Mubadalah.id – Ada sejumlah faktor mengapa trafiking terjadi dan marak di Indonesia saat ini. Faktor pertama adalah kemiskinan. Saat ini diperkirakan ada sekitar 32,53 juta jiwa dari 273 juta penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah penduduk miskin terutama terdapat di desa-desa.
Faktor lainnya yang sangat berpengaruh terhadap trafiking dan terkait erat dengan kemiskinan adalah tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, dan perkawinan di bawah umur.
Kemudian perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, sempitnya lapangan kerja, pengangguran yang besar, dan sebagainya.
Tingkat pendidikan yang rendah, pengangguran, dan kelangkaan lapangan kerja di negeri ini telah mendorong dan menggerakkan banyak perempuan Indonesia, terutama remaja perempuan, untuk menyerah dan tidak berdaya secara penuh dan total kepada siapa saja yang “berjasa” memberinya pekerjaan, apapun bentuknya.
Hal ini pada gilirannya membuka ruang bagi banyak orang untuk melakukan trafiking. Hari ini saja Indonesia tercatat sebagai negara pengirim tenaga kerja migran, terutama perempuan, terbesar di dunia.
Konsorsium Buruh Migran Indonesia (KOPBUMI) mencatat ada sekitar 5 juta buruh migran Indonesia, terbanyak berasal dari Jawa Barat, NTB, dan Jawa Timur. Satu hingga satu setengah juta di antaranya adalah korban trafiking.
Budaya Patriakhi
Di samping itu, faktor utama terjadinya trafiking adalah masih kuatnya budaya patriarkhi. Perempuan di dalam budaya ini dianggap sebagai manusia yang lemah, tak berdaya, sangat tergantung kepada laki-laki, dan sebagainya.
Dalam kasus buruh migran di atas, dengan jelas terlihat betapa besar jumlah perempuan daripada laki-laki yang menjadi korban trafiking. Posisi tersebut pada gilirannya banyak pihak manfaatkan dan mengeksploitasi untuk memperoleh keuntungan.
Perdagangan manusia (trafficking) menurut deklarasi universal hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan bentuk pelanggaran HAM dalam bentuk yang sangat kompleks.
Pelanggaran tersebut meliputi pelanggaran atas hak-hak hidup, seperti hak kebebasan pribadi, hak tidak disiksa, hak kebebasan berfikir, hak tidak diperbudak, hak sebagai pribadi dengan kedudukan yang sama di depan hukum, hak reproduksi secara sehat, dan sebagainya.
Dalam praktiknya trafiking selalu mengandung unsur ancaman, penyiksaan fisik, penyekapan dan kekerasan seksual. Semua praktik-praktik ini jelas juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia. []