Mubadalah.id – Jumat minggu lalu, saya akhirnya bisa mengikuti lingkar ngaji KGI yang diasuh Nyai Nur Rofiah. Mengikuti ‘pengajian’ ini seperti refreshing dan memperkaya pengetahuan. Saya sempat tercenung dan terharu, ketika dalam doa yang dipimpinnya, Nyai Nur Rofiah mendoakan teman-teman yang sedang memperjungkan keadilan jender, yang sedang mendampingi korban, dan korban kekerasan agar diberikan kekuatan, keselamatan dan kesabaran.
Ini mengingatkan saya pada Emak, yang sempat memprotes Ajengan di Tasik, karena yang didoakan hanyalah para pedagang yang merantau dan yang sedang menimba ilmu, yang kebanyakan laki-laki. Sementara para petani di kampung yang mengolah tanah dan menyediakan makanan sehari-hari tidak pernah disebut dalam doa-doa Ajengan, sebagai janda dan petani, Emak berkeberatan karena merasa dibedakan. Maka doa itu menghangatkan hati dan menjadi penguat bahwa korban dan pendamping didoakan dan tidak sendirian dalam memperjuangkan keadilan yang kadang menyesakkan dada.
Pengajian kali ini menghadirkan Nur Hasyim atau biasa dipanggil Mas Boim untuk menyampaikan paparan dengan tema laki-laki baru. “Saya hanya ingin ia tidak lagi melakukan KDRT”,demikian Mas Boim menyampaikan keinginan perempuan korban saat awal mengantarkan diskusi. Mas Boim memberikan narasi bagaimana korban KDRT berharap penyelesaiaan kekerasan yang dialaminya, yaitu rumah tangga utuh dan tidak ada lagi kekerasan yang menimpa mereka. Padahal selama ini pilihan yang tersedia adalah antara bercerai, memenjarakan suami atau bertahan dalam siklus kekerasan.
Apa yang disampaikan diatas, mengingatkan saya pada mata dan wajah-wajah korban KDRT yang menjadi guru kehidupan bagi saya. Betul, begitulah suara mereka. Isteri menginginkan kekerasan terhenti. Atas dasar harapan ini, kemudian Rifka Annisa WCC -tempat Mas Boim mengabdi sebelumnya- mengekplorasi pilihan ini, salah satu caranya adalah dengan mengintervensi laki-laki agar tidak melakukan kekerasan. Bagaimana caranya? Maka lahirlah apa yang disebut dengan gerakan “laki-laki baru”.
Siapa Laki-Laki Baru?
Hipotesa untuk menghentikan kekerasan, khususnya dalam hubungan relasional, adalah “pemberdayaan (korban) penting tapi belum cukup”, dibutuhkan transformasi laki-laki di sisi lain. Bekerja dengan lelaki berarti bekerja dengan pusat kekerasan, karena pelaku kekerasan didominasi laki-laki yang memiliki power dan control lebih terhadap perempuan. Mas Boim berkali-kali menyampaikan bahwa strategi laki-laki baru ini lahir dari rahim gerakan perempuan yang menunjukkan kesadaran bahwa transformasi nilai-nilai keadilan jender harus dilakukan baik oleh perempuan maupun laki-laki.
Pemilihan nama “baru”, bukan persoalan kapan dilahirkan, tapi berhubungan dengan nilai, sikap dan perilaku laki-laki yang berhubungan dengan kesetaraan, keadilan, penghormatan kepada keberagaman, anti diskriminasi dan anti kekerasan. Ini juga bukan berarti sebelumnya tidak ada laki-laki yang memperjuangkan keadilan jender atau menjadi mitra bagi perempuan.
Seperti suami yang melakukan tugas-tugas domestik, mengasuh anak atau memberikan ruang kepada perempuan untuk menjadi dirinya. Stereotipe “suami takut isteri” dilekatkan kepada lelaki yang saling bahu membahu dengan perempuan. Maka gerakan lelaki baru justru memberikan nilai-nilai yang selama ini dianggap buruk atau tidak laki-laki.
Dalam struktur masyarakat patriarkis, di puncak piramida kekuasaan laki-laki haruslah memenuhi ekspektasi gender masyarakat, seperti maskulin, menikah, hetero, berpenghasilan cukup, memimpin, ganteng seperti yang dicitrakan dalam sinetron. Tetapi dalam piramida itu ada juga lelaki-lelaki yang tidak memenuhi ekspektasi gender masyarakat.
Ekspektasi lelaki ideal tidak realistis dan laki-laki tidak selalu bahagia dengan ekpektasi yang dilekatkan. Melalui sharing pribadinya, Mas Boim menunjukkan bahwa nilai patriarkis juga merugikan laki-laki. Maka kemudian konsep maskulinitas menantang untuk ditafsir ulang, dengan demikian lelaki baru juga berarti memberikan kebebasan kepada laki-laki untuk menjadi dirinya sendiri.
Bagaimana Menjadi Laki-Laki Baru?
Untuk menjadi lelaki baru, maka laki-laki haruslah mengenali privelege kekuasaan mereka. Ini tahapan awal untuk menyadarkan laki-laki bahwa mereka memiliki kenyamaanan kekuasaan. Seperti kenyamanan biologis, tidak seperti perempuan yang mengalami mens, hamil, melahirkan, menyusui dan hubungan seksual yang tidak selalu menyenangkan.
Juga kenyamanan sosial yang selalu didahulukan, dilayani dan kekuasaan yang secara otomatis diberikan masyarakat seperti secara sosial adalah kepala keluarga. Kenyamanan-kenyamanan ini berdampak laki-laki lebih dominan, sementara perempuan tersubordinasikan. Laki-laki menguasai ruang-ruang ekonomi, sosial dan politik. Maka laki-laki baru harus berhenti memonopoli ruang ekonomi sosial dan politik karena perempuan memiliki hak itu.
Privelege laki-laki ini diperkuat dengan lensa keadilan hakiki oleh Nyai Nur Rofiah bahwa perempuan memiliki pengalaman biologis (mens,hamil,melahirkan dan menyusui) yang berat dan beresiko terhadap keselamatan dan kesehatan perempuan sendiri. Juga pengalaman sosial mengalami berbagai bentuk ketidakadilan gender seperti subordinasi, marginalisasi, kekerasan, streotipe dan beban kerja berlebih. Nah, bagaimana caranya melalui Agama Islam pengalaman biologis tidak meresikokan dan menambah beban perempuan dan pengalaman sosial diminimalisir dan dihapuskan.
Apa yang disampaikan secara sistematis diuraikan dalam buku Mas Boim berjudul Good Boys Doing Feminism: Maskulinitas dan Masa Depan Laki-Laki Baru, yang disebut dengan “Rute Laki Laki Feminis”, yang terdiri dari mencapai empat tahapan yaitu:
- Membuka selubung privelese dan kuasa laki laki. Pemberhentian ini penting sebagai titik pemahaman dan kesadaran atas penderitaan korban. Lelaki menikmati perlakuan istimewa dari sistem sosial patriarkis, hingga pengalaman yang berbeda yang berdampak pada ketidaksetaraan dan ketidakadilan pada perempuan.
- Mentransformasikan konsep maskulinitas patriakis. Sebagaimana kita tahu patriarki ditopang oleh dua komponen yaitu maskulinitas hegemonic dan heteronormative. Struktur sosial patriarki memberikan gender ekpetasi terhadap laki-laki (maskulin, superior,dominan dll) yang belum tentu dapat dipenuhi oleh semua laki-laki. Demikianhalnya heteronormative menjadi alat untuk menjadi alat kontrol dan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dengan memahami dan mengakui dua komponen ini, laki-laki dapat berlanjut ke tahapan selanjutnya.
- Menerapkan cara baru menjadi laki laki yang mencerminkan kesetaraan dan keadilan. Setelah memahami bagaimana patriarki merugikan laki-laki, selanjutnya adalah laki-laki berpikir tentang cara lain menjadi laki-laki, yaitu menjadi lebih manusiawi dan memanusiakan orang lain. Laki-laki berlatih baik cara bersikap, maupun berprilaku yang mencerminkan penghormatan dan penghargaan kepada sesama, komunikasi yang terbuka, memupuk empati, saling berbagi dan tidak melakukan kekerasan.
- Menjadi sekutu bagi gerakan perempuan menandakan keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan menjadi komitmen politik laki laki.
Karena itu agenda gerakan laki-laki baru adalah (i) berhenti memonopoli ruang ekonomi, sosial, politik dan mau berbagi ruang dengan perempuan. Ini berarti laki-laki baru haruslah berjiwa besar untuk mempromosikan kepemimpinan perempuan; (ii) berbagi peran dan tanggungjawab domestik seperti pengasuhan dan perawatan kehidupan dalam rumah tangga; (iii) Terlibat dalam aksi-aksi perubahan struktur sosial yaitu terhadap norma yang melanggengkan peran gender yang kaku atas dasar jenis kelamin, norma sosial yang berbahaya bagi perempuan seperti kawin anak, dan sunat perempuan; serta (iii) norma maskulinitas toksik dengan menciptakan praktik baru laki-laki, menormalisasi praktik baru, dan menciptakan norma baru
Pilihan untuk menjadi laki-laki baru tentulah tidak mudah, karena bagaimanapun laki-laki mendapatkan keuntungan patriarki, baik yang bersifat material maupun non material yaitu privelege dan kekuasaan. Juga adanya ketidakpercayaan dari gerakan perempuan apakah laki-laki bisa berubah dan mau mendukung upaya membangun keadilan gender. Maka, dialog konstruktif harus terus dilakukan dan laki-laki dan perempuan (yang sudah sadar) harus kerja bersama untuk melakukan transformasi keadilan gender. []