Mubadalah.id – Beberapa hari terakhir, hujan turun deras hampir sepanjang siang dan malam. Kadang-kadang disertai angin kencang yang tak hanya menarik serta atap seng atau menjatuhkan genteng-genteng dan membuat rumah-rumah jadi bocor tergenang air, tetapi juga membawa paksa kenangan-kenangan dari masa lalu. Memang, hal-hal yang ingin kita ingat kadang malah terlupakan, sementara hal-hal yang ingin kita lupakan justru bercokol erat di kepala. Mungkin satu-satunya cara melupakannya hanyalah dengan mencopot batok kepala dari lehernya.
Aku ingat betul malam itu, hujan lebat dan lampu badai bergoyang-goyang lama karena angin yang menyertai hujan bertiup begitu kencangnya, sebelum akhirnya lampu badai itu padam. Usiaku baru tujuh. Kami masih menempati sebuah rumah kecil berdinding anyaman bambu dengan satu kamar saja yang menjadi kamarku, bapak dan ibu. Rumahku belum terjangkau listrik tentu, sehingga tiap malam kami menyalakan lampu badai berbahan bakar minyak tanah di kamar dan sebuah lampu petromaks kecil di ruang tamu, yang juga merangkap ruang keluarga dan ruang makan.
Aku terpejam pura-pura terlelap. Emak mengelus kepalaku dan bapak duduk di ujung tempat tidur. Mereka semua tampaknya mengira aku sudah tidur.
“Pak, kita tak bisa begini terus,” kudengar suara emak berbicara pelan. Tak ada tanggapan. Bapak masih diam. “Kita harus berbuat sesuatu. Pikirkan Tiara Pak,” lanjut emak. Suaranya terdengar bergetar.
Aku tak mendengar apa-apa lagi setelahnya, kecuali isakan kecil bapak. Dan hujan yang semakin membadai di luar sana. Seakan menangisi apapun keputusan yang dibuat emak dan bapak di malam itu.
Yang kutahu, beberapa hari kemudian, emak pergi. Dan tidak pernah kembali lagi.
*
Rumah ini sudah banyak berubah. Temboknya tersusun dari batu bata merah yang dilapisi adonan pasir semen, serta dicat kuning muda. Warna yang begitu ceria. Mungkin seceria harapan masa kanak-kanakku. Aku ingat waktu masih ada emak, aku pernah bercita-cita ingin menjadi dokter. Lalu tinggal di sebuah rumah besar, mengajak bapak dan emak tinggal di sana bersamaku, menikmati makanan yang enak dan buah apel serta anggur yang selama itu hanya kulihat saja gambarnya di buku pelajaran sekolah tanpa tahu seperti apa rasanya. Harapan yang begitu sederhana.
Aku masih tinggal di rumah itu saat pertama kali direnovasi. Sejak kepergian emak, kehidupan kami memang berangsur membaik. Bapak bisa membeli berbidang-bidang tanah, merenovasi rumah, dan aku ingat bapak membelikanku seragam, tas sekolah, dan sepatu baru. Aku tahu semua itu dibeli dari uang yang dihasilkan emak. Entah dimanapun emak berada.
Aku berhenti bertanya kemana emak pergi karena jawaban bapak selalu sama: Emak bekerja.
Orang tua teman-temanku tentu juga bekerja. Tapi mereka berangkat pagi dan pulang sore. Sementara emak tidak. Sejak pergi di usiaku yang enam, emak tak pernah kembali. Dan aku terlalu sedih untuk terus mengharapkan kepulangannya. Sehingga pada akhirnya aku memilih untuk hidup seolah-olah emak tidak pernah ada.
Kenanganku tentang emak pun pelan-pelan memudar. Aku bahkan lupa seperti apa wajah emak sebenarnya. Setiap malam, sebelum tidur, aku selalu membayangkan wajah emak. Mengingat-ingat seperti apa rupanya, seperti apa baunya, dan aku selalu mendapati bayangan serta aroma yang berbeda-beda. Hingga akhirnya akupun benar-benar lupa seperti apa rupa emak sebenarnya.
Fotonya, aku sama sekali tak punya. Bahkan foto pernikahan emak dan bapakpun tak ada. Membuatku kadang curiga kalau pernikahan mereka mungkin hanya ala kadarnya, sampai tak ada satu tukang fotopun yang mengabadikan peristiwa penting itu.
“Mbak Tiara, bunganya sudah dironce semua,” Lik Tinah, tetangga rumah, masuk membawa senampan besar bunga-bunga yang sudah dironce. Aku tersentak dari lamunanku, lalu mengangguk, menerima nampan itu dan meletakannya di atas meja.
“Kain jariknya nggak kurang kan nggih Lik?” tanyaku, seperi orang bingung, seperti orang yang baru saja terbangun dari mimpi.
Lik Tinah menatap setumpukan kain jarik di dekat nampan itu dan terlihat menghitung tanpa suara. “Nggak… nggak kurang itu Mbak. Air buat mandiin jenasah sudah siap, kain kafan juga sudah.”
Aku kembali mengangguk, merapikan kerudungku, dan segera berjalan ke tempat untuk memandikan jenasah. Diikuti langkah kaki Lik Tinah. Di sana sudah berkumpul beberapa kerabat dan saudara. Aku meraih gayung dan mulai menyiramkan air di tubuh yang terbujur kaku di hadapanku. Mataku pelan-pelan basah. Tenggorokanku tercekat. Dalam hati, aku berbisik lirih, “Pangapunten kulo, Pak…”
*
Setelah mulai masuk SMP, aku tahu emak pergi bekerja jadi TKW. Lik Tinah yang memberitahuku. Sudah sejak lama aku dan bapak tidak pernah berbicara tentang emak. Lagi pula bapak lama-lama berubah dan aku mulai membencinya. Ia mulai jarang pulang. Kadang, ia pulang terlalu larut dengan bau menyengat yang menguar dari baju dan badannya.
Kami mulai jarang bercakap-cakap. Bapak terlihat sibuk dengan dunianya sendiri. Akupun begitu. Lama kelamaan, kami seperti orang asing yang tak saling mengenal. Aku tak lagi pernah mengharapkan kepulangannya. Kadang, aku lebih sering berusaha menghindarinya saat ia di rumah. Aku juga lebih sering berada di rumah Lik Tinah, makan dan tidur di sana.
Dari Lik Tinah pula aku mendengar banyak cerita tentang emak. Dulu Lik Tinah satu sekolah dengan emak di sekolah dasar. Tapi emak jauh lebih muda dua tingkat dari Lik Tinah.
“Kenapa emak harus jadi TKW Lik?” tanyaku suatu hari sambil membantu Lik Tinah mengupas bawang.
“Entahlah Mbak,” Lik Tinah memanggilku mbak sejak aku kecil memang. Karena tak punya anak, ia juga memperlakukanku seperti anaknya sendiri saja. Ia lebih banyak merawatku malah, dibanding dengan bapakku sendiri. “Kudengar bapak dan ibumu terlilit banyak hutang. Usaha yang dirintis bapakmu bangkrut, sementara modal yang tak seberapa itu hasil berhutang sama Juragan Mino di dusun Muntuk sana. Hutangnya memang tak seberapa tapi bunganya lama-lama membengkak besar dan bapak serta ibumu tak lagi mampu membayar,” lanjut Lik Tinah.
Kemudian hari aku paham, hutang itu pula yang membuat kami kehilangan segalanya, termasuk tanah warisan dari kakek dan nenek yang terpaksa dijual untuk membiayai keberangkatan emak ke luar negeri.
“Kenapa lama sekali emak pulangnya?” tanyaku lagi.
“Katanya dulu cuma empat tahun saja Mbak, tapi nambah empat tahun lagi. Terakhir kudengar, emakmu dapat majikan baru dan kontrak baru. Entah nambah berapa tahun lagi, aku tak paham.”
Aku mengangguk. Belakangan aku tahu, emak tak pulang-pulang karena majikannya yang terakhir menyiksanya, emak berusaha kabur, tapi tertangkap. Bukannya dideportasi, emak dikembalikan ke majikannya, dan penyiksaan itu terus berlanjut sampai akhirnya kematian menjemput. Kudengar, keluarga di sini meminta agar jenasah emak dikembalikan, tapi nyatanya sampai sekarang jenasah emak tak pernah datang.
Hal itu akhirnya menjawab mengapa di tahun terakhir masa SMA-ku, bapak menjuali tanah-tanah yang dibelinya semasa emak bekerja. Uang tabungan kiriman emak berangsur habis, dan kami tak lagi punya apa-apa selain tanah-tanah yang sempat dibeli bapak dengan uang-uang itu. Aku menyesalkan bapak yang tak mau bekerja sehingga kami harus kembali terpuruk seperti ini. Kemarahanku semakin menumpuk dan aku menimpakan segala nasib buruk ini pada bapak.
Aku menyalahkan bapak karena merasa bahwa bapaklah penyebab emak harus jadi TKW dan akhirnya mati. Aku menyalahkan bapak karena impianku menjadi dokter terpaksa kandas setelah semua uang tabungan dari kiriman emak ludes entah kemana. Aku menyalahkan bapak karena kehidupanku tak saja minus emak, tapi akhirnya aku seperti hidup tanpa bapak juga. Aku menyalahkan bapak untuk segalanya.
Begitu lulus SMA aku memutuskan pergi dari rumah. Dan seperti emak, aku tidak pernah kembali. Sampai hari itu, dua hari sebelum hari kematian bapak, ketika berita bapak sakit keras sampai padaku serupa gelegar petir di siang terik. Segala kebencianku menguap. Aku langsung mengajukan ijin pada rumah sakit. Tidak, aku tidak bekerja menjadi dokter di sana, aku hanya seorang perawat muda yang bertahun-tahun bekerja agar bisa bertahan hidup di kerasnya ibu kota. Lalu, akupun pulang.
Sore itu, hujan turun begitu deras seperti desingan peluru di medan perang. Aku berdiri menatap gundukan tanah merah di hadapanku dan teringat hujan di malam terakhirku bersama emak, emak yang kuburannya entah ada di mana. Aku menangis. Entah pada siapa lagi aku harus menyalahkan segala kepedihan ini.***