Mubadalah.id – “Perkawinan itu untuk belajar berbeda” (Gus Mus/KH. Musthofa Bisri). Menikah bagi manusia merupakan fitrah. Awalnya sederhana, timbul rasa suka, lalu saling menjemput rida orang tua dan akhirnya melaksanakan akad nikah dan resepsinya. Menarik dikutip sebuah pernyataan Gus Mus di atas bahwa perkawinan (pernikahan) itu untuk belajar berbeda.
Betapa tidak, menikah itu menyatukan dua kepribadian manusia yang berbeda. Perbedaan itu sulit tampak ketika keduanya menjalani proses pacaran, karena yang ada, dalam masa pacaran adalah pengalaman dan ekspresi indah dan tanpa cela. Kedua pasangan yang menjalani pacaran akan selalu ingin tampak sempurna di mata pacarnya.
Tetapi setelah menikah barulah, kekurangan demi kekurangan, kelemahan demi kelemahan di antara masing-masing pihak; suami dan istri mulai tampak. Bahkan mungkin akan terkaget-kaget. Kalau keduanya tidak siap mental, maka perlahan tanda-tanda retaknya rumah tangga semakin hari akan semakin nyata.
Karena itu menikah mesti siap segalanya; siap fisik, mental, dan termasuk biaya. Kedua pasangan mestinya dari awal sadar, bahwa setiap orang pastilah melekat kekurangan/kelemahan. Dengan menikah justru keduanya bisa saling melengkapi dan menambahkan. Keduanya berbagi peran.
Kunci yang paling penting di sini adalah kesadaran, kedewasaan, dan keterbukaan. Kesadaran bahwa menyatukan dua kepribadian yang berbeda bukanlah hal mudah, butuh proses panjang, sepanjang hubungan keduanya berjalan. Kedewasaan dibutuhkan manakala menyikapi berbagai masalah pasca menikah. Dan keterbukaan adalah sikap terbaik untuk menumbuhkaan kesadaran dan kedewasaan. Tidak ada satu jalinan baik tanpa adanya keterbukaan.
Keterbukaan adalah sarana untuk meminimalisir kesalahpahaman dan konflik rumah tangga. Seringnya demikian, dengan alasan ‘memberikan yang terbaik’ dan ‘mengalah demi pasangan’; malah menjadi tertutup dan menyembunyikan segala keluh kesah. Memang sekali dua kali hal itu dapat ditahan, tetapi manusia siapa yang akan bertahan dengan begitu banyaknya tumpukan beban.
Pandai-pandailah mengelola perbedaan, agar tidak mudah menyulut pertikaian. Di dalam rumah tangga pastilah ada banyak masalah, tetapi tidak untuk dibiarkan sehingga mewabah. Begitulah jika ada masalah mesti disikapi dengan kedewasaan dan keterbukaan.
Yang tidak kalah pentingnya dalam menyikapi perbedaan, posisi laki-laki (suami) menjadi penting. Seyogyanya laki-laki tidak menjadi suami yang mau menang sendiri dan arogan. Bukan suatu hal yang aneh, jika budaya di masyarakat begitu melekat budaya patriarkhi. Budaya yang tolok ukur kepatutannya adalah laki-laki/suami. Perempuan/istri dianggap manusia kelas dua yang harus nurut pada suami tanpa kecuali.
Ingat prinsip kesetaraan dalam menjalin bahtera rumah tangga amat penting. Kedudukan suami dan istri sama-sama mulia. Keduanya harus saling menjaga, menyayangi, dan melengkapi. Tidak berlaku suami selamanya di atas berkuasa, sementara istri di bawah menjadi pihak yang dikuasai. Insya Allah, catatan ini penting direnungkan oleh dua insan yang baru saja melangsungkan pernikahan. Wallahu a’lam.