Mubadalah.id – Suatu saat saya dan seorang teman mampir di sebuah warung makan Padang. Suasana warung itu sangat ramai. Begitu pesanan datang, saya langsung berdoa dengan membuat tanda salib dan mengucapkan doa singkat dalam hati.
Saya tidak memperhatikan sekitar, tapi ketika membuka mata, seorang melihat ada seorang bapak yang mengenakan peci sedang memperhatikan saya sembari tersenyum. Saya hanya membalas dengan senyum.
Beberapa saat kemudian, bapak tersebut selesai makan dan berjalan ke luar warung. Ketika sampai di meja saya, bapak itu berhenti sejenak dan berkata demikian “Hebat kamu,” katanya, “jarang saya lihat orang muda, Katolik lagi, berani berdoa di tempat umum.” Ternyata ini yang membuat bapak itu memperhatikan saya ketika saya berdoa sebelum makan.
Apakah berdoa di tempat umum memang sebuah keberanian? Atau justru seharusnya menjadi hal yang wajar, sesuatu yang sederhana, manusiawi, dan lintas iman? Bukankah dalam setiap agama, doa selalu menjadi bahasa syukur yang paling dasar?
Pengalaman itu meneguhkan saya. Bahwa doa, sekecil apa pun bentuknya, bisa menjadi tanda kehadiran Allah dalam situasi yang ramai sekalipun. Kadang, tanpa kita sadari, doa juga menjadi jembatan yang menghubungkan hati manusia, bahkan di antara mereka yang berbeda keyakinan.
Doa Sebagai Bahasa Universal
Doa adalah bahasa hati yang tak memerlukan penerjemah. Dalam Katolik, doa adalah percakapan kasih dengan Allah. Dalam Islam, doa (du‘ā) adalah permohonan tulus kepada Sang Khalik. Sedangkan dalam tradisi Buddha, meditasi adalah cara mengolah kesadaran untuk menumbuhkan welas asih.
Setiap agama mempunyai bentuk, bahasa, dan simbolnya masing-masing. Namun di balik perbedaan itu, ada getaran universal yakni kerinduan manusia untuk terhubung dengan Yang Ilahi. Doa membuat manusia menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Sesuatu yang besar itulah menjadi kekuatan yang menghidupkan, memelihara, dan mengasihi.
Maka, ketika seseorang berdoa, entah dengan menundukkan kepala, melipat tangan, atau menutup mata sebenarnya ia sedang memasuki ruang universal. Ruang ini menjadi tempat semua manusia bisa saling memahami tanpa perlu berbicara.
Doa dan Keberanian untuk Tulus
Banyak orang mengira bahwa berdoa di tengah publik adalah bentuk keberanian. Namun sejatinya, yang lebih penting dari “berani” adalah tulus. Tulus berarti tidak berdoa untuk dilihat, tapi juga tidak takut untuk terlihat.
Yesus sendiri pernah menegaskan, “Jika kamu berdoa, masuklah ke kamarmu dan berdoalah kepada Bapamu yang tersembunyi” (Mat 6:6). Namun konteksnya bukan melarang doa di depan umum, melainkan mengingatkan agar doa tidak menjadi pertunjukan.
Ketulusan doa justru dapat dirasakan oleh orang lain tanpa kata-kata. Ketika bapak di warung itu memuji saya, saya sadar bahwa ia tidak sedang mengagumi keberanian saya, melainkan tersentuh oleh ketulusan yang ia tangkap. Doa kecil itu, tanpa niat apapun, ternyata mampu menyapa hatinya. Itulah letak indahnya, bahwa doa sejati tidak hanya menyentuh Tuhan, tetapi juga menggerakkan hati sesama manusia.
Berdoa di Tengah Perbedaan
Berdoa dalam suasana yang penuh perbedaan kadang membawa keraguan. Kita ingin setia pada iman kita, tapi juga tak ingin menyinggung orang lain. Namun, mungkin kuncinya bukan pada bagaimana kita berdoa, melainkan apa yang lahir dari doa itu.
Jika berdoa membuat kita semakin rendah hati, semakin menghargai orang lain, dan semakin mencintai kehidupan, maka doa itu telah menjadi jembatan kasih. Sebaliknya, bila doa hanya melahirkan rasa paling benar, doa itu berubah menjadi tembok yang memisahkan.
Dalam kehidupan lintas iman, doa dapat menjadi titik temu yang indah. Kita boleh berbeda kiblat dalam ibadah, tetapi hati kita sama-sama menengadah. Boleh berbeda kitab, tetapi sama-sama mencari hikmah, atau berbeda jalan, tetapi menuju sumber cahaya yang sama yaitu kasih.
Belajar dari Fransiskus Asisi dan Sultan Malik al-Kamil
Sejarah menghadirkan kisah menggetarkan tentang perjumpaan antara Santo Fransiskus dari Asisi dan Sultan Malik al-Kamil. Dalam suasana kekerasan Perang Salib, Fransiskus tidak datang dengan pedang, tetapi dengan doa dan damai. Sultan pun menyambutnya bukan sebagai musuh, melainkan sahabat.
Keduanya berdialog, berdoa, dan saling menghormati tanpa berusaha mengubah keyakinan satu sama lain. Dari perjumpaan itu lahirlah benih spiritualitas lintas iman yang kelak menginspirasi dunia bahwa doa yang tulus mampu melucuti ketakutan dan membangun persaudaraan.
Kisah itu relevan bagi kita hari ini. Polarisasi sosial dan politik yang sering menumpahkan kebencian atas nama agama, doa menjadi cara paling sunyi namun kuat untuk memulihkan kemanusiaan. Doa tidak menuntut keseragaman, tetapi mengajarkan penghormatan.
Tuhan yang Mendengar Semua Bahasa
Saya sering mengingat kembali kejadian di warung makan itu. Bapak itu mungkin tak tahu bahwa ucapannya sederhana tapi berarti. Bapak itu melihat doa saya yang sederhana bukan sebagai simbol agama, melainkan sebagai tanda syukur manusia.
Berdoa di tengah perbedaan bukanlah keberanian untuk menonjolkan diri, melainkan kerendahan hati untuk tetap bersyukur di mana pun berada. Ketika doa menjadi jembatan, bukan tembok, dunia akan lebih mudah dipenuhi damai. Mungkin, di meja warung sederhana itu, kasih Tuhan sedang hadir bukan dalam kata-kata besar, tapi dalam senyum kecil antar manusia yang berbeda, namun sama-sama percaya. []