Judul Buku: A Feminist Manifesto
Penulis: Chimamanda Ngozi Adichie
Jumlah Halaman: 79 Halaman
Penerbit: Odysee Publishing (2019)
Alih Bahasa: Winda A
Mubadalah.id – Pada tahun 1945, saat perang dunia ke-2, bom atom dijatuhkan di Nagasaki dan Hirosima. Peristiwa itu membuat keadaan Jepang hancur lebur. Sang Kaisar, Hirohito, ketika mendengar negaranya telah luluh lantak oleh bom nuklir, tidak lekas bertanya jumlah tentara yang tersisa atau jumlah barang berharga yang telah mereka amankan, pertanyaan yang muncul adalah: Berapa jumlah guru yang tersisa?
Pertanyaan itu telah membawa Jepang melewati masa kebangkrutan akibat perang menuju kebangkitan, menempatkan posisinya sebagai salah satu adikuasa ekonomi dunia. Pendidikan, menjadi klimaks dalam sejarah peperangan Amerika Serikat dan Jepang.
Pendidikan hadir pada setiap peristiwa dunia. Ia muncul menjadi juru selamat dalam situasi perang, krisis ekonomi, feodalisme, kolonialiseme dan ketidakadilan gender. Buku A Feminist Manifesto (2019) adalah salah satu buku pencerah untuk memutus ketidakadilan gender melalui pendidikan anak.
Buku ini, bisa kita sebut sebagai kitab pengasuhan anak yang ramah gender. Tulisan di dalamnya memuat pengalaman penulis ketika masih anak-anak dan perenungannya tentang cara mendidik anak. Buku ditulis oleh feminis Afrika bernama Chimamanda Ngozi Adichie yang selama hidupnya, menjumpai pembagian gender yang diskriminatif antara laki-laki dan perempuan.
Buku sangat memikat karena menyuguhkan topik yang lekat dengan kehidupan: mendidik anak. Kita sulit mengharapkan bougenville berbunga lebat jika akarnya bermasalah. Tapi, kita bisa banyak berharap ketika berani memotong batang dan menanamnya ulang. Begitulah feminisme dan pendidikan.
Memperjuangkan Keadilan Gender
Dalam memperjuangkan keadilan gender, mungkin kita sering mendapati kekecewaan lewat jalur kebudayaan atau kebijakan. Tetapi, kita bisa lebih percaya diri dengan memulainya lewat pendidikan. Anak, adalah bagian masyarakat yang kelak ikut serta dalam pembentukan dan pelaksanaan budaya. Memberikan pendidikan yang tepat bagi anak, sama saja memutus potensi tumbuhnya budaya patriarki.
Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi (1986) menguraikan besarnya pengaruh pendidikan anak dalam pembentukan diri : “Pembentukan watak dan jiwa individu banyak terpengaruhi oleh pengalamannya ketika sebagai anak-anak.”
Dari setiap individu inilah, kelak akan terlahir masyarakat baru. Akan seperti apa masyarakat di masa depan, adalah cerminan dari pendidikan yang diterapkan saat ini. Adichie, dalam bukunya menguraikan 15 point yang perlu dipertimbangkan dalam mengasuh anak. Saya akan meringkasnya menjadi beberapa point:
Pertama, seorang perempuan ada baiknya melakukan apa yang diinginkan untuk diri sendiri tidak harus selalu mengikuti pendapat orang lain
Ada gagasan yang berkembang dalam masyarakat: Perempuan mampu melakukan semuanya. Ini terdengar seperti sanjungan, tetapi ternyata memuat beban ganda yang berdasar pada asumsi pengasuhan dan pekerjaan rumah adalah domain khusus perempuan.
Sebelum menjadi seorang Ibu, ada baiknya mempertimbangkan posisi yang siap dan mampu kita lakukan. Pengasuhan anak adalah ranah bagi kedua orang tua. Ini berarti pelibatan yang utuh antara sosok ayah dan ibu tidak hanya pada pihak Ibu.
Kedua, kita mesti mengedukasi anak untuk memahami bahwa gagasan tentang “peran gender” adalah omong kosong belaka
Pembagian peran dalam hidup, sebisa mungkin tidak kita katakan pada anak dengan dasar karena ia “perempuan” atau “laki-laki” tetapi berdasar atas kebutuhan dan kemampuan.
Ketiga, ajari anak kebiasaan membaca dan menelisik bahasa
Buku akan membantunya memahami dan mempertanyakan dunia, membantunya mengekspresikan diri dan membantunya dalam hal apapun yang ia inginkan. Buku akan menjadikannya kritis terhadap bahasa.
Keempat, mengenalkan anak keragaman
Perbedaan adalah keniscayaan dalam hidup. Anak sangat perlu mengetahui beragam nilai dan realitas agar di matanya perbedaan menjadi normal. Dengan menyuguhkan narasi perbedaan, kita melengkapi diri anak untuk bertahan hidup di dunia yang beragam ini dengan tidak menguniversalkan standar atau pengalamannya sendiri.
Keempat point di atas memang tidak mungkin mencakup keselruuhan isi buku, tetapi bisa menjadi gambaran secara umum untuk mengetahuai gagasan yang ingin Adichie sampaikan oal pentingnya alat feminis dalam mendidik anak.
Pentingnya Pendidikan bagi Perempuan
Adichi tidak berusahaa melebih-lebihkan pendidikan bagi perempuan ketimbang laki-laki tetapi memberikan porsi yang adil seperti yang Kartini maksudkan dalam suratnya Habis Gelap Terbitlah Terang (1992) yang ditulis tahun 1900: “… oleh karena aku hendak menjadikan annakku jadi perempuan kaum baru, tiada aku akan meyuruh belajar bila tiada kehendaknya, maupun tiada kecakapannya akan belajar, tetapi mengurangi haknya akan melebihi abangnya, sekali-kali tidak! Lagipula hendaklah aku menghapuskan pembatas antara laki-laki dan perempuan yang diadakan orang dengan amat telitinya, sehingga menggelikan.”
Bagian paling menarik dalam buku ini, menurut saya adalah bahasa yang Adichi gunakan sangat mudah untuk kita pahami. Gagasan Adichi sangat praktis tidak teoritik, memudahkan kita untuk mengadopsinya. Kisah yang tersuguhkan sangat universal, kita merasa dekat dengan masalah yang ia tampilkan meskipun berbeda negara.
Siapapun bisa membaca buku ini dengan senang dan santai tanpa takut mengerutkan dahi. Kita bisa membacanya sambil duduk di angkringan, duduk di dalam angkot bahkan sambil menidurkan anak.
Sepanjang membaca buku ini, saya membayangkan akan menemukan bacaan tentang pengasuhan anak spesifik pada ranah agama. Kenapa hal ini perlu? Adichi banyak menuliskan gagasannya berdasar pada adat istiadat, dugaan saya, karena nilai yang dominan di Afrika, tempat ia tinggal adalah Adat. Baik-buruk, benar-salah termiliki Adat.
Agama sebagai Pembentuk Nilai
Di Indonesia, pembentuk nilai paling dominan adalah agama. Baik-buruk, benar-salah termiliki oleh agama. Konsep pendidikan anak yang ramah gender berdasar atas agama untuk anak-anak belum banyak saya temukan.
Ketika masih anak-anak, saya dan mungkin terasa oleh banyak orang, mengenal nama malaikat adalah laki-laki, padahal malaikat dikatakan tidak bejenis kelamin. Lalu, nama nabi-nabi yang wajib diketah laki-laki, tetapi tidak menutup kemungkinan ada perempuan di dalamnya.
Karena dalam sebuah Hadis yang riwayat HR. Ahamad Rasulullah Saw menyebutkan jumlah nabi sebanyak 124.000. Lalu, kita juga mengenal 10 Nama sahabat Nabi Muhammad Saw yang terjamin masuk surga, semuanya adalah laki-laki. Belum lagi ayat-ayat yang ditafsirkan bias dan terlihat melebihkan laki-laki ketimbang perempuan.
Meski terlihat sederhana, tetapi gagasan tersebut secara tidak langsung dapat menstimulus pikiran anak untuk mengiyakan dan mengamini superioritas laki-laki atas perempuan. Peran-peran sentral dalam agama banyak termiliki oleh laki-laki.
Barangkali, buku Adichi bisa memberikan inspirasi bagi penulis Indonesia, untuk menulis gagasan pengasuhan anak dalam kacamata Islam yang ramah gender atau menyediakan buku-buku bacaan anak yang menampilkan sosok seimbang antara laki-laki dan perempuan. []