• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Domestikasi Perempuan Bukan Solusi Problem Kekerasan Seksual

Dengan menelisik sejarah, bisa disimpulkan bahwa domestikasi perempuan justru bukan terbentuk secara alami atau kodrat Ilahi, tapi lebih kepada konsekuensi kehidupan masa lampau yang tak relevan untuk dipraktikkan masa kini

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
14/10/2021
in Keluarga
0
Domestikasi

Domestikasi

96
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan ‘purifikasi’ Islam di berbagai bidang, baik itu lewat simbol politik hingga konten-konten digital marak mengkampanyekan domestikasi perempuan, atau secara sederhananya mendorong para perempuan untuk kembali ke rumah, dan tak perlu berkiprah di sektor publik. Tanpa mau mencoba memahami kondisi dan faktor-faktor lain yang terkait dengan situasi personal perempuan, gerakan ini secara tidak langsung mendiskiriminasi peran dan kapasitas kaum hawa dengan dalih perlindungan. Mereka berargumen bahwa perempuan itu seluruh badan dan gerak-geriknya adalah aurat, sehingga sebaiknya perempuan di rumah saja karena dirasa lebih aman.

Lebih jauh, dengan menggunakan perspektif yang terlalu sempit, mereka cenderung melihat potensi perempuan hanya di ranah domestik semata sebagai pelayan laki-laki. Padahal apa yang mereka terus menerus kampanyekan nyatanya justru turut melanggengkan rantai kekerasan, termasuk pelecehan seksual.

Bahkan realitanya ‘merumahkan perempuan’ tak lantas dapat mengatasi isu khas ketubuhan perempuan, seperti bagaimana jika semua perempuan hanya berdiam di rumah, dan tak boleh melakukan kerja-kerja publik, relakah para laki-laki yang menjadi suami mereka membiarkan istrinya ditangani oleh dokter atau juru rawat laki-laki ketika melahirkan?

Belum lagi deretan kasus pelecehan seksual yang ternyata didalangi oleh anggota keluarga si perempuan sendiri. Tentu, masih teringat jelas dalam ingatan kita bahwa pada satu minggu terakhir, publik dihebohkan dengan kasus pelecehan seksual 3 anak di bawah umur 10 tahun, oleh ayahnya sendiri di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kasus yang sempat ditutup itu nyatanya hanyalah gambaran kecil bahwa total kasus kejahatan pada perempuan, terutama pada usia anak, dari tahun ke tahun terus meningkat.

Catatan dari Komisi Nasional Perempuan menunjukkan bahwa kasus yang mereka rekam mencapai seribuan tiap tahunnya. Tapi itu tidak bisa menjadi patokan, sebab fenomena kekerasan seksual bisa dibilang seperti gunung es. Yang miris, kesaksian ibu korban atau korban sendiri seringkali tak dipercaya oleh orang-orang di sekitarnya. Sikap Lydia (bukan nama sebenarnya) di Luwu Timur yang dianggap gila ketika melapor, bukan sekali dua kali saja ditemui ketika kasus sejenis terjadi.

Baca Juga:

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

Difabel dan Kekerasan Seksual: Luka yang Sering Tak Dianggap

Dr. Nur Rofiah Tegaskan Pentingnya Mengubah Cara Pandang untuk Hentikan Kekerasan Seksual pada Anak

Di Jawa Tengah, perempuan berinisial M menyampaikan hal yang sama ketika ia menceritakan aksi bejat sang suami pada anaknya yang masih balita. Tetangganya bahkan ada yang menuding ia mengada-ngada dan mencari simpati agar mendapat donasi. Padahal yang ia lihat itu nyata dan menyesakkan dadanya sebagai seorang ibu.

Apa yang dialami oleh Lydia dan M membuktikan bahwa rumah belum selalu aman bagi perempuan dan anak. Bahkan tingkat kejahatan bisa dilakukan oleh ayahnya sendiri, yang harusnya menjadi pengayom dan pelindung bagi anaknya. Melihat kondisi ini, propaganda domestikasi perempuan justru berbuah simalakama.

Alih-alih melindungi perempuan, nyatanya hal itu malah menjadikan perempuan menjadi kelompok rentan yang harus menanggung kekerasan dalam waktu lama. Terlebih di masa pandemi, kebijakan penyekatan kemudian turut menyumbang kenaikan kasus KDRT yang mau tidak mau membatasi gerak perempuan dan anak.

Tingginya angka kekerasan itu berakar dari budaya patriarki yang masih kuat dan langgeng dalam benak masyarakat kita. Pada kultur toksik patriarki, posisi laki-laki, terutama yang sudah berkeluarga, mempersepsikan dirinya sebagai pemegang kuasa penuh terhadap istri dan anak. Bukan sebagai subjek saling bahagia membahagiakan dalam hubungan keluarga harmonis, tapi sebagai objek dan kepemilikan.

Praktik buruk objektifikasi perempuan ini bahkan telah lama dilakukan sebelum Islam datang. Perempuan dianggap sebagai benda yang bebas diperlakukan apa saja sesuai kehendak laki-laki yang memiliki hubungan terdekat dengannya. Sebagai warga kelas dua, suara perempuan tak pernah diindahkan dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Jika keluarganya menganggap lahirnya bayi perempuan adalah aib, ia akan segera dikubur hidup-hidup karena khawatir ia akan menjadi sumber kesialan di kemudian hari.

Pun jika akhirnya ia dibiarkan hidup, anak perempuan tumbuh menjadi pemuas kaum pria. Ia wajib melayani kehendak pria, termasuk bapaknya sekalipun. Dan anak-anak perempuan tidak diperbolehkan bekerja di luar rumah. Mereka cukup untuk memasak di dapur, melayani suami (pria) saat malam hari dan mencuci pakaian. Tak heran bila kemudian muncul adagium bahwa perempuan itu tugasnya hanya di dapur, di sumur dan di kasur.

Menurut Frederik Engels dalam The Origin of the Family, Private Property and the State, pelanggengan budaya patriarki tadi juga terkait erat dengan tradisi masa lampau di banyak wilayah saat sektor agrikultur berkembang pesat yang lebih mengedepankan tenaga kerja di lingkungan keluarga dan pewarisan kekayaan. Konsekuensinya, suami/laki-laki mendapuk dirinya sebagai pemilik kuasa tertinggi dalam rumah tangga, termasuk pemegang otoritas tubuh istri dan anak-anaknya.

Kultur kepemilikan ini terus dirawat agar istri dapat melahirkan anak yang akan mewarisi kekayaan laki-laki/suami, sekaligus dapat menjadi tenaga kerja domestik sekaligus membantu kelangsungan potensi agrikultur yang suami miliki. Dari latar belakang itu, stigma perempuan dan anak tak memiliki otoritas pada tubuhnya kemudian semakin berkembang, juga label bahwa ranah perempuan hanya ada pada kerja domestik semata. Sehingga bisa disimpulkan, domestikasi perempuan sesungguhnya bukan warisan Islam, tapi hasil konstruksi sosial.

Jika Islam mengamanahkan hal tersebut, tentu kita tidak akan pernah mendengar riwayat bahwa para perempuan di zaman Nabi aktif berjihad di ruang publik, seperti Rubayi binti Muawwidz dan Ummu Athiyah yang menyiapkan konsumsi dan mengobati prajurit terluka di medan perang. Di kalangan pedagang, ada Qailah Ummu Bani Ammar dan Malkah ats-Tsaqafiyah yang juga mengais rezeki dengan menawarkan barang-barang mereka.

Dengan menelisik sejarah, bisa disimpulkan bahwa domestikasi perempuan justru bukan terbentuk secara alami atau kodrat Ilahi, tapi lebih kepada konsekuensi kehidupan masa lampau yang tak relevan untuk dipraktikkan masa kini. Terlebih, rumah pun belum tentu menjadi tempat aman bagi perempuan dan anak.

Apalagi ketika kekerasan seksual dapat dilakukan oleh anggota keluarga sendiri. Oleh karenanya, domestikasi bukan solusi. Justru yang perlu lebih ditekankan adalah bagaimana membentuk pola pikir bahwa tubuh perempuan dan anak tak layak diobjektifikasi agar tak terjadi kekerasan seksual oleh orang terdekatnya sendiri, lagi dan lagi. []

Tags: Domestikasi PerempuanKasus Luwu TimurKekerasan seksual
Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Marital Rape

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Peran Ibu

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

1 Juli 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Keluarga Maslahah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

28 Juni 2025
Sakinah

Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID