Mubadalah.id – Dalam hitungan jari, beberapa hari ke depan Umat Muslim akan menemui Ramadan, bulan mulia yang kita sambut dengan seluruh suka cita. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, Bulan Ramadan selalu hadir dengan nuansa yang berbeda dari bulan-bulan sebelumnya. Banyak hal yang hanya kita temui di bulan ini. Misalnya ngabuburit dan berburu takjil di sore hari, salat tarawih, hingga sahur bersama.
Malam-malam di Ramadan tiba terasa begitu hidup dengan keramaian aktivitas umat muslim. Demikian pula hari-hari menjelang datangnya bulan ini, antusias dan suka cita dalam menyambut kedatangannya terwujud dalam berbagai bentuk tradisi berbeda-beda di setiap daerah. Apa saja itu?
Menyambut Bulan Ramadan, dalam istilah Bahasa Arab akrab kita sebut “Tarhib Ramadan”. Kata tarhib berasal dari Bahasa Arab ra-hi-ba, yarhabu, rahbun yang artinya luas, lapang, dan lebar. Kata tersebut lalu berubah menjadi fi’il rahhaba, yurahhibu, tarhiban yang berarti menyambut, menerima dengan penuh kelapangan, kelebaran dan keterbukaan hati.
Mengadakan acara-acara bertakjub “Tarhib Ramadan” ini biasanya di masjid-masjid perkotaan, maupun di sekolah-sekolah, dengan berbagai rangkaian acara, biasanya berupa pengajian umum, ataupun kegiatan berbagi.
Tarhib Ramadan juga dapat kita wujudkan dengan melakukan berbagai kegiatan dan amalan yang bersifat mandiri, seperti memperbanyak ibadah sunnah, dzikir, dan salat di masjid.
Pada intinya Tarhib Ramadan ini bertujuan sebagai upaya meningkatkan kualitas ibadah selama Ramadan. Sebagai negara yang kaya dengan tradisi, di Indonesia Tarhib Ramadan ramai kita rayakan di berbagai daerah dengan tradisinya masing-masing. Di mana di balik tradisi tersebut menyimpan cerita yang kaya makna.
Tradisi Berbagi Makanan: Tradisi Ruwahan/Nyadran Suku Jawa, Hingga Tradisi Nyorog Suku Betawi
Masyarakat Jawa umumnya melaksanakan Tradisi Ruwahan atau Nyadran di Bulan Sya’ban menjelang Ramadan tiba. Bulan Sya’ban dalam Bahasa Jawa kita sebut Ruwah, yakni bulan ke delapan dalam Kalender Jawa.
Umumnya, Tradisi Ruwahan mulai kita laksanakan sejak 15 Bulan Ruwah. Tradisi Ruwahan ini berupa membersihkan makam para leluhur, menabur bunga atau nyekar, juga berdoa memohonkan ampunan kepada Allah atas dosa-dosa para leluhur.
Selain itu, dalam Tradisi Ruwahan juga dilaksanakan acara slametan. Yakni membuat berbagai makanan seperti nasi ambengan, berbagai macam kue-kue tradisional. Seperti wajik, jadah, tape ketan, apem, serta berbagai macam buah-buahan seperti jeruk, jambu, dan pisang. Makanan-makanan tersebut kita doakan bersama, lalu kita bagikan baik kepada kerabat, keluarga, maupun tetangga sekitar.
Tradisi ini hampir mirip dengan Tradisi Nyorog yang Masyarakat Suku Betawi lakukan di Jakarta. Mereka saling memberikan bingkisan makanan kepada anggota keluarga yang lebih tua, maupun ke tokoh daerah setempat. Yakni dengan tujuan sebagai bentuk penghormatan, sekaligus menjalin silaturahmi guna mempererat tali persaudaraan antar sesama.
Tradisi Penyucian Diri: Tradisi Padusan di Yogyakarta, Hingga Tradisi Marpingir di Sumatera Utara
Masyarakat Yogyakarta dan Sumatera Utara, menyambut datangnya Ramadan dengan tradisi yang cukup unik. Yakni dalam bentuk penyucian diri berupa mandi. Di Yogyakarta, tradisi mandi menyucikan diri ini disebut Padusan, dari kata “adus” dalam Bahasa Jawa yang berarti mandi.
Tradisi ini maksudnya tak hanya sekadar membersihkan secara fisik (raga), namun juga membersihkan jiwa sebelum datangnya Bulan Suci Ramadan. Sehingga kita harapkan Umat Muslim bisa menjalankan ibadah dalam kondisi suci lahir dan batin.
Sedangkan di Sumatera Utara, tradisi penyucian diri ini disebut Mapangir. Yakni tradisi mandi secara tradisional menggunakan berbagai tanaman wewangian. Beberapa tanaman wewangian yang kita pakai yakni daun pandan, daun serai, bunga mawar, kenanga, jeruk purut, daun limau, akar wangi, dan bunga pinang.
Tradisi Memasak Makanan: Tradisi Malamang di Sumatera Barat, Tradisi Meugang di Aceh, Hingga Tradisi Megibung di Bali
Masyarakat Sumatera Barat, Aceh, dan Bali, menyambut Ramadan dengan tradisi memasak makanan daerah masing-masing. Di Sumatera Barat disebut Tradisi Malamang, yakni membuat makanan tradisional lemang dengan tujuan memupuk rasa kebersamaan antar Masyarakat Minangkabau. Di Aceh kita sebut Tradisi Meugang, yakni kegiatan memasak daging sapi, kambing, atau kerbau sehari sebelum Bulan Ramadan.
Olahan daging tersebut disantap bersama dengan seluruh anggota keluarga, kerabat, atau yatim piatu. Lalu, di Bali menyebutnya Tradisi Megibung, yakni kegiatan memasak dan makan bersama sambil duduk melingkar. Nasi dalam Tradisi Megibung kita letakkan di wadah yang disebut dengan gibungan. Sedangkan, lauknya kita sajikan di sebuah alas karangan. Menurut kepercayaan, Tradisi Megibung merupakan bentuk mempererat persaudaraan dan kebersamaan.
Selain berbagai tradisi yang saya sebutkan di atas, masih banyak tradisi-tradisi lain di berbagai daerah di Indonesia dalam rangka menyambut datangnya Bulan Suci Ramadan. Apapun tradisinya, pada intinya itu semua merupakan bentuk ekspresi suka cita dalam menyambut datangnya bulan yang mulia. Suka cita penyambutan ini semoga teriringi pula dengan semangat mengisi bulan Ramadan dengan berbagai amal ibadah dan kebaikan. []