Buya Husein mengutip pandangan ulama kontemporer seperti Mufti Mesir, Ali Jum’ah, yang menegaskan bahwa khitan perempuan dilarang dan haram.
Mubadalah.id – Bagi sebagian orang, menulis adalah sekadar aktivitas biasa. Namun, bagiku, menulis adalah cara untuk bicara sekaligus meluapkan emosi yang sering terpendam di hati. Lewat menulis, aku merasa bebas, seperti menuangkan potongan-potongan pikiranku menjadi karya yang hidup.
Meski begitu, aku sering kebingungan saat harus menyusun kata-kata menjadi kalimat yang renyah dibaca. Kadang, ide yang sudah ada di kepala terasa sulit dituangkan ke atas kertas. Itulah sebabnya aku berkeinginan melatih hobiku ini agar bisa menjadi skill yang lebih terasah.
Ketika aku bergabung dengan program Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI), aku merasa seperti menemukan jalan. Salah satu kegiatannya adalah kelas menulis yang dimentori oleh Teh Fitri dan A Arul. Aku sangat antusias karena akhirnya ada tempat untuk belajar dan mengasah kemampuan menulisku.
Pada pertemuan pertama, mentor kami memberikan tugas yang cukup menantang yaitu tulisan review buku. Pada saat itu juga, aku langsung tertarik memilih buku karya KH. Husein Muhammad yang berjudul Perempuan, Islam, dan Negara. Dari berbagai subjudul dalam buku ini, ada satu yang langsung menyita perhatianku: “Khitan Perempuan.”
Topik soal khitan perempuan ini langsung mengingatkanku pada pengalaman pribadi. Pada saat itu, aku pernah mendengar obrolan dari tetangga yang telah mengkhitan anak perempuannya yang masih belia.
Saat aku tanya mengapa dikhitan, ia memberikan alasan kalau perempuan itu memiliki nafsu lebih besar dibandingkan laki-laki, dan untuk “mengendalikan” hal itu, perempuan perlu dikhitan.
Sebagai seorang Mahasantriwa SUPI, aku mulai bertanya-tanya. Apakah benar nafsu perempuan lebih tinggi dari laki-laki? Apakah khitan bagi perempuan memang perlu dilakukan?
Pertanyaan-pertanyaan ini membawaku menyelami pandangan KH. Husein Muhammad yang dengan cermat membahas isu ini, tidak hanya dari sudut pandang agama tetapi juga dari aspek kesehatan dan kemanusiaan.
Pandangan KH. Husein Muhammad
KH. Husein Muhammad dalam bukunya menjelaskan bahwa khitan perempuan adalah isu yang menimbulkan perdebatan, terutama karena akan berimplikasi serius pada kesehatan perempuan.
Bahkan menurut Buya Husein, di dalam al-Qur’an sendiri tidak ada ayat yang secara eksplisit menyebutkan khitan perempuan. Sebaliknya, khitan sebagai kewajiban agama hanya berlaku untuk laki-laki.
Dalil utama yang sering menjadi rujukan tentang khitan adalah firman Allah dalam Surat an-Nahl ayat 123:
ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
Artinya: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik.” (QS. an-Nahl ayat 123)
Ayat ini, kata Buya Husein, ditafsirkan sebagai perintah untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim, termasuk praktik khitan. Karena dalam sejarah Islam, Nabi Ibrahim adalah tokoh pertama yang disyariatkan berkhitan, yang dilakukannya pada usia 80 tahun dengan alat bernama qudum. Ia juga mengkhitan anaknya, Nabi Ishaq, saat masih berusia delapan hari.
Namun, praktik khitan perempuan berbeda cerita. Sebagian orang yang mendukung khitan perempuan merujuk pada Hadits berikut:
“Khitan adalah sunnah bagi laki-laki dan sesuatu yang mulia bagi perempuan.” (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi)
Hadits ini, menurut Imam Al-Syaukani adalah Hadits dha’if (lemah). Ia menyatakan bahwa perawi Hadits ini, Hajjaj bin Artha’ah, terkenal sebagai mudallas (seseorang yang sering mengaburkan riwayat). Oleh karena itu, hadits ini tidak dapat kita jadikan landasan hukum.
Larangan Khitan Perempuan dan Fatwa KUPI
Oleh sebab itu, secara tegas Buya Husein Muhammad melarang untuk melakukan khitan perempuan. Karena sama sekali tidak ayat maupun hadits yang memerintahkan hal tersebut.
Bahkan, Buya Husein mengutip pandangan ulama kontemporer seperti Mufti Mesir, Ali Jum’ah, yang menegaskan bahwa khitan perempuan dilarang dan haram.
Pandangan ini juga didukung oleh Syaikh Yusuf Al-Qaradawi, yang menyatakan bahwa praktik khitan perempuan lebih banyak mendatangkan mudharat daripada manfaat.
Sementara itu, pada tahun 2017 lalu, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) memberikan fatwa soal pelarangan khitan Perempuan. Menurut ulama KUPI, ada beberapa poin terkait larangan khitan perempuan:
Pertama, tidak memiliki dasar hukum yang kuat dalam Islam. KUPI menegaskan bahwa tidak ada dalil yang kuat, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis, yang secara eksplisit memerintahkan khitan perempuan.
Kedua, melanggar prinsip maqashid syariah. Praktik khitan perempuan bertentangan dengan tujuan syariat Islam (maqashid syariah), yang menekankan perlindungan jiwa, akal, keturunan, harta, dan kehormatan manusia.
Dampak Buruk Pada Kesehatan Perempuan
Ketiga, dampak buruk pada kesehatan perempuan. Khitan perempuan membawa risiko kesehatan yang signifikan, termasuk trauma fisik dan psikis, perdarahan, infeksi, nyeri kronis, hingga gangguan fungsi biologis. Hal ini bertentangan dengan prinsip Islam yang mengutamakan perlindungan kesehatan.
Keempat, melanggar hak asasi perempuan. KUPI menilai bahwa khitan perempuan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia, terutama hak perempuan atas kesehatan, integritas tubuh, dan martabat.
Maka dari itu, praktik khitan perempuan ini, menurutku perlu banget untuk dihentikan. Bahkan sebagai perempuan aku semakin yakin bahwa tubuh perempuan bukanlah objek yang bisa diperlakukan semena-mena atas nama tradisi atau dogma yang lemah. Praktik seperti ini harus dihentikan demi melindungi hak dan martabat perempuan. []