• Login
  • Register
Rabu, 4 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Dimensi Gender dalam Tragedi Mei 1998: Refleksi Napak Reformasi

Sejarah tragedi Mei 1998 adalah pembelajaran yang masih relevan untuk digunakan hingga masa kini. Pancasila sebagai dasar negara hendaknya dipahami sebagai identitas bersama oleh negara dan seisinya

Andi Nur Faizah Andi Nur Faizah
10/05/2021
in Featured, Publik
0
Gender

Gender

263
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Tak kau pedulikan pasukan menghadang. Kau tetap berani berjuang. Membela rakyat papa. Namun… Dor! Dor! Dor! Dor! Selamat jalan bunga bangsa
Tiap tetes darah menitik. Tak kan sia-sia.”
(Fajri M.M)

Mubadalah.id – Puisi di atas adalah karya seorang murid kelas 5 SD yang diabadikan di dalam Museum Tragedi 12 Mei Trisakti. Setidaknya, melalui puisi tersebut kita dapat merasakan tragedi  Mei 1998 yang penuh dengan deru peluru, darah, dan amarah.

Hafidin Royan, Hendirawan Sie, Elang Mulia Lesmana, dan Heri Hartanto adalah nama-nama yang tidak akan terlupakan sebagai bunga bangsa. Gugurnya mahasiswa Trisakti tersebut, sontak berlanjut dengan kerusuhan sistematis pada tanggal 13-15 Mei 1998 dan menjadikan etnis Tionghoa sebagai sasaran yang harus dihabisi.

Kunjungan ke Museum Tragedi 12 Mei Trisakti membuat saya terdiam sejenak. Saya mencoba merefleksikan pelajaran sejarah yang selama ini dipelajari mulai dari bangku SD hingga SMA. Hal yang ada adalah film dokumenter tentang kejahatan PKI, serta perempuan-perempuan Gerwani yang jahat dan memberontak.

Tidak hanya itu, saya harus belajar menghafal tanggal, nama, dan tahun penting tanpa mengerti maksudnya. Bagi saya dan teman-teman di sekolah dulu, pelajaran sejarah menjadi hal yang membosankan dan tidak menarik. Adapun tragedi Mei 1998 tidak dijelaskan sedikitpun. Tidak ada satupun buku sekolah yang menjelaskan tentang kerusuhan Mei 1998.

Rasa kecewa, marah, sekaligus malu bergejolak dalam dada, karena menyadari bahwa saya benar-benar buta dalam mengetahui sejarah negeri sendiri. Sebagai generasi muda yang pelajaran sejarahnya banyak dibungkam dan direkayasa, membuat saya mengerti satu hal. Bahwasanya generasi muda begitu mudah menjadi “boneka politik” dan sangat mudah digiring opininya oleh pihak tertentu yang memiliki kepentingan, karena buramnya memahami realitas kesejarahan yang sesungguhnya.

Baca Juga:

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

Fenomena Inses di Indonesia: Di Mana Lagi Ruang Aman bagi Anak?

Menilik Peran KUPI Muda dalam Momen Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

#JusticeForArgo: Melawan Privilese Dalam Menegakkan Keadilan Korban

Dalam tulisan ini, saya ingin mengaitkan napak reformasi dengan aspek gender dan politik untuk memahami lebih jauh mengenai dimensi gender pada kerusuhan Mei 1998. Berbicara mengenai politik, kita seringkali menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang jauh dari diri. Politik kerap dipandang sebagai politik formal yang hanya membahas mengenai pemilu, partai, eskekutif, legislatif, dan yudikatif  (Subono 10).

Adapun politik dianggap sebagai sesuatu yang maskulin dan kejam. Politik maskulin ini bersifat otoritatif, memaksakan kehendak, dan tidak memedulikan perempuan dan anak (Subono 11). Artinya, politik dilekatkan pada dunia laki-laki yang maskulin, kuat, dan otoriter.

Pemahaman politik yang jauh dari diri dan maskulin sesungguhnya telah dibantah bertahun-tahun silam oleh Millett dengan ungkapannya mengenai personal is political. Ungkapan tersebut mengarahkan kita untuk berpikir lebih luas serta menjadikan politik sebagai sesuatu yang dekat dan dilakukan sehari-hari.

Lebih lanjut, Millett merujuk politik sebagai hubungan relasi kuasa dan bentuk kontrol individu atau kelompok kepada orang lain (Randall 9). Sebagai seorang feminis radikal, pandangan Millett tersebut tentu saja telah memberikan ruang terhadap pemaknaan politik tubuh perempuan.

Penjelasan mengenai politik yang maskulin dipaparkan oleh Randall dalam tulisannya berjudul Women and Politics. Ia mengungkapkan, dunia politik sarat akan ideologi patriarkal akibat dominasi laki-laki yang memegang posisi tinggi di berbagai sektor (14). Lebih lanjut, kekuasaan yang dipegang oleh laki-laki tersebut digunakan melalui penggunaan kontrol sumber material hingga pengaruh psikologis (Randall 14).

Dominasi laki-laki yang dipaparkan oleh Randall mengacu pada kuasa atau power over laki-laki terhadap perempuan (16). Melalui penjelasan Randall mengenai power over laki-laki di dalam politik, menandakan bahwa perempuan sangat rentan mengalami ketidakadilan gender.

Penjelasan mengenai gender dan politik tersebut dapat digunakan sebagai alat analisis untuk melihat permasalahan yang terjadi pada kasus Mei 1998. Pertama, politik dibentuk dengan wajah maskulin. Polisi dan tentara diturunkan pada saat aksi damai yang dilakukan oleh para mahasiswa.

Meskipun mahasiswi telah membagikan bunga kepada para polisi, pihak berwajib kerap menggunakan cara kekerasan. Dalam berbagai dokumentasi, terlihat bahwa polisi dan tentara membawa senjata dan memukuli mahasiswa. Tidak hanya itu, tank diturunkan ke jalan untuk menghadapi para demonstran. Cara-cara kekerasan seperti menembak dan memukul menjadi wajah tragedi 12 Mei 1998, sebagaimana puisi Fajri yang terngiang dengan suara tembakan dan tetesan darah.

Berbagai cara yang dilakukan dengan kekerasan memperlihatkan bahwa politik memiliki wajah yang maskulin. Implikasinya, perempuan yang dilekatkan dengan nilai-nilai feminin dianggap tidak patut untuk terlibat dalam dunia politik yang keras dan kotor.

Internalisasi nilai tersebut membuat politik menjadi sangat jauh dari diri perempuan itu sendiri. Kuatnya dominasi laki-laki di dalam dunia politik menjadikan perempuan terdomestikasi. Artinya, perempuan tersubordinasi dan mendapat stereotipe bahwa dunia politik bukanlah dunia perempuan.

Pemahaman Millett mengenai personal is political semestinya dapat menjadi basis untuk mendobrak dunia politik yang dianggap jauh dari keseharian. Ungkapan tersebut juga sekaligus dapat memberikan jembatan bagi perempuan untuk terus berpartisipasi dan berkontribusi dalam politik.

Kedua, kuasa laki-laki di dalam politik makin dilanggengkan melalui kekerasan terhadap perempuan Tionghoa. Kerusuhan yang diciptakan secara sistematis dengan memukul, menganiaya, memerkosa, hingga membunuh perempuan Tionghoa adalah bentuk penundukan terhadap perempuan.

Muchtar mengutip Balbo, mengungkapkan bahwa penindasan terhadap perempuan merupakan suatu cara untuk mempertahankan negara patriarkal (48). Negara patriarkal yang mengutamakan kepentingan laki-laki, melakukan penundukan melalui kontrol tubuh perempuan dan kondisi inilah yang menjadi definisi politik oleh Millett sebagai bentuk power over.

Kekejaman yang dilakukan terhadap perempuan Tionghoa adalah bentuk politik seksual yang diciptakan oleh oknum kerusuhan Mei 1998. Laki-laki tidak hanya memiliki sumber material berupa senjata tajam, tetapi juga meninggalkan pengaruh psikologis berkepanjangan terhadap perempuan Tionghoa. Kontrol terhadap perempuan inilah yang menyebabkan ketidakadilan gender.

Bentuk ketidakadilan yang harus dihadapi oleh perempuan Tionghoa adalah (1) marginalisasi yang dilakukan secara sistematis. Isu SARA yang didengungkan serta kekerasan yang dialami oleh perempuan Tionghoa otomatis memutus akses dan memiskinkan mereka terhadap berbagai sumber daya; (2) stereotipe perempuan Tionghoa akan isu pribumi dan non-pribumi dapat mengancam eksistensi mereka dan ini adalah bentuk diskriminasi kepada kelompok minoritas; (3) gender dan kekerasan terhadap perempuan Tionghoa.

Adapun kekerasan dikategorisasikan menjadi beberapa bagian, yakni pemerkosaan, pemukulan fisik, penyiksaan terhadap organ kelamin, dan pelecehan seksual (Fakih 17-20). Kekerasan tersebut dialami oleh perempuan Tionghoa dan mereka tidak mendapatkan perlindungan dari negara.

Berbagai bentuk ketidakadilan yang dipaparkan tersebut, setidaknya dapat memberikan gambaran bahwa perempuan tidak homogen dan mengalami ketidakadilan yang berbeda berdasarkan etnis, agama, dan kelas sosial.

Pada tragedi Mei 1998, perempuan Tionghoa yang berasal dari kelas bawah akan merasa lebih terancam nyawanya dibanding perempuan Tionghoa kelas atas yang mampu ke luar negeri untuk menghindari kerusuhan. Adapun perempuan Tionghoa secara keseluruhan merasa lebih terancam dibanding perempuan beragama Islam dan dianggap pribumi.

Identifikasi individu atau kelompok tertentu sebagai pribumi dan non pribumi tersebut tidak terlepas dari wacana politik identitas. Identitas dibangun melalui perbedaan, menjadikan kelompok tertentu sebagai the others, serta berfungsi sebagai titik identifikasi untuk mengecualikan orang lain (Stephen 66).

Pemahaman akan self dan others ini akan membentuk individu atau kelompok menjadi rasis dan cenderung diskriminatif terhadap orang lain di luar kelompoknya. Demikian halnya pada kekerasan yang terjadi pada perempuan Tionghoa, mereka dianggap sebagai the others sehingga patut untuk dibunuh.

Dalam hal ini, negara seolah absen memberikan perlindungan pada korban tragedi Mei 1998. Kekejaman yang dilakukan kepada etnis Tionghoa sebagai kelompok minoritas teramat jauh dari konsep negara multikultural.

Kymlicka menyebutkan, polyethnic states semestinya mampu menjamin kelangsungan hidup kelompok minoritas di tengah budaya mayoritas (10). Dalam hal ini, negara demokrasi merupakan mekanisme untuk mengakomodir perbedaan budaya serta melindungi hak politik individu (26). Artinya, tragedi Mei 1998 memperlihatkan bahwa negara gagal menjadi polyethnic states.

Sejarah tragedi Mei 1998 adalah pembelajaran yang masih relevan untuk digunakan hingga masa kini. Pancasila sebagai dasar negara hendaknya dipahami sebagai identitas bersama oleh negara dan seisinya.

Isu suku, agama, ras, dan antargolongan yang dipolititasi untuk meraih kekuasaan juga akan berimplikasi terhadap perempuan dan anak sebagai korbannya. Masyarakat sebagai warga negara yang tidak belajar dari kesejarahan akan sangat mudah tersulut dan menjadi boneka ideologi. Oleh sebab itu, memahami kesejarahan adalah aspek penting agar setiap individu mampu menjadi kritis dan tidak mudah dijadikan alat kekuasaan. []

Via: https://www.perempuanpeduli.com/dimensi-gender-dalam-tragedi-mei-1998-refleksi-napak-reformasi/
Tags: GenderIndonesiakeadilanKesetaraanPancasilaReformasisejarahTragedi Mei 1998
Andi Nur Faizah

Andi Nur Faizah

Founder perempuanpeduli.com

Terkait Posts

Trans Jogja

Trans Jogja Ramah Difabel, Insya Allah!

3 Juni 2025
Perbedaan Feminisme

Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

2 Juni 2025
Teknologi Asistif

Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

2 Juni 2025
Ketuhanan

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

1 Juni 2025
Perempuan Penguasa

Sejarah Para Perempuan Penguasa Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan

31 Mei 2025
Ruang Aman bagi Anak

Fenomena Inses di Indonesia: Di Mana Lagi Ruang Aman bagi Anak?

30 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Tubuh yang Terlupakan

    Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membaca Ulang Makna Aurat dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ali Mustafa Yaqub: Haji Pengabdi Setan dan Ujian Keimanan Kita

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tafsir Perintah Menutup Aurat dalam al-A’raf Ayat 31

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Membaca Novel Jodoh Pasti Bertemu dalam Perspektif Mubadalah
  • Ali Mustafa Yaqub: Haji Pengabdi Setan dan Ujian Keimanan Kita
  • Tafsir Perintah Menutup Aurat dalam al-A’raf Ayat 31
  • Nilai Ekonomi dan Sosial dalam Ibadah Kurban
  • Aurat Menurut Pandangan Ahli Fiqh

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID