keislaman.

Laki-laki dan Perempuan Setara

Umumnya kita meyakini manusia pertama yakni Adam dan Hawa diciptakan secara berbeda. Adam diciptakan pertama dari tanah dan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Artinya Hawa (perempuan) inferior sebab diciptakan dari tulang rusuk Adam dengan tujuan untuk menemani Adam di Surga. Pemahaman keliru ini menjadi pondasi kuat untuk membenarkan kalau perempuan lemah dan kedudukannya di bawah laki-laki.

Tidak ada satu ayat al-Qur’an pun yang menyatakan perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Manusia (laki-laki dan perempuan) diciptakan dengan bahan dan proses yang sama, sehingga tidak ada yang superior atau inferior.

“Hai sekalian manusia, betarkwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kalian dari esensi yang satu, kemudian menciptakan dari jenis yang sama pasangannya, lalu dari keduanya Allah mengembangbiakan para laki-laki dan perempuan dengan banyak…” (Q.S 4: 1)

Kata nafs secara umum diterjemahkan sebagai “diri”, tetapi secara teknis kata nafs tersebut ditunjukkan pada asal semua manusia.  Dalam kisah penciptaan manusia yang diabadaikan al-Qur’an tidak menyebutkan bahwa Allah memulai penciptaan manusia dengan nafs Adam (laki-laki).

Perempuan Sebagai Individu

Laki-laki dan perempuan memang berbeda secara biologis, tetapi tidak dengan potensi, dan spiritualitasnya. Setiap individu diberi tanggung jawab dan potensinya masing-masing.

Ketika sistem sosial membentuk perbedaan  antara laki-laki dan perempuan, itu tidak berarti menunjukkan nilai yang inhern . Anggapan perempuan sebagai individu yang berbeda dari laki-laki―perempuan setengah manusia /manusia tidak sempurna―dalam hal kecerdasan, keadaan jasmani, keteguhan hati dan kekuatan fisik, menunjukkan sikap arogan laki-laki untuk menguasai perempuan.

Hal tersebut menciderai kemanusiaan perempuan yang oleh Allah diciptakan sama sebagaimana laki-laki. Itu berarti perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Individual perempuan sering dihilangkan dengan adanya anggapan  seorang laki-laki (suami dan ayah) memiliki kekuasaan secara langsung menentukan nasib perempuan (anak dan istrinya).

Pembatasan perempuan oleh laki-laki memicu anggapan keliru bahwa pahala perempuan bergantung pada kebaikan laki-laki (suaminya). Bisa disebut, perempuan itu terikat oleh laki-laki dan nasibnya ada di tangan laki-laki. Hal ini yang ingin dipertegas Amina Wadud,  yakni perempuan itu individu bebas yang memiliki hak menentukan hidupnya sendiri, nilai dan kedudukannya ada pada dirinya sendiri, bukan di tangan siapa pun apalagi laki-laki

Persamaan Imbalan dan Pandangan Tentang Surga

Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk mendapat mandat menjadi khalifah di muka bumi, keduanya sama-sama diperintah untuk beriman dan beramal baik tanpa terkecuali. Kemudian balasan atau imbalan yang akan diberikan benar-benar berdasarkan individu menurut apa yang diperbuat masing-masing, dan tentunya dinilai tanpa memandang jenis kelamin.

Perempuan atau istri-istri kerap kali disebutkan dalam ayat-ayat Qur’an sebagai salah satu kenikmatan yang akan didapat laki-laki di Surga (Q.S 2:25, Q.S 3:15, Q.S 4:57, Q.S 40:8, dll). Penyebutan perempuan sebagai salah satu nikmat yang akan didapat memunculkan pertanyaan, apakah peran perempuan juga akan mendapatkan bidadari (huri) dan kesenangannya di surga? Laki-laki akan bahagia ketika disuguhkan bidadari, tetapi tidak dengan perempuan. Lalu bagaimana dengan perempuan di surga kelak?

Amina Wadud merespon dengan cerdas hal tersebut. Menurutnya, kata azwaj yang biasa para mufasir tunjukkan pada laki-laki saleh akan masuk surga dan mendapat bidadari (huri) sangat kontradiktif.  Sebab, bagaimana mungkin seorang pria saleh yang banyak membatasi diri punya tujuan demi untuk memperoleh imbalan kesenangan erotis yang berlipat ganda di surga, sebagai balasan atas kesalehannya itu. [Amina Wadud,1992:77]

Menurutnya, azwaj tersebut bermakna “ pasangan” yang tentunya untuk orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan.  Apabila azwaj disamakan dengan huri menjadikan gambaran Qur’an mengenai Surga sebagai realita tertinggi menjadi sempit.

Surga yang digambarkan secara jelas berupa sungai-sungai yang mengalir, bidadari-bidadari cantik, tidak terlepas dari konteks kondisi masyarakat Arab pada abad ke-7. Mereka tinggal di padang pasir gersang dan masyarakatnya yang patriarkat memiliki minat lebih pada perempuan dan kekayaan.

Dalam pandangan Amina, tingkatan yang paling tinggi di surga bukan lagi yang dibawahnya sungai-sungai mengalir atau yang disediakan bidadari cantik jelita, tetapi tingkatan yang paling tinggi adalah kedekatan kita di sisi Allah. Hal yang terpenting yaitu dengan mencapai kedamaian dan mengakhiri segala kecintaan duniawi, menjadi hanya kecintaan pada Allah swt.

Jadi, gambaran al-Qur’an tersebut suatu cara untuk membujuk mereka mempertimbangkan keauntentikkan isi risalah yang disampaikan, menunjukkan bahwa Qur’an relevan dengan masyarakat pada masa itu, serta untuk membujuk mereka melalui tawaran dan ancaman yang diperlihatkan lewat sifat, pengalaman dan pemahaman mereka. []

Tags: Amina Wadud MuhsinFeminis MuslimislamKesetaraanPerempuan InspiratifTafsir AlQur'an
Atu Fauziah

Atu Fauziah

Mahasiswi Akidah Filsafat Islam di UIN Banten.

Terkait Posts

Gerakan KUPI

Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

4 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Poligami atas

    Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID