Mubadalah.id – Ketika masih kuliah dulu, saya punya pandangan yang cukup sederhana, “demo itu cuman bikin rusuh”. Setiap kali mendengar kabar ada aksi mahasiswa atau buruh di jalan, yang terlintas di benak saya hanyalah kemacetan, ricuh, dan suasana tidak nyaman. “Ngapain sih demo? Bikin macet jalan aja.
Kalau ada masalah, kenapa tidak langsung dialog dengan pemerintah?” Begitu pikir saya waktu itu. Pandangan itu lahir bukan tanpa alasan, melainkan dari posisi saya sebagai mahasiswa yang lebih sering melihat dampak praktis sebuah demo yaitu jalan tertutup, kuliah terganggu, kerusuhan di mana-mana bahkan ada korban.
Stigma Mengenai Demontrasi
Pandangan sinis saya terhadap demo semakin mengeras ketika saya mengalami kejadian yang sampai sekarang masih terekam jelas di ingatan. Suatu hari, setelah selesai meminjam buku di perpustakaan kampus, saya berencana pulang. Namun, sebelum sempat keluar, saya mendengar suara gaduh dari luar gedung. Ternyata ada aksi demonstrasi yang berlangsung di sekitar kampus.
Saya bukan peserta demo, bahkan sama sekali tidak tahu bahwa hari itu ada aksi. Tapi tiba-tiba, kericuhan pecah. Gas air mata ditembakkan dan arah tembakan justru menuju gedung perpustakaan. Saya yang tidak tahu apa-apa, tanpa persiapan, ikut terkena imbasnya. Wajah saya terasa perih, panas, dan rasa terbakar di sekitar wajah. Untung saja saya memakai kacamata, sehingga gas itu tidak langsung masuk ke mata saya. Kalau tidak, mungkin ceritanya akan berbeda.
Pengalaman itu membuat saya semakin muak dengan yang namanya demo. Bagi saya waktu itu, demo bukan hanya mengganggu, tetapi juga menyakiti. Trauma itu terbawa bertahun-tahun. Setiap kali mendengar kata “demonstrasi”, yang muncul di benak saya bukanlah perjuangan rakyat atau kebebasan berpendapat, melainkan rasa sakit, air mata, dan pengalaman tidak menyenangkan. Saya semakin yakin bahwa demo hanyalah bentuk anarkisme.
Namun, waktu berjalan. Pandangan yang dulu saya anggap final, ternyata perlahan-lahan berubah. Usia, pengalaman hidup, dan keterbukaan informasi membuat saya memandang demonstrasi dari sudut yang berbeda.
Kini, di usia yang menginjak kepala tiga, saya mulai memahami bahwa demo bukan sekadar aksi turun ke jalan yang bikin macet. Demo adalah bagian dari demokrasi. Ia adalah salah satu ruang paling nyata di mana rakyat bisa bersuara, ketika saluran-saluran formal seperti dialog, surat, atau forum musyawarah sering kali tidak terdengar atau bahkan sengaja tertutup.
Narasi tidak pernah netral
Pertanyaan baru pun muncul, apakah demo memang selalu harus berakhir ricuh? Apakah demo selalu identik dengan korban, kerusuhan, atau anarkisme? Atau justru, ada pihak-pihak tertentu yang sengaja menciptakan citra buruk itu agar rakyat semakin apatis dan tidak lagi turun ke jalan?
Pertanyaan itu semakin menguat setelah saya menyaksikan sebuah demo besar yang terjadi pada 30 Agustus lalu. Awalnya, aksi itu berjalan tertib. Orang-orang berkumpul, menyuarakan pendapat, membawa poster dan spanduk dengan tuntutan yang jelas.
Tidak ada keributan, tidak ada kekerasan. Namun, narasi yang muncul di media arus utama sama sekali berbeda. Hampir semua media besar memberitakan seolah-olah demo itu ricuh sejak awal. Kata kunci yang terus berulang seperti “bikin rusuh”, “anarkis”, “mengganggu ketertiban umum”.
Padahal, rekaman-rekaman yang tersebar di media sosial menunjukkan hal sebaliknya, justru aparatlah yang bertindak represif, memukul, menendang, bahkan menyeret para demonstran.
Di sinilah saya semakin sadar bahwa narasi tidak pernah netral. Media arus utama, yang seharusnya menjadi corong informasi publik, sering kali sudah dikendalikan oleh kepentingan tertentu. Alih-alih menyajikan fakta apa adanya, mereka justru memilih mengemas cerita sesuai arahan.
Kenapa? Karena demo yang diberitakan sebagai anarkis akan membuat publik takut, muak, dan pada akhirnya enggan ikut turun ke jalan. Publik akan berpikir seperti saya dulu, demo itu merepotkan, demo itu berbahaya. Dengan begitu, negara atau pihak berkuasa akan lebih mudah mengendalikan situasi. Tidak ada kritik besar-besaran. Tidak ada tekanan dari rakyat. Demokrasi tetap berjalan, tapi hanya di atas kertas.
Fenomena citizen journalism
Beruntung, kita hidup di era media sosial. Di zaman ini, semua orang bisa menjadi jurnalis. Fenomena citizen journalism membuat siapa pun dapat merekam, mengunggah, dan menyebarkan informasi langsung dari lapangan.
Dari sinilah, narasi tandingan muncul. Rekaman video di Twitter, Instagram, atau TikTok memperlihatkan fakta berbeda, demonstrasi yang damai sering kali berubah ricuh justru setelah aparat bertindak represif. Kekerasan yang dilakukan aparat inilah yang kemudian memicu perlawanan balik.
Namun ironisnya, bukti-bukti seperti ini jarang muncul di televisi nasional atau portal berita besar. Yang ditayangkan justru potongan gambar kericuhan, massa yang berlari, atau spanduk yang dibakar, tanpa konteks siapa yang memulai.
Saya jadi teringat teori lama dalam ilmu komunikasi, “siapa yang menguasai narasi, dialah yang menguasai realitas”. Narasi “demo itu anarkis” terus direproduksi agar menjadi keyakinan publik. Sementara narasi tandingan dari warga biasa dianggap tidak kredibel atau tidak penting. Padahal, jika kita mau jujur, justru dari rekaman warga lah kita bisa melihat realitas lebih jernih.
Tentu saja, saya tidak menutup mata bahwa ada faktor lain yang membuat demo bisa berubah menjadi anarkis, karena ulah provokator. Selalu ada orang-orang yang dengan sengaja “mengompori” massa untuk melakukan tindakan destruktif. Mereka bisa mendorong orang lain menjarah toko, membakar fasilitas umum, atau menyerang aparat.
Provokator ini bisa datang dari mana saja, kelompok tertentu yang ingin memancing kerusuhan, atau bahkan bagian dari skenario agar citra demo semakin buruk. Dan yang paling menyedihkan, aksi segelintir orang ini kemudian dijadikan alasan untuk menstigma seluruh demonstran sebagai perusuh.
Peran Negara dan Media
Refleksi ini membuat saya kembali merenungkan pengalaman pribadi saya dulu. Ternyata, apa yang saya alami hanyalah sepotong kecil dari cerita besar tentang bagaimana negara dan media memainkan narasi. Saya dulu hanya melihat demo dari kacamata orang yang merasa terganggu.
Saya merasa menjadi korban. Namun kini saya sadar, ada ribuan orang lain yang lebih dulu menjadi korban, para demonstran yang dipukuli, ditangkap, atau bahkan kehilangan nyawa. Sementara saya, meskipun terkena gas air mata, masih bisa pulang, mengobati wajah, dan melanjutkan hidup.
Kini, setiap kali mendengar ada demo, saya tidak lagi buru-buru menghakimi. Saya mencoba memahami dulu, apa isu yang mereka bawa? Apa tuntutan mereka? Kenapa mereka memilih turun ke jalan? Apakah ada saluran lain yang ditutup sehingga demo menjadi pilihan terakhir?
Saya belajar bahwa demo adalah suara rakyat yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Ia mungkin berisik, mengganggu, atau menimbulkan ketidaknyamanan. Tapi dalam demokrasi, ketidaknyamanan itu adalah harga yang harus kita bayar agar suara publik tetap terdengar.
Mungkin benar, demo bukanlah cara sempurna. Ia penuh risiko, rawan dimanipulasi, dan bisa dimanfaatkan pihak tertentu. Tapi tanpa demo, bagaimana lagi rakyat bisa menunjukkan ketidakpuasannya? Bagaimana suara minoritas bisa sampai ke telinga penguasa? Bagaimana pemerintah bisa merasakan bahwa kebijakan mereka menyakiti banyak orang?
Pada akhirnya, pertanyaan yang harus kita ajukan bukan lagi “apakah demo itu anarkis?”, melainkan “kenapa negara begitu takut pada demo?” Karena jika sebuah pemerintahan benar-benar terbuka, seharusnya demo dianggap hal biasa. Justru di situlah letak kekuatan demokrasi: ruang bagi rakyat untuk bersuara, bahkan ketika suara itu tidak menyenangkan bagi penguasa.
Demo bukanlah soal keributan. Ia adalah tanda bahwa masih ada warga yang peduli, masih ada yang mau bersuara, masih ada yang tidak rela demokrasi mati. Dan selama masih ada orang yang berani turun ke jalan, kita masih bisa berharap bahwa suara rakyat belum sepenuhnya padam. []