Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, saya bersama teman-teman satu organisasi mengadakan seminar dengan tema “Perempuan Memimpin, Kenapa Tidak?” Lalu, ada seorang laki-laki di antara yang hadir begitu lantang menolak bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin lengkap dengan dalil-dalilnya sekaligus.
Katanya, perempuan itu lemah, segala sesuatu biasa memakai perasaan, tidak bisa mengambil keputusan, dan sebagainya. Kesimpulannya tidak mungkin perempuan mampu menjadi pemimpin. Bahkat secara kodrat perempuan harusnya ia pimpin bukan memimpin.
Jujur saja, saat mendengar kalimat di atas, saya langsung tertegun dan merasa. Apakah begitu tidak berharganya menjadi perempuan di negeri ini? Bahkan untuk menjadi pemimpin, ia masih harus meminta persetujuan dari laki-laki.
Peristiwa itu membuka mata saya, bahwa pembahasan tentang kepemimpinan perempuan di ranah publik dan domestik masih menjadi isu hangat untuk dibicarakan banyak kalangan. Baik kalangan akademisi, praktisi bahkan generasi muda.
Ada yang mendukung, tetapi sebaliknya ada yang masih menolak kepemimpinan perempuan dengan berbagai alasan. Walaupun, secara teoritis masyarakat Indonesia sudah memberikan hak dan akses yang sama kepada laki-laki dan perempuan di ranah domestik maupun publik. Namun realitasnya kepemimpinan perempuan masih jauh panggang dari api.
Setiap Laki-laki dan Perempuan adalah Pemimpin
Bila kita menganalisa dari sisi Islam, di mana mengajarkan bahwa setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan adalah pemimpin, setidaknya pemimpin bagi dirinya sendiri. Sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan, Islam juga memberikan kesempatan yang sama. Yakni kepada laki-laki dan perempuan untuk mencapai kesempurnaan yang sama tanpa diskriminasi. Termasuk menjadi pemimpin di ranah publik, seperti kepala daerah, bahkan kepala negara.
Dalam sejarah Islam, bahkan contohnya istri Rasulullah Saw yaitu Sayyidah Aisyah, juga pernah berperan sebagai pemimpin bahkan dalam peperangan.
Islam juga membahas perempuan ataupun laki-laki sama-sama ditunjuk sebagai khalifah fi ardi yang menjadi wakil Nabi dalam menjaga dan merawat bumi ini. Tentu hal ini diikuti oleh konsekuensinya masing-masing, yaitu memiliki potensi serta tanggung jawab terhadap apa yang kita pimpin. Selagi memiliki kemampuan, tanggung jawab, keahlian, serta demi kemaslahatan yang ia pimpin, maka perempuan pun sama seperti lelaki-boleh saja menduduki kepemimpinan.
Sebagai muslim, saya rasa kita harus lebih menyadari dari berbagai kisah pada zaman jahiliah yang tidak memanusiakan kaum perempuan. Sebelum Islam hadir kedudukan perempuan sungguh menyedihkan, di mana kaum perempuan yang belum menikah, maka hak kekuasaannya dimiliki oleh ayah dan saudara laki-lakinya. Lalu setelah menikah maka haknya menjadi miliki suaminya.
Bahkan kelahiran anak perempuan pada masa itu adalah awal dari kematiannya dan anak perempuan mereka anggap sebagai aib, sehingga segera kubur hidup-hidup. Kalaupun mereka dibiarkan untuk tumbuh menjadi dewasa, maka kehidupannya akan terus berada dalam kehinaan tanpa kemuliaan sedikitpun. Tak hanya itu, ketika mereka dewasa, perempuan hanyalah alat untuk memenuhi nafsu para laki-laki dan biasa mendapatkan tindakan pelecehan.
Menilik Kemanusiaan Perempuan
Begitulah kondisi kemanusiaan perempuan pada masa sebelum Islam. Perempuan benar-benar tidak mendapatkan ruang aman, tidak mendapat perlakuan adil layaknya manusia. Bahkan perempuan dianggap sebagai mahkluk hina yang tidak memiliki hak atas diri sendiri, perempuan benar-benar dianggap sebagai hewan peliharaan yang bebas mendapat perlakuan sebagaimana pemiliknya,.
Sehingga kelahiran Nabi Muhammad sebagai utusan Allah menjadi titik awal terangkatnya derajat serta harkat dan martabat kaum perempuan. Mereka bukan lagi sebagai makhluk nomor dua, tapi keduanya sama di mata Allah. Perbedaannya hanya ada tingkat ketaqwaannya, sebagaimana dalam surat al-Hujurat ayat 13. “Bahwa sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling taqwa”.
Oleh karena itu, saat ini kita tidak lagi bisa menyamakan kondisi dahulu dengan sekarang perihal kiprah laki-laki dan perempuan yang sudah ada pembedaannya, berdasarkan jenis kelamin.
Dunia sudah berkembang begitu pesat, begitupun dengan ilmu pengetahuan, sama-sama sudah berkembang. Terutama dalam hal pendidikan. Akses pendidikan tak lagi hanya untuk laki-laki semata, tetapi juga untuk perempuan. Mereka sama-sama memiliki hak untuk berpendidikan kemanapun ia mampu, asalkan ia sadar dan bertanggung jawab dengan pilihannya tersebut.
Melawan Stigma terhadap Perempuan
Dengan lebih majunya pendidikan dan ilmu pengetahuan, stigma perempuan yang lemah dan tak mampu menjadi pemimpin, selalu dengan perasaan, baperan, plin-plan dan lain-lain tidak bisa kita wajarkan lagi.
Sudah banyak perempuan yang memiliki kepintaran, skil untuk memimpin, kebijaksanaan dalam bertindak, serta tegas dan menimbulkan kebermanfaatan bagi yang dipimpinnya.
Di penghujung tulisan ini, saya ingin menegaskan lagi, bahwa kodrat perempuan perihal sumur, kasur dan dapur atau hanya dipimpin oleh laki-laki, seharusnya tak ada lagi.
Karena agama Islam lahir sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan terhadap perempuan. Bahkan Islam melarang menjadikan perempuan sebagai milik suaminya yang ketika suaminya meninggal bisa terwariskan kepada saudara laki-lakinya.
Dengan demikian, maka sudah semestinya kita memahami ajaran Islam secara kaffah. Tidak hanya secara teks tetapi juga secara konteks. Tujuannya agar kita tidak terjebak dalam penafsiran-penafsiran ajaran agama yang tidak melahirkan kemaslahatan bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
Begitupun ketika kita memandang isu-isu kemanusiaan perempuan. Lihatlah ia sebagaimana manusia yang harus kita perlakukan layaknya manusia bukan sebaliknya. []