Mubadalah.id – Film possession and exorcism (kerasukan dan pengusiran iblis) merupakan sub-genre film yang telah menarik perhatian saya sejak 2018. Bermula dari menyaksikan The Nun (2018), saya kemudian mulai menumbuhkan minat untuk mengamati bagaimana suatu fenomena yang sangat dekat dunia agama dan kepercayaan itu terangkat sedemikian rupa ke layar lebar hingga melebur dengan pop culture (budaya pop).
Satu pekan yang lalu, saya mengakhiri akhir pekan saya dengan menonton film horror thriller dari Korea Selatan yang berjudul Dark Nuns (2025). Film Dark Nuns yang Kwon Hyeok-jae sutradarai ini merupakan spinoff dari film The Priests (2015). Meski demikian, anda tidak perlu menyaksikan The Priests untuk memahami alur film yang akan kita ulas dalam tulisan ini.
Film Dark Nuns memiliki skema yang tidak jauh berbeda film exorcism yang pernah saya tonton. Mulai dari anak kecil yang kerasukan, narasi mengenai identitas dan karakter sang iblis. Lalu tokoh religius yang berperan sebagai exorcist, penggunaan simbol, ritual, dan mantra kepercayaan, hingga proses pengusiran iblis.
Walaupun demikian, saya sendiri tidak begitu familiar melihat wajah berparas Korea memainkan peran sebagai biarawati dan pastor di layar lebar. Saya juga tidak begitu mengetahui bagaimana sebetulnya hubungan yang terjalin antara Kekristenan dengan masyarakat Korea Selatan.
Pengaruh Agama Kristen
Padahal, seperti yang Robert E. Buswell Jr. dan Timothy S. Lee tuliskan dalam pengantar buku antologi Christianity in Korea (2006). Tanpa kontribusi agama Kristen, perkembangan Korea Selatan menuju kehidupan modern adalah suatu hal yang tidak mungkin.
Faktanya, pada akhir abad ke-20, lebih dari 25 persen penduduk Korea Selatan mengidentifikasi diri mereka sebagai Kristen Katolik atau Protestan. Hal demikian menjadi bukti yang kuat bahwa agama Kristen memberikan pengaruh yang signfikan bagi masyarakat Korea selatan.
Mungkin, alasan saya tidak familiar dengan tontonan semacam ini karena produksi film exorcism di layar lebar yang begitu didominasi oleh industri perfilman dari Barat. Boleh jadi, menonton film Dark Nuns ini dapat menjadi salah satu ruang belajar yang menyenangkan. Tujuannya agar kita lebih mengenal budaya dan religiusitas di luar dari apa yang dunia Barat representasikan, terkhusus di Asia.
Agama yang Membudaya
Film Dark Nuns mengambil konteks di mana Gereja Katolik sedang berkonfrontasi dengan kekuatan modernitas. Modernitas di sini dapat kita cirikan sebagai pudarnya pemerintahan aristokrat maupun teokratis. Desakralisasi kuasa dengan pembedaan yang tajam antara otoritas agama dengan otoritas politik.
Edukasi masyarakat, mobilitas sosial, partisipasi aktif publik di pemerintahan, dan rasionalisasi terhadap setiap nilai dalam berbagai aspek di kehidupan. Berhadapan dengan dominasi modernitas ini, Gereja lantas berusaha untuk merekonsiliasi pemahaman mereka terhadap Alkitab dan ajaran-ajaran sakralnya. Yakni dengan modus vivendi dan budaya modern.
Salah satu ajaran Gereja yang mendapatkan tantangan serius dari modernitas adalah exorcism. Dalam hal ini, perkembangan sains positif, terkhusus ilmu psikologi modern, sangat berpengaruh pada persepsi Gereja. Terutama dalam memahami fenomena orang kerasukan dan pengobatan macam apa yang dapat menyembuhkannya secara efektif.
Berkenaan dengan ini, Gereja Katolik Roma kemudian terjebak dalam ketegangan diskursif antara perspektif ‘takhayul’ dari para pengusir iblis. Di mana mereka begitu antusias exorcism dengan para pastor yang berani menyangkal kenyataan kerasukan iblis dan menegasikan legitimasi exorcism.
Penulis buku A History of Exorcism in Catholic Christianity (2016), Francis Young, mencatat bahwa Roma kemudian mencoba untuk mengambil jalan tengah di antara dua posisi ekstrem ini. Yakni dengan menerapkan kontrol yang sangat ketat terhadap praktik pengusiran iblis.
Adaptasi Gereja dengan Modernitas
Exorcism yang berada di pusaran rasionalisme dan skeptisisme pencerahan seperti ini juga dapat kita saksikan dalam film The Pope’s Exorcist (2023). Film tersebut menceritakan bagaimana pergulatan pastor Gabriel Amorth (Russell Crowe) dengan Gereja yang semakin beradaptasi dengan cakrawala modernitas.
Bahkan, lebih radikal lagi, pada The First Omen (2024), salah satu ordo gereja dalam film tersebut sampai merasa perlu mempersiapkan kelahiran anti-Kristus. Melalui eksperimen genetik-biologis yang problematis, untuk menarik kembali masyarakat kepada keimanan yang benar. Karena, masyarakat telah semakin menjauh dari Gereja sebagai akibat dari modernisasi.
Dalam Dark Nuns, Gereja mengambil sikap yang begitu dismisif terhadap possession dengan memperketat perizinan bagi para pastor untuk melakukan exorcism. Tatkala anak kecil, Hee-joon (Moon Woo-jin), dirasuki oleh salah satu iblis yang terkenal sebagai anggota dari 12 manifestasi, Pastor Paolo (Lee Jin-wok) yang mengepalai rumah sakit setempat justru tidak meyakini hal semacam itu. Dia melihatnya sebagai patologi kejiawaan semata.
Melalui konsultasi dan pengobatan yang berkelanjutan, Pastor Paolo yakin bahwa Hee-joon dapat ia sembuhkan secara medis. Tanpa perlu bersusah payah terlibat pada ritual pengusiran iblis. Di mana menurutnya tidak masuk akal sekaligus bertentangan dengan penemuan ilmu pengetahuan.
Pastor Paolo sendiri diceritakan sebagai ahli psikoanalisis yang telah menghasilkan buku penting terkait psikologi berikut hubungannya dengan masalah-masalah posession. Tidak hanya itu, ia juga telah mendidik seorang biarawati. Dia adalah Suster Michaela (Jeon Yeo-been), di mana sejak kecil dan mengaku berhasil menyembuhkannya dari gangguan iblis.
Ritual Exorcisme
Jika dalam beberapa film exorcism kita menemukan ada satu karakter yang menunjukkan adanya semacam krisis iman dan skeptisisme terhadap masalah possession. Sr. Michaela adalah contoh yang cukup mewakili karakter tersebut.
Suster Junia (Song Hye-kyo) yang di awal film telah berurusan langsung dengan anak kecil ini meyakini bahwa ia tidak mengidap penyakit kejiwaan seperti yang disangkakan pastor Paolo. Memang, Sr. Junia sendiri terberkati suatu visi dan penglihatan khusus yang dapat merasakan kehadiran iblis, terutama pada anak tersebut.
Dengan keimanan yang kuat, Sr. Junia berkeinginan kuat untuk mengobati anak ini dengan segala cara dan upaya. Berkat kegigihannya pula, Sr. Michaela yang awalnya begitu ragu dengan persoalan possession pun turut menginvestigasi kasus ini dan akhirnya ikut terlibat dalam ritual exorcism.
Yang menarik untuk kita amati adalah bagaimana Sr. Junia dan Sr. Michaela melangsungkan ritual exorcism untuk menyembuhkan Hee-joon. Jalan yang mereka tempuh tidak hanya berseberangan dengan aturan (administratif) Gereja yang semakin mempersempit ruang bagi praktik exorcism.
Lebih jauh lagi, mereka bahkan mengombinasikan ritual “animistik” dari salah satu tradisi kepercayaan yang cukup tua di Korea Selatan, yaitu Shamanisme. Praktik exorcism yang melibatkan double traditions, yaitu Kristen Katolik dan Shamanisme ini, turut menggambarkan salah satu keunikan dari religiusitas masyarakat di Asia yang tumbuh dalam beragam tradisi keagamaan, alias hybrid.
Shamanisme
Saya sendiri pertama kali berjumpa dengan Shamanisme ketika menonton film Exhuma (2024). Setelah itu, saya mulai membaca beberapa buku dan menonton video daring untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas terkait Shamanisme.
Tentu saja, tidak ada definisi tunggal dan komprehensif yang saya temui terkait apa dan bagaimana keyakinan Shamanisme itu. Barangkali, kita hanya dapat menjelaskannya dengan menyebutkan ragam karakteristik yang dapat kita observasi dari praktik Shamanisme. Dalam Shamanism: An Introduction (2003), Margaret Stutley dengan sangat baik menguraikan ciri utama dari kepercayaan Shamanisme.
Stutley mencatat, ada tiga ciri distingtif Shamanisme yang membedakannya dari kepercayaan-kepercayaan lain. Pertama, kepercayaan akan keberadaan dunia roh, umumnya dalam hewan, yang dapat bertindak dan memberi dampak bagi manusia. Demi kebaikan komunitasnya, para “dukun” Shamanisme dituntut untuk bekerja sama dengan roh-roh yang baik maupun yang jahat.
Kedua, ketika roh “dukun” memasuki dunia supernatural, ritual yang berlangsung mesti dibersamai dengan nyanyian, tarian, dan dentuman gendang. Terakhir, dan ini yang menurut saya paling relevan dengan film ini, para “dukun” mengobati beberapa penyakit, biasanya yang bersifat psikosomatis. Selain itu membantu anggota komunitas mereka dalam menyelesaikan berbagai masalah dan mengatasi ragam kesulitan yang sedang dihadapi.
Dari adegan exorcism yang melibatkan dua tradisi kepercayaan pada Dark Nuns, kita dapat memahami karakter unik masyarakat Asia dalam masalah keberagamaan. Ketika agama-agama dunia menyebarkan ajarannya secara masif di negara-negara Asia, anggota masyarakat yang telah menghidupi suatu tradisi kepercayaan tertentu tidak secara otomatis meninggalkan tradisi setempat.
Sebaliknya, mereka melakukan resepsi, negosiasi, dan akomodasi yang kontinu terhadap doktrin-praktik dari agama dunia sehingga melahirkan suatu “sintesis” religiusitas yang khas.
Relational Religiosity
Hal demikian mengonfirmasi setidaknya dua hal penting. Yaitu, agama, tak terkecuali world religions (agama-agama dunia), dapat hidup di tengah-tengah masyarakat hanya apabila ia berjumpa, beradaptasi, dan meleburkan nilai-nilainya dengan struktur kultural dan horizon kepercayaan yang telah menubuh lama dalam masyarakat tersebut. Penting untuk kita ingat, struktur di sini bukan lah sesuatu a priori dan fixed, karena ia sendiri adalah sesuatu yang dinamis.
Maka dari itu, religiusitas mengambil bentuk sebagai fenomena yang lahir melalui relasi dialektis, resiprokal, dan kompleks dari berbagai agen dalam kehidupan kita. Seperti budaya, agama, politik, ekonomi, dan lain seterusnya.
Dalam kalimat lain, Religiusitas itu sudah selalu dan akan terus menjadi relational religiosity. Sebagai konsekuensi antropologis yang tak terhindarkan, akan lahir penafsiran dan praktik yang beragam dari suatu ajaran agama tertentu.
Menyaksikan Dark Nuns, kita seakan diajak untuk melihat bagaimana peleburan cakrawala Shamanisme dengan pandangan dunia Kristen Katolik dalam satu modus keberagamaan yang cair. Poin demikian yang membuat Dark Nuns menjadi cukup insightful.
Bukan soal menciptakan konflik dan drama yang berlebihan. Sr. Junia dan Sr. Michaela yang hendak menemukan cara untuk menyelamatkan Hee-joon justru menggunakan pluralitas dan diversitas kepercayaan sebagai fasilitas dan senjata utamanya dalam melawan sang iblis.
Menarasikan Keberagamaan melalui Lensa Kesetaraan
Jika kita bertanya, mengapa judul dari film ini adalah Dark Nuns? Maka, jawaban yang cukup masuk akal adalah karena keyakinan dan pendekatan Sr. Junia yang tidak cukup familiar. Bahkan dapat kita anggap sebagai heterodoks. Bagi teman-teman yang familiar dengan film-film possession, biasanya kita akan menemukan bahwa sosok yang mengalami kerasukan adalah anak perempuan. Sementara itu, yang menjadi penyelamatnya adalah rohaniawan laki-laki.
Namun, dalam Dark Nuns, kita disuguhkan pengalaman yang cukup berbeda. Sr. Junia dan Sr. Michaela yang berprofesi sebagai biarawati justru memainkan peran utama sebagai penyelamat yang melakukan exorcism kepada anak kecil, yang secara tidak kebetulan, adalah anak laki-laki. Dari pengamatan saya, film ini semacam menghadirkan suatu narasi alternatif bagi posisi dan signfikansi religiusitas perempuan.
Pada kenyataannya, tradisi Gereja Katolik, dan agama-agama Abrahamik pada umumnya, cenderung memberikan status dan peran yang cukup istimewa bagi laki-laki. Para biarawati tidak begitu memiliki kesempatan dan kekuatan yang proporsional untuk membuat keputusan sendiri. Apalagi, jika situasi mereka berhadapan dengan seorang pastor.
Adegan simbolis yang paling mencolok adalah ketika Romo Paulo memberikan stola kepada Sr. Junia untuk melakukan pelayanan (exorcism). Sebagaimana kita ketahui, dalam tradisi Gereja Katolik, stola merupakan simbol imamat sakral yang hanya digunakan oleh para pastor. Memberikan stola kepada biarawati, yang secara struktural berada di bawah pastor, adalah adegan yang tidak lazim, jika bukan mustahil, kita temukan pada di dunia nyata. Bahkan, hal semacam ini akan kita pandang sebagai bidah.
Pengalaman Kebertubuhan Perempuan
Tidak hanya itu, ketika Hee-joon mengalami kerasukan iblis, ia mengeluarkan berbagai umpatan yang merendahkan dan kata-kata misoginis terhadap pengalaman ketubuhan Sr. Junia sebagai perempuan. Dengan mengasosiasikannya sebagai perkataan iblis yang keluar melalui lisan manusia. Maka kita dapat suatu memahami pesan sublim dari film ini bahwa praktik misoginisme dan stereotip gender adalah sesuatu yang buruk, amoral, dan tidak sejalan dengan nilai-nilai kepercayaan, apapun itu.
Sepanjang film, kita akan menyadari bahwa iblis yang merasuki Hee-joon ternyata begitu kuat sehingga menyebut namanya saja tidak cukup untuk menjebloskannya ke neraka. Akhirnya, Sr. Junia kemudian menjalin kontrak dengan iblis tersebut agar ia berpindah ke dalam tubuhnya dan menjadikan rahimnya sebagai inang agar sang iblis dapat lahir kembali ke dunia. Memang, tidak banyak indikasi dari film yang memberi tahu kita bahwa Sr. Junia mengidap penyakit yang mematikan.
Untuk menyelamatkan anak laki-laki itu, Sr. Junia tampak tidak begitu peduli dengan jumlah biaya yang mesti ia keluarkan. Bahkan ketika itu harus merenggut nyawanya. Di akhir film, Sr. Junia pun berhasil memindahkan iblis dari Hee-joon ke dalam rahimnya. Bersama dengan iblis tersebut, ia kemudian masuk ke dalam bangungan yang menjadi Lokasi berlangsungnya proses exorcism dan sebentar lagi akan hancur terbakar.
Secara simbolis, film ini seakan memberitahu bahwa pengalaman kebertubuhan perempuan memainkan peran sakral dan menjadi kunci dalam menyelamatkan dunia. Apabila kita membacanya dengan perspektif ethics of care, pengalaman perempuan Sr. Junia bukan hanya menjadikannya bersikap responsif dan bertanggung jawab penuh untuk menyelamatkan Hee-joon, tapi juga memberikannya spirit compassion untuk berani mengorbankan nyawanya bagi kemanusiaan.
Spirit Kolektivitas dan Kerja Sama
Sebagai catatan penutup, saya menemukan banyak hal menarik yang dapat kita renungkan dari film ini. Salah satu di antaranya adalah spirit kolektivitas dan kerja sama. Adegan ritual dan doa yang melibatkan berbagai agen spiritual menunjukkan bahwa untuk menyelesaikan suatu masalah.
Bahkan dalam perkara keagamaan, manusia tidak dapat mengisolasi dirinya dari yang-lain. Sebaliknya, ia mesti menghubungkan dirinya dalam relasionalitas bersama apapun dan siapapun untuk menemukan makna, menyelesaikan masalah, dan menjalani kehidupan.
Berhadapan dengan zaman individualistis dan hampa akan makna seperti saat ini, premis terkait relasionalitas tersebut dapat menjadi mitra bagi kita untuk memaknai kembali terkait apa arti hidup, kepercayaan, kerja sama, dan kebaikan.
Ketika Sr. Junia berkata “doa adalah masalah ketulusan”, hal demikian mengandaikan bahwa ragam agama, kepercayaan, dan religiusitas, tampaknya punya nafas yang sama. Yaitu harapan dan perwujudan nilai etis bagi setiap relasi, baik terhadap diri, sesama, penghuni dunia, alam semesta, hingga Tuhan. []