Kita tahu betul bagaimana perempuan diposisikan dengan sangat tidak baik, disubordinasikan oleh budaya patriarki, dan sejarah mencatat itu semua. Selama berabad-abad perempuan terpenjara dalam tirani yang sangat menindas, dan tidak diberikan kesempatan untuk bersuara meski sekedar mengemukakan apa yang dipikirkannya. Tidak hanya tubuhnya yang terpenjara, tetapi juga pikiran-pikirannya dibungkam.
Keadaan yang demikian timpang tidak dibiarkan semakin panjang. Gerakan-gerakan perempuan bermunculan, tentu saja dibarengi dengan lahirnya perempuan-perempuan kritis yang getol menyuarakan kesetaraan dan hak-hak perempuan yang telah lama dikubur. Para pemikir perempuan berusaha keras menghapuskan ketidakadilan gender yang sejak lama telah ada, tak terkecuali para perempuan muslim.
Kesadaran dan keberanian perempuan untuk bersuara mengemukakan pikirannya membuka jalan lebar untuk mengimbangi interpretasi laki-laki yang kerapkali hanya mementingkan keuntungan dirinya. Inilah mengapa suara perempuan sangat dibutuhkan untuk mendobrak status quo yang dipertahankan masyarakat patriarki.
Langkah yang diambil oleh para pemikir perempuan muslim demi terciptanya keadilan gender antara laki-laki dan perempuan, yakni dengan membedah kembali tafsir al-Qur’an. Kita tidak bisa memungkiri jikalau karya-karya tafsir tradisional itu hampir seluruhnya ditulis oleh mufasir laki-laki.
Dan tentunya apa yang ditafsirkan laki-laki yang berkaitan dengan perempuan, ditafsirkan atas perspektif laki-laki saja. Keabsenan perempuan dalam hal ini saya pikir bukan karena perempuan tidak mampu aktif , tetapi karena perempuan tidak diberi ruang untuk ambil bagian―pada bidang-bidang yang ‘dianggapnya’ hanya milik laki-laki dan perempuan tidak pantas ikut andil.
Seorang cendekiawan sekaligus aktivis feminis muslim, Amina Wadud Muhsin. Perempuan keturunan Afrika yang memiliki keberanian menginterpretasi ayat dalam perspektif perempuan dan semangat keadilan. Langkahnya itu merupakan suatu keberanian di tengah budaya yang masih menganggap perempuan kurang akal dan dimarginalisasikan.
Berikut pemikiran penting Amina Wadud Muhsin, seorang penggiat kesetaraan gender dan seorang Profesor Kajian Keislaman.
Laki-laki dan Perempuan Setara
Umumnya kita meyakini manusia pertama yakni Adam dan Hawa diciptakan secara berbeda. Adam diciptakan pertama dari tanah dan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Artinya Hawa (perempuan) inferior sebab diciptakan dari tulang rusuk Adam dengan tujuan untuk menemani Adam di Surga. Pemahaman keliru ini menjadi pondasi kuat untuk membenarkan kalau perempuan lemah dan kedudukannya di bawah laki-laki.
Tidak ada satu ayat al-Qur’an pun yang menyatakan perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Manusia (laki-laki dan perempuan) diciptakan dengan bahan dan proses yang sama, sehingga tidak ada yang superior atau inferior.
“Hai sekalian manusia, betarkwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kalian dari esensi yang satu, kemudian menciptakan dari jenis yang sama pasangannya, lalu dari keduanya Allah mengembangbiakan para laki-laki dan perempuan dengan banyak…” (Q.S 4: 1)
Kata nafs secara umum diterjemahkan sebagai “diri”, tetapi secara teknis kata nafs tersebut ditunjukkan pada asal semua manusia. Dalam kisah penciptaan manusia yang diabadaikan al-Qur’an tidak menyebutkan bahwa Allah memulai penciptaan manusia dengan nafs Adam (laki-laki).
Perempuan Sebagai Individu
Laki-laki dan perempuan memang berbeda secara biologis, tetapi tidak dengan potensi, dan spiritualitasnya. Setiap individu diberi tanggung jawab dan potensinya masing-masing.
Ketika sistem sosial membentuk perbedaan antara laki-laki dan perempuan, itu tidak berarti menunjukkan nilai yang inhern . Anggapan perempuan sebagai individu yang berbeda dari laki-laki―perempuan setengah manusia /manusia tidak sempurna―dalam hal kecerdasan, keadaan jasmani, keteguhan hati dan kekuatan fisik, menunjukkan sikap arogan laki-laki untuk menguasai perempuan.
Hal tersebut menciderai kemanusiaan perempuan yang oleh Allah diciptakan sama sebagaimana laki-laki. Itu berarti perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Individual perempuan sering dihilangkan dengan adanya anggapan seorang laki-laki (suami dan ayah) memiliki kekuasaan secara langsung menentukan nasib perempuan (anak dan istrinya).
Pembatasan perempuan oleh laki-laki memicu anggapan keliru bahwa pahala perempuan bergantung pada kebaikan laki-laki (suaminya). Bisa disebut, perempuan itu terikat oleh laki-laki dan nasibnya ada di tangan laki-laki. Hal ini yang ingin dipertegas Amina Wadud, yakni perempuan itu individu bebas yang memiliki hak menentukan hidupnya sendiri, nilai dan kedudukannya ada pada dirinya sendiri, bukan di tangan siapa pun apalagi laki-laki
Persamaan Imbalan dan Pandangan Tentang Surga
Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk mendapat mandat menjadi khalifah di muka bumi, keduanya sama-sama diperintah untuk beriman dan beramal baik tanpa terkecuali. Kemudian balasan atau imbalan yang akan diberikan benar-benar berdasarkan individu menurut apa yang diperbuat masing-masing, dan tentunya dinilai tanpa memandang jenis kelamin.
Perempuan atau istri-istri kerap kali disebutkan dalam ayat-ayat Qur’an sebagai salah satu kenikmatan yang akan didapat laki-laki di Surga (Q.S 2:25, Q.S 3:15, Q.S 4:57, Q.S 40:8, dll). Penyebutan perempuan sebagai salah satu nikmat yang akan didapat memunculkan pertanyaan, apakah peran perempuan juga akan mendapatkan bidadari (huri) dan kesenangannya di surga? Laki-laki akan bahagia ketika disuguhkan bidadari, tetapi tidak dengan perempuan. Lalu bagaimana dengan perempuan di surga kelak?
Amina Wadud merespon dengan cerdas hal tersebut. Menurutnya, kata azwaj yang biasa para mufasir tunjukkan pada laki-laki saleh akan masuk surga dan mendapat bidadari (huri) sangat kontradiktif. Sebab, bagaimana mungkin seorang pria saleh yang banyak membatasi diri punya tujuan demi untuk memperoleh imbalan kesenangan erotis yang berlipat ganda di surga, sebagai balasan atas kesalehannya itu. [Amina Wadud,1992:77]
Menurutnya, azwaj tersebut bermakna “ pasangan” yang tentunya untuk orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Apabila azwaj disamakan dengan huri menjadikan gambaran Qur’an mengenai Surga sebagai realita tertinggi menjadi sempit.
Surga yang digambarkan secara jelas berupa sungai-sungai yang mengalir, bidadari-bidadari cantik, tidak terlepas dari konteks kondisi masyarakat Arab pada abad ke-7. Mereka tinggal di padang pasir gersang dan masyarakatnya yang patriarkat memiliki minat lebih pada perempuan dan kekayaan.
Dalam pandangan Amina, tingkatan yang paling tinggi di surga bukan lagi yang dibawahnya sungai-sungai mengalir atau yang disediakan bidadari cantik jelita, tetapi tingkatan yang paling tinggi adalah kedekatan kita di sisi Allah. Hal yang terpenting yaitu dengan mencapai kedamaian dan mengakhiri segala kecintaan duniawi, menjadi hanya kecintaan pada Allah swt.
Jadi, gambaran al-Qur’an tersebut suatu cara untuk membujuk mereka mempertimbangkan keauntentikkan isi risalah yang disampaikan, menunjukkan bahwa Qur’an relevan dengan masyarakat pada masa itu, serta untuk membujuk mereka melalui tawaran dan ancaman yang diperlihatkan lewat sifat, pengalaman dan pemahaman mereka. []