Mubadalaha.id – Transjatim adalah moda transportasi umum berbasis bus yang saat ini beroperasi di sejumlah kota dan kabupaten di Jawa Timur. Dengan trayek yang menghubungkan kota-kota seperti Sidoarjo, Gresik, Madura, Mojokerto, Lamongan, dan Surabaya. Transjatim menjadi alternatif transportasi publik yang nyaman, terjangkau, dan—yang paling penting—ramah bagi semua kalangan, termasuk kelompok disabilitas.
Perlu diakui, Transjatim bukan cuma soal perjalanan dari titik A ke titik B. Kadang, ia juga bisa menjadi tempat belajar sosial kecil-kecilan. Sedikit cerita, ketika naik Transjatim saya melihat lansia yang dibantu duduk, teman-teman difabel yang diarahkan petugas, bahkan ibu hamil yang diberi tempat tanpa banyak basa-basi.
Beberapa kali saya bertemu dengan penumpang yang memiliki kebutuhan khusus, termasuk remaja dengan down syndrome. Mereka naik bus tanpa canggung, tanpa tatapan aneh dari sekitar, tanpa ketakutan akan ditolak atau diabaikan. Mereka diperlakukan sama, diberi ruang, bahkan diprioritaskan. Saya melihat sendiri bagaimana mereka masuk tanpa takut. Tidak tergesa, tidak canggung. Bus berhenti, pintu terbuka, petugas bantu, lalu berangkat lagi. Sesederhana itu.
Pemandangan itu sungguh menghangatkan hati. Petugas Transjatim pun tak hanya berdiri untuk menagih karcis saja, tapi juga hadir sebagai pendamping yang siap membantu dengan senyum, dengan bahasa yang ramah, dengan gerak yang penuh perhatian. Khususnya pada penyandang disabilitas.
Selain itu, saya juga pernah menyaksikan seseorang anak muda yang enggan berdiri dari kursi prioritas. Tapi sejurus kemudian, orang di sebelahnya menegur. Sopan, tapi tegas. Yang ditegur pun akhirnya berdiri. Selesai. Tidak ada drama. Hanya ada kesadaran bahwa tempat itu memang bukan untuknya. Dan semua kembali seperti semula.
Saya membayangkan, jika semua moda transportasi publik di Indonesia memiliki semangat dan pelayanan seperti ini, tentu akan sangat berarti bagi jutaan warga yang selama ini merasa terpinggirkan. Iya, indikator transportasi yang hebat bukan lagi seberapa cepat kita melaju, tapi sejauh mana kita mampu berjalan bersama, tanpa meninggalkan yang lemah di belakang.
Belajar Inklusivitas dari Transjatim
Pengalaman naik Transjatim ini mengingatkan saya pada sebuah kalimat, “Salah satu indikator kualitas hidup suatu negara adalah bagaimana ia memperlakukan warga negaranya yang paling rentan.” Kalimat ini tak terasa teoritis ketika kita benar-benar menyaksikan bagaimana ruang publik memberi akses yang layak. Dan Transjatim, dalam pengamatan saya, sedang berusaha menjadi ruang yang terbuka, setara, dan ramah bagi semua tubuh.
Kita mungkin terlalu sering bicara inklusivitas sebagai konsep besar. Tapi ternyata, praktiknya bisa sesederhana naik bus. Mungkin ini yang jarang disadari. Bahwa ruang-ruang publik seperti Transjatim punya potensi untuk mengajarkan empati dan memahami disabilitas. Tanpa buku, tanpa seminar. Cukup berdiri sejenak, lihat sekitar, dan biarkan diri belajar dari apa yang ada.
Saya tidak sedang mengglorifikasi. Busnya memang mungil, tetap padat saat akhir pekan. Tapi di balik itu, ada semangat baik yang berjalan. Dan itu layak untuk diapresiasi.
Barangkali ini yang bisa jadi awal. Bahwa kota yang baik bukan hanya tentang gedung tinggi dan jalan lebar. Tapi juga soal bagaimana ia memperlakukan teman-teman yang paling sering tak terlihat.
KUPI, dan Pandangan Menyoal Transportasi Inklusi
Dalam perspektif ini, disabilitas bukan kekurangan, tapi bagian dari keberagaman penciptaan. Tubuh yang berbeda tidak boleh menjadi alasan untuk mengecualikan hak dasar, termasuk hak mobilitas.
Ketika Transjatim menyediakan akses yang inklusif, menyediakan kursi prioritas, dan petugas yang tanggap, itu artinya negara (atau setidaknya pemerintah daerah Jawa Timur) mulai melangkah ke arah pemenuhan hak-hak dasar kelompok rentan. Dan ini selaras dengan pandangan Islam progresif yang KUPI perjuangkan: memuliakan semua manusia, apa pun kondisinya.
Dalam Islam, penentuan kehormatan dan kemuliaan manusia tidak oleh kondisi fisik. Surah Al-Hujurat ayat 13 menegaskan bahwa yang paling mulia adalah yang paling bertakwa, bukan yang paling kuat fisiknya. Nabi Muhammad SAW pun memberi teladan dengan memuliakan orang-orang yang dalam pandangan sosial kerap menganggap “lemah”: lansia, perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas.
Transportasi inklusif menjadi bagian dari penghormatan ini. Memberikan akses setara untuk semua warga—termasuk teman-teman difabel—adalah bentuk nyata dari nilai-nilai Islam: keadilan dan kasih sayang.
Transportasi sebagai Ruang Ibadah Sosial
Dalam Islam, membantu orang lain adalah ibadah. Bahkan, menyingkirkan duri di jalan saja bisa jadi pahala. Maka, sudah sewajarnya menciptakan sistem transportasi yang membuat semua orang merasa aman dan nyaman—terutama yang paling sering terabaikan—adalah bentuk ibadah kolektif yang nyata.
Transjatim, dengan segala keterbatasannya sudah membuka ruang ibadah itu. Para petugas yang membantu naik turun, penumpang yang memberi tempat duduk untuk prioritas, serta fasilitas yang ramah bagi semua. hal tersebut merupakan bagian dari praktik sosial yang islami.
Di tengah dunia yang sering terburu-buru dan sibuk sendiri, Transjatim hadir sebagai ruang belajar: bahwa inklusi (maupun isu disabilitas) bukan sekadar wacana, tapi laku yang sederhana. Dan kita sangat bisa berlatih setiap harinya.
Mari kita beri tepuk tangan, bukan hanya untuk Transjatim, tapi untuk harapan: bahwa moda transportasi bisa jadi cermin akhlak publik, tempat kita sama-sama belajar menjadi lebih manusiawi. []