Mubadalah.id – Selama ini, kita tidak dapat menutup mata bahwa dalam kurun waktu yang sangat panjang dirasakan benar bahwa kenyataan sosial dan budaya memperlihatkan hubungan laki-laki dan perempuan yang timpang.
Kaum perempuan masih diposisikan sebagai bagian dari laki-laki (subordinasi), dimarginalkan bahkan didiskriminasi. Ini dapat dilihat dengan nyata pada peran-peran mereka baik dalam sektor domestik (rumah tangga) maupun publik.
Para pemikir feminis mengemukakan bahwa posisi-posisi perempuan demikian itu di samping karena faktor-faktor ideologi dan budaya yang memihak laki-laki. Keadaan timpang tersebut boleh jadi juga mendapatkan justifikasi oleh pemikiran kaum agamawan.
Hal ini misalnya terlihat pada penafsiran mereka atas ayat al-Qur’an pada surat an-Nisa ayat 34 :
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ
Artinya: “Laki-laki adalah ‘qawwam’ atas perempuan dikarenakan Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari harta mereka. (QS. an-Nisa ayat 34)
Para ahli tafsir menyatakan bahwa ‘qawwam’ berarti pemimpin, penanggungjawab, pengatur, pendidik dan sebagainya. Katagori-katagori ini sebenarnya tidaklah menjadi persoalan yang serius, sepanjang kita tempatkan secara adil dan tidak berdasarkan dari pandangan yang diskriminatif.
Akan tetapi secara umum para ahli tafsir, berpendapat bahwa superiotas laki-laki ini adalah mutlak. Sebab superioritas ini Tuhan lah yang ciptakan. Oleh karena itu, tidak akan pernah berubah. Kelebihan laki-laki dari perempuan sebagaimana dalam ayat di atas oleh para penafsir al-Qur’an menyebutkan karena akalnya dan fisiknya.
Pandangan Al-Razi
Al-Razi dalam tafsirnya, misalnya mengatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan meliputi dua hal ilmu pengetahuan/pikiran/akal (al’ilm) dan kemampuan (al-qudrah). Artinya bahwa akal dan pengetahuan laki-laki melebihi akal perempuan, dan bahwa untuk pekerjaan-pekerjaan keras ia lebih sempurna.
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh para penafsir yang lain, seperti Ibnu Katsir, A-Zamakhsyari, Al-Qurthubi, Muhammad Abduh, Syeikh Muhammad Thahir bin Asyir, Al-Thabathaba’i, Al-Hijazi dan lain-lain.
Akan tetapi, semua superioritas di atas, dewasa ini tidak dapat lagi kita pertahankan sebagai sesuatu yang general dan mutlak. Artinya tidak setiap laki-laki pasti lebih berkualitas daripada perempuan. []