Mubadalah.id – Dalam pencegahan perkawinan anak di Indonesia, aspek hukum tampaknya menjadi titik paling lemah. Pada praktiknya isbat nikah (menikah kembali di depan pejabat negara) atau dispensasi nikah merupakan peluang perkawinan anak yang semula ilegal menjadi legal.
Lebih dari itu, keduanya merupakan bentuk pengakuan diam-diam atas praktik hukum non negara yang seharusnya secara tegas dinyatakan ilegal dan bersanksi hukum bagi pelanggarnya.
Secara historis, eksistensi hukum non negara, seperti hukum adat dan agama. Tak lepas dari fakta kekayaan hukum yang hidup di Indonesia sejak sebelum kolonialis membawa konsep hukum sebagai konsekuensi dari negara modern.
Para penasihat negara jajahan seperti Snouck Hurgronje. Terlebih ahli hukum Islam, Van den Berg, memberi jaminan bahwa penerapan hukum adat dan agama oleh warga jajahan tak akan memicu pemberontakan.
Sebaliknya pemerintah penjajah dapat memperoleh empati dan memanfaatkannya sebagai bentuk tindakan etis kepada warga jajahan.
Oleh karena itu, kemudian muncul istilah pluralisme hukum, sebuah bentuk pengakuan kepada praktik hukum adat dan hukum agama. Terutama untuk isu keluarga, termasuk perkawinan, warisan, dan wakaf.
Dominasi dan Tirani Hukum
Di era Orde Baru, upaya untuk tetap memberlakukan hukum adat dan agama sebagai sumber hukum yang setara dengan hukum negara terus kita advokasikan.
Terutama dalam kaitannya untuk perlindungan kepada kelompok adat yang mempertahankan hukum adat mereka untuk melindungi hak ulayat/komunal atas tanah adat.
Para aktivis memperjuangkan keberlakuan pluralisme hukum untuk menghindari kesewenang-wenangan. Bahkan mendominasi hukum yang ia manfaatkan untuk pencaplokan tanah adat atas nama konsesi.
Nuansa politik yang mendasarinya jelas berbeda. Jika pada masa kolonial pluralisme hukum diberlakukan dalam rangka penjinakan kepada warga bumiputra.
Dalam era Orde Baru keragaman hukum merupakan bentuk berlindungan kepada suku dan kelompok adat. Hal ini sangat rentan terhadap Okupasi negara atas nama pembangunan ekonomi. []