• Login
  • Register
Sabtu, 19 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Dilema Kepemimpinan Perempuan di Tengah Budaya Patriarki, Masihkah Keniscayaan?

Pembahasan tentang kepemimpinan perempuan di ranah publik dan domestik masih menjadi isu hangat untuk kita bicarakan.

Nuraini Chaniago Nuraini Chaniago
19/07/2025
in Personal
0
Kepemimpinan Perempuan

Kepemimpinan Perempuan

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, saya bersama teman-teman satu organisasi mengadakan seminar dengan tema “Perempuan Memimpin, Kenapa Tidak?” Lalu, ada seorang laki-laki di antara yang hadir begitu lantang menolak bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin lengkap dengan dalil-dalilnya sekaligus.

Katanya, perempuan itu lemah, segala sesuatu biasa memakai perasaan, tidak bisa mengambil keputusan, dan sebagainya. Kesimpulannya tidak mungkin perempuan mampu menjadi pemimpin. Bahkat secara kodrat perempuan harusnya ia pimpin bukan memimpin.

Jujur saja, saat mendengar kalimat di atas, saya langsung tertegun dan merasa. Apakah begitu tidak berharganya menjadi perempuan di negeri ini? Bahkan untuk menjadi pemimpin, ia masih harus meminta persetujuan dari laki-laki.

Peristiwa itu membuka mata saya, bahwa pembahasan tentang kepemimpinan perempuan di ranah publik dan domestik masih menjadi isu hangat untuk dibicarakan banyak kalangan. Baik kalangan akademisi, praktisi bahkan generasi muda.

Ada yang mendukung, tetapi sebaliknya ada yang masih menolak kepemimpinan perempuan dengan berbagai alasan. Walaupun, secara teoritis masyarakat Indonesia sudah memberikan hak dan akses yang sama kepada laki-laki dan perempuan di ranah domestik maupun publik. Namun realitasnya kepemimpinan perempuan masih jauh panggang dari api.

Baca Juga:

Mengapa Perempuan Ditenggelamkan dalam Sejarah?

Mengapa Sejarah Ulama, Guru, dan Cendekiawan Perempuan Sengaja Dihapus Sejarah?

Ketika Zakat Profesi Dipotong Otomatis, Apakah Ini Sudah Adil?

Sound Horeg: Antara Fatwa Haram Ulama’ dan Hiburan Masyarakat Kelas Bawah

Setiap Laki-laki dan Perempuan adalah Pemimpin

Bila kita menganalisa dari sisi Islam, di mana mengajarkan bahwa setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan adalah pemimpin, setidaknya pemimpin bagi dirinya sendiri. Sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan, Islam juga memberikan kesempatan yang sama. Yakni kepada laki-laki dan perempuan untuk mencapai kesempurnaan yang sama tanpa diskriminasi. Termasuk menjadi pemimpin di ranah publik, seperti kepala daerah, bahkan kepala negara.

Dalam sejarah Islam, bahkan contohnya istri Rasulullah Saw yaitu Sayyidah Aisyah, juga pernah berperan sebagai pemimpin bahkan dalam peperangan.

Islam juga membahas perempuan ataupun laki-laki sama-sama ditunjuk sebagai khalifah fi ardi yang menjadi wakil Nabi dalam menjaga dan merawat bumi ini. Tentu hal ini diikuti oleh konsekuensinya masing-masing, yaitu memiliki potensi serta tanggung jawab terhadap apa yang kita pimpin. Selagi memiliki kemampuan, tanggung jawab, keahlian, serta demi kemaslahatan yang ia pimpin, maka perempuan pun sama seperti lelaki-boleh saja menduduki kepemimpinan.

Sebagai muslim, saya rasa kita harus lebih menyadari dari berbagai kisah pada zaman jahiliah yang tidak memanusiakan kaum perempuan. Sebelum Islam hadir kedudukan perempuan sungguh menyedihkan, di mana kaum perempuan yang belum menikah, maka hak kekuasaannya dimiliki oleh ayah dan saudara laki-lakinya. Lalu setelah menikah maka haknya menjadi miliki suaminya.

Bahkan kelahiran anak perempuan pada masa itu adalah awal dari kematiannya dan anak perempuan mereka anggap sebagai aib, sehingga segera kubur hidup-hidup. Kalaupun mereka dibiarkan untuk tumbuh menjadi dewasa, maka kehidupannya akan terus berada dalam kehinaan tanpa kemuliaan sedikitpun. Tak hanya itu, ketika mereka dewasa, perempuan hanyalah alat untuk memenuhi nafsu para laki-laki dan biasa mendapatkan tindakan pelecehan.

Menilik Kemanusiaan Perempuan

Begitulah kondisi kemanusiaan perempuan pada masa sebelum Islam. Perempuan benar-benar tidak mendapatkan ruang aman, tidak mendapat perlakuan adil layaknya manusia. Bahkan perempuan dianggap sebagai mahkluk hina yang tidak memiliki hak atas diri sendiri, perempuan benar-benar dianggap sebagai hewan peliharaan yang bebas mendapat perlakuan sebagaimana pemiliknya,.

Sehingga kelahiran Nabi Muhammad sebagai utusan Allah menjadi titik awal terangkatnya derajat serta harkat dan martabat kaum perempuan. Mereka bukan lagi sebagai makhluk nomor dua, tapi keduanya sama di mata Allah. Perbedaannya hanya ada tingkat ketaqwaannya, sebagaimana dalam surat al-Hujurat ayat 13. “Bahwa sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling taqwa”.

Oleh karena itu, saat ini kita tidak lagi bisa menyamakan kondisi dahulu dengan sekarang perihal kiprah laki-laki dan perempuan yang sudah ada pembedaannya, berdasarkan jenis kelamin.

Dunia sudah berkembang begitu pesat, begitupun dengan ilmu pengetahuan, sama-sama sudah berkembang. Terutama dalam hal pendidikan. Akses pendidikan tak lagi hanya untuk laki-laki semata, tetapi juga untuk perempuan. Mereka sama-sama memiliki hak untuk berpendidikan kemanapun ia mampu, asalkan ia sadar dan bertanggung jawab dengan pilihannya tersebut.

Melawan Stigma terhadap Perempuan

Dengan lebih majunya pendidikan dan ilmu pengetahuan, stigma perempuan yang lemah dan tak mampu menjadi pemimpin, selalu dengan perasaan, baperan, plin-plan dan lain-lain tidak bisa kita wajarkan lagi.

Sudah banyak perempuan yang memiliki kepintaran, skil untuk memimpin, kebijaksanaan dalam bertindak, serta tegas dan menimbulkan kebermanfaatan bagi yang dipimpinnya.

Di penghujung tulisan ini, saya ingin menegaskan lagi, bahwa kodrat perempuan perihal sumur, kasur dan dapur atau hanya dipimpin oleh laki-laki, seharusnya tak ada lagi.

Karena agama Islam lahir sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan terhadap perempuan. Bahkan Islam melarang menjadikan perempuan sebagai milik suaminya yang ketika suaminya meninggal bisa terwariskan kepada saudara laki-lakinya.

Dengan demikian, maka sudah semestinya kita memahami ajaran Islam secara kaffah. Tidak hanya secara teks tetapi juga secara konteks. Tujuannya agar kita tidak terjebak dalam penafsiran-penafsiran ajaran agama yang tidak melahirkan kemaslahatan bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan.

Begitupun ketika kita memandang isu-isu kemanusiaan perempuan. Lihatlah ia sebagaimana manusia yang harus kita perlakukan layaknya manusia bukan sebaliknya. []

Tags: islamKemanusiaan PerempuanKepemimpinan Perempuankodratperadabansejarahstigma
Nuraini Chaniago

Nuraini Chaniago

Writer/Duta Damai Sumatera Barat

Terkait Posts

Penindasan Palestina

Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina

18 Juli 2025
Kehamilan Perempuan

Kehamilan Perempuan Bukan Kompetisi: Memeluk Setiap Perjalanan Tanpa Penghakiman

18 Juli 2025
eldest daughter syndrome

Fenomena Eldest Daughter Syndrome dalam Drakor When Life Gives You Tangerines, Mungkinkah Kamu Salah Satunya?

17 Juli 2025
Love Bombing

Love Bombing: Bentuk Nyata Ketimpangan dalam Sebuah Hubungan

16 Juli 2025
Disiplin

Ketika Disiplin Menyelamatkan Impian

15 Juli 2025
Inklusivitas

Inklusivitas yang Terbatas: Ketika Pikiran Ingin Membantu Tetapi Tubuh Membeku

15 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Cita-cita Tinggi

    Yuk Dukung Anak Miliki Cita-cita Tinggi!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Membentuk Karakter Anak Sejak Dini: IQ, EQ, dan SQ

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dilema Kepemimpinan Perempuan di Tengah Budaya Patriarki, Masihkah Keniscayaan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Biarkan Fondasi Mental Anak Jadi Rapuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • COC: Panggung yang Mengafirmasi Kecerdasan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Yamal, Mari Sadar!
  • Meneladani Nabi Muhammad Saw dalam Mendidik Anak Perempuan
  • Dilema Kepemimpinan Perempuan di Tengah Budaya Patriarki, Masihkah Keniscayaan?
  • Jangan Biarkan Fondasi Mental Anak Jadi Rapuh
  • Tantangan Menghadapi Diskriminasi Terhadap Penganut Penghayat Kepercayaan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID