• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Dari Inggit Garnasih Kita Belajar

Hari ini 17 Februari, kelahirannya genap 133 tahun yang lalu. Dan kita semua patut mensyukuri bahwa Inggit Garnasih pernah terlahir

Rena Asyari Rena Asyari
17/02/2021
in Featured, Figur
0
Inggit Garnasih

Inggit Garnasih

371
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – “Oh, dicandung?Ari kudu dicandung mah cadu! (Oh, dimadu?kalau mesti dimadu, pantang!)” siapapun akan terbawa emosional mendengar Inggit Garnasih mengucapkannya kepada Soekarno kala itu. Setelah bersama selama 20 tahun, sang calon proklamator dengan gegabah mengutarakan keinginannya untuk poligami.

Inggit Garnasih pantang dimadu, Ia memilih bercerai dan menjadi perempuan biasa ketimbang menjadi ibu negara namun dengan syarat mengizinkan kehadiran perempuan lain dalam rumah tangganya. Keputusan Inggit untuk bercerai merupakan sikap yang sangat berani. Inggit tak silau oleh iming-iming kejayaan suaminya yang dua tahun kemudian menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Tak banyak yang tahu kiprah Inggit Garnasih. Kebanyakan cerita yang berkembang di masyarakat, Inggit hanyalah seorang ibu kos yang jatuh cinta pada pemuda terpelajar yang masih berstatus mahasiswa, Soekarno. Cerita tersebut tak salah, hanya saja sejarah memang kerap kali luput mencatat perjuangan perempuan.

Apa jadinya Soekarno tanpa Inggit Garnasih? Soekarno tetap akan menjadi hebat, julukan singa podium tetap pantas disandangnya. Dengan Inggit di sampingnya, yang dengan tekun mendukung, merawat dan menyayanginya, setidaknya pergerakan Soekarno menjadi lebih mudah. Soekarno tidak disibukkan dengan pekerjaan domestik sehingga bisa fokus pada aktivitas politiknya.

Inggit Garnasih sadar benar, bukan tanpa resiko menikahi pemuda yang usianya 13 tahun lebih muda darinya. Pemuda yang bergelora dengan pemikiran politiknya, yang butuh teman berdialog, yang juga membutuhkan sentuhan. Inggit lihai memainkan perannya sebagai sahabat, ibu dan istri Soekarno yang Ia panggil dengan sebutan kesayangan, Kusno (Engkus).

Baca Juga:

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

Tafsir Hadits Perempuan Tidak Boleh Jadi Pemimpin Negara

Inggit Garnasih sosok yang mandiri dan keras hati. Sedari muda, Inggit pandai berbisnis. Berjualan kain dan membuat obat-obatan kecantikan tradisional (bedak). Dari hasil dari berjualannya inilah Inggit mengongkosi Soekarno dan aktivitas politiknya. Menjadi istri Soekarno berarti Inggit telah siap dengan segala akibatnya.

Bukan sekali dua Inggit Garnasih harus berurusan dengan aparat, dan Inggit tak pernah gentar. Dari rumahnya yang berkali-kali digeledah, Soekarno yang harus keluar masuk penjara, hingga di buang ke Ende-Flores dan Bengkulu, Inggit tetap di sana, ada, menemani dan mendukung sepenuh hati perjuangan Soekarno.

Tak heran mengapa Soekarno terpikat pada Inggit. Selain fisiknya yang memang amat cantik, Inggit adalah perempuan yang cerdas. Ia perempuan yang jago bersiasat. Suatu ketika tahun 1933, Inggit disuruh menghadap pejabat kejaksaan kolonial Belanda di Bandung, Inggit membangkang. Inggit datang terlambat dengan alasan sibuk melakukan pekerjaan rumah karena suaminya sedang dipenjara di Sukamiskin.

Pembesar kolonial pun sampai malu dan meminta maaf kepada Inggit karena dengan ketus Inggit mengatakan jika kehadirannya sangat penting dan dibutuhkan seharusnya Ia dijemput memakai mobil bukan disuruh datang dengan sendirinya.

Di waktu yang lain ketika Soekarno disekap di Banceuy dan membutuhkan buku hukum Mr. Sartono untuk bahan referensinya membuat pidato pembelaannya yang kemudian kita kenal dengan “Indonesia Menggugat”, Inggit rela berpuasa dua hari. Perutnya menjadi kempis dan Ia bisa menyelundupkan buku di balik kebayanya. Pun ketika Soekarno meminta uang ke Inggit sebanyak 600 gulden agar Soekarno mendapat kelonggaran dari penjaga, dengan cemerlang Inggit membuat kue nagasari, uang 600 gulden itu ia sisipkan di dalamnya.

Kesiapsiagaan Inggit dalam menemani Soekarno tak dapat diragukan lagi. Ia teruji menghadapi kesusahan sebagai perempuan sekaligus istri aktivis politik. Sebenarnya tak ada masa depan cerah yang ditawarkan Soekarno kecuali hidup yang terus dibayangi masalah. Harapan untuk Indonesia merdeka tentu ada, tetapi jalan menuju kesana seperti melewati lorong gelap yang tak nampak ujungnya, dan Inggit tetap menyanggupinya.

Inggit tak pernah mengucap kata menyerah. Baginya menemani perjuangan suaminya untuk mencapai kemerdekaan Indonesia adalah final, tak bisa ditawar. Ia hanya menyerah sekali, ketika Soekarno memilih menghadirkan perempuan lain. Di mata banyak orang Inggit mungkin dianggap kalah, namun sebaliknya bagi Inggit, Ia telah benar-benar memenangkan pertarungan.

Bukan Inggit tak mau berbagi, tetapi Inggit paham benar, dalam banyak kasus pembagian tak pernah adil. Karena rasa tidak serupa barang yang bisa dengan mudah dibagi presisi, sama besar. Inggit sang penganut monogami yang saat itu berusia 53 tahun memilih pulang, ke Bandung, ke tempat pertama kali ia menitipkan cinta dan dirinya untuk dijaga penuh oleh pemuda intelek yang datang ke kosannya dengan penuh gairah itu.

Dan Inggit tetaplah Inggit, ia adalah sosok yang hangat dan lembut. Memilih menjauh dari hiruk pikuk ibukota. Menyepi dari ingar-bingar berita kemenangan kekasihnya dan orang-orang yang ia kenal sangat dekat, Hatta ketika Indonesia mencapai kemerdekaan.

Dalam menjalani hari-harinya Inggit Garnasih mendekap perasaannya dengan amat rapat. Tak pernah ada catatan kekecewaan Inggit pada Soekarno. Catatan terakhirnya untuk Soekarno terekam ketika Soekarno meninggal, sambil berlinang air mata Inggit berucap “Kus, ning Engkus teh miheulaan, ku Enggit di doakeun….(Kus, ternyata Kus duluan, sama Enggit didoakan..)”.

Hari ini 17 Februari, kelahirannya genap 133 tahun yang lalu. Dan kita semua patut mensyukuri bahwa Inggit pernah terlahir. []

 

 

Tags: Inggit GarnasihKemerdekaan IndonesiaperempuanSoekarnoTokoh Inspiratif
Rena Asyari

Rena Asyari

Dosen. Pengelola www.seratpena.com. Podcast dan youtube Seratpena.

Terkait Posts

Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Nyai Ratu Junti

Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

17 Mei 2025
Nyi HIndun

Mengenal Nyi Hindun, Potret Ketangguhan Perempuan Pesantren di Cirebon

16 Mei 2025
Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi

Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro

9 Mei 2025
Rasuna Said

Meneladani Rasuna Said di Tengah Krisis Makna Pendidikan

5 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version