Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, saat berselancar di media sosial, saya menemukan sebuah puisi dari Khofifah Indar Parawangsa, Gubernur Jawa Timur terpilih. Dilihat dari tanggal dibuatnya, puisi tersebut dirangkai oleh mantan Menteri Sosial Era Jokowi ini dalam rangka memperingati Hari Ibu, 22 Desember, tahun lalu, 2017. Entah kenapa saya baru membaca, ternyata saya cukup kudet, kurang update, hehe.
Sekilas membaca puisi ini, sangat mengharukan, apalagi dibaca oleh saya yang adalah seorang Ibu. Ibu baru dari perempuan kecilku, Roya Kafabillah, yang lahir 14 bulan lalu.
Puisi yang dengan apik menggambarkan betapa Ibu merasakan kebahagiaan, mengharu-biru, nelangsa, tertawa, sambil membayangkan momen-momen yang dituliskan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU ini.
Baca juga: Adakah Keluarga Ideal?
Tak lama setelah hanyut dalam puisi yang berjudul ‘Hanya Ibu yang Tahu‘ itu, mataku tiba-tiba menangkap sosok laki-laki yang berdiri di hadapanku. Dia sedang mengganti popok anak perempuan yang barus saja selesai ‘dicebokin’, ya laki-laki itu adalah suamiku, Ayah dari anak perempuanku, Abdulloh.
Saya tersadar, mungkin bukan Hanya Ibu yang Tahu, tetapi Ayah juga tahu dan mengalami bagaimana rasanya:
“Saat lapar melanda, terbayang makanan enak di atas meja……
ketika suapan pertama, anak pup di celana……
Bagaimana rasanya….?
Cuma Ibu yang tahu rasanya…..”
Ketika sedang makan, tiba-tiba anak pup, terkadang Ayah yang terlebih dahulu meninggalkan makannya. Bukan karena diminta, tetapi karena merasa dan sadar bahwa tanggung jawab mengasuh dan merawat anak adalah tanggung jawab bersama, Ayah dan Ibu, laki-laki dan perempuan.
Baca juga: Keluarga Maslahat, Pilar Kekuatan dan Kemajuan Bangsa (1)
Saat malam tiba, semua sudah tidur lelap, tiba-tiba anak bangun dan minta ‘nenen’, bukan hanya Ibu yang bangun, tetapi Ayah juga bangun menyiapkan air putih untuk diminum Ibu dan memijat punggung Ibu, agar ASI dapat mengalir dengan lancar, dan si anak dapat minum dengan kenyang dan tidur nyenyak kembali.
Sekali lagi, bukan karena diminta, tetapi karena sadar bahwa memberikan asupan yang terbaik bagi anak adalah tanggung jawab kedua orang tua, bukan hanya Ibu saja, atau Ayah saja.
“Saat Ibu baru saja memejamkan mata………
pecahlah tangisan si kecil dengan nyaringnya…….
dalam keadaan mengantuk, anak pun harus digendong sepenuh cinta……
Bagaimana rasanya….?
Cuma Ibu yang tahu rasanya…..”
Dengan kerjasama yang setara laki-laki dan perempuan dalam merawat dan mengasuh anak, tentu situasi-situasi yang sering dikeluhkan banyak perempuan menikah soal tidak dapat merawat diri sendiri dapat dikurangi.
Baca juga: Bahagia Berumah Tangga
Bahkan bisa saja orang tua masih tetap punya waktu untuk diri mereka sendiri, asalkan berbagi peran baik domestik maupun publik. Ketika Ibu memasak, Ayah menjaga anak, ketika Ayah mencuci, Ibu menjaga anak.
Jika keduanya terbiasa menjaga anak, tidak masalah jika salah satunya pergi ke tempat perawatan tubuh atau pergi ke arena hobi. Karena, membahagiakan anggota keluarga adalah tanggung jawab bersama, laki-laki dan perempuan. Bait puisi ini tidak akan terjadi:
“Saat badan sudah lelah tak ada tenaga……
ingin segera mandi menghilangkan penat yang ada…
mumpung anak-anak sedang anteng di kamarnya…..
Belum sempat sabunan, anak sudah nangis berantem rebutan boneka…..
Kacaulah acara mandi Ibu….., langsung handukan walau daki masih menempel di badannya….
Bagaimana rasanya?
Cuma Ibu yang tahu rasanya…..”
Tulisan ini bukan untuk menyalahkan isi puisi, bukan. Tulisan ini adalah refleksi saya bahwa dunia mengasuh anak, bukan hanya dunia Ibu, tetapi juga dunia Ayah, dunia orang tua. Maka, sepatutnya memberikan apresiasi juga kepada keduanya.[]