Mubadalah.id – Pembunuhan yang dilakukan Bagas, seorang anak yang dianggap anak kandung oleh Raden Mas Kamandjaya, kepada ayahnya, terjadi bukan karena memperebutkan perempuan cantik yang bernama Ratri Sujita. Namun karena dendam berkepanjangan yang tersimpan di antaranya. Di mana keduanya saling mengetahui bahwa di antaranya sama sekali tidak memiliki hubungan darah. Adapun ihwal yang memperebutkan Ratri hanyalah faktor yang membakar bara yang sebelumnya sudah saling menyala.
Ending dari film Gowok (2025) tersebut, telah merepresentasikan bagaimana rasa benci telah memicu pertumpahan darah yang sangat dahsyat. Sudah berapa banyak fakta tragis yang terjadi dengan penyebab utamanya adalah kebencian. Sebut saja, perseteruan di antara publik figur akhir-akhir ini, seperti dugaan perselingkuhan, yang dari kedua belah pihaknya saling menuduh dan merasa benar dari podcast satu ke podcast lainnya.
Pada gilirannya, jika hal itu tidak lagi terbendungkan, maka tidak heran akan terjadi sebagaimana peristiwa akhir di dalam film Gowok (2025). Yakni bertindak secara destruktif bahkan saling membunuh. Namun, terlepas paparan yang penulis uraikan, kiranya dapat kita mengerti bahwa pangkal dari sebuah ungkapan menyakitkan, merendahkan, bahkan tindakan yang lebih destruktif yang bersliweran di publik akhir-akhir ini, terlahir dari rasa benci.
Betapa tidak manusiawinya ketika ada sosok yang menjelma menjadi penolong korban yang terdampak dari tragedi banjir bandang di Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara, berhasil menyalurkan bantuannya tanpa mengandalkan dana pemerintah. Namun ia masih tetap ternilai buruk oleh pihak yang (mungkin) membencinya.
Krisis Rasa Kemanusiaan
Galangan dana dari partisipasi masyarakat sipil itu berhasil mendapatkan angka 10 Miliar. Aksi ini diremehkan begitu saja sambil teriringi kata-kata yang menyakitkan. Bahkan lebih tragisnya, aksi penolongan atas nama masyarakat Indonesia (tanpa adanya bantuan dari Institusi negara) anggapannya sebagai aksi yang “sok-sokan.” Di mana publik pahami tidak ada bedanya dengan aksi jumawa, sombong, dan merasa paling hebat sendiri.
Kita sadari atau tidak, pernyataan pihak yang menganggap aksi kemanusiaan dengan sedemikian negatifnya, telah membeberkan wajah asli pihak yang sedang dilanda krisis rasa kemanusiaan.
Bagaimana tidak, yang seharusnya saling membantu korban yang terdampak. Sebaliknya, mereka justru merendahkan aksi yang lahir dari rasa solidaritas publik untuk membantu korban bencana banjir bandang yang sedemikian tragisnya. Jika rasa kemanusiaan hadir di dalam jiwa mereka, tentu saja anggapan itu tidak muncul, bahkan justru mereka mengapresiasi atau bahkan mendukungnya dengan aksi nyata.
Bencana Atroposen
Di sinilah letak keselarasan argumen Joko Priyono dalam esainya yang berjudul Bencana Atroposen (Tempo.co, 7 Desember, 2025). Ia menganggap bahwa bencana besar yang terjadi di Pulau Sumatra, bukan sekedar bencana alam yang terjadi secara alami, namun juga lahir atas andil tangan manusia.
Hal ini terbukti, selain adanya gelondongan kayu yang berstempel atas nama negara, juga reaksi pihak berwenang yang bersembunyi tangan. Selain itu anggapan ironis atas aksi bantuan kemanusiaan yang terlemparkan oleh wakil rakyat.
Alih-alih mereka belajar dari tragedi demonstrasi besar-besaran yang terjadi beberapa bulan lalu. Di mana dari peristiwa ini terjadi pembakaran gedung dewan di beberapa daerah. Lalu matinya pengemudi ojol, dan hilangnya para demonstran. Justru mereka malah kembali melemparkan ungkapan perih di kala saudara kemanusiaannya menjadi korban bencana. Dan hanya ada dua kemungkinan, mengapa ungkapan tersebut bisa mereka katakan. Jika tidak karena benci, karena krisisnya rasa kemanusian dalam dirinya.
Melepaskan Kebencian
Pada akhirnya, jika kebencian telah membakar bara sedemikian rupa, baik dari kisah fiksi hingga ruang-ruang nyata, kita sedang menghadapi bencana Atroposen yang sesungguhnya. Reaksi destruktif dari para pemangku kuasa terhadap aksi kemanusiaan di Sumatra, yang dianggap “sok-sokan” dan mereka remehkan. Ini bukan sekadar kekeliruan, melainkan wujud dari krisis nurani yang telanjang dengan sendirinya.
Mereka telah membuktikan bahwa kebencian dan absennya rasa empati adalah dua mata dari pisau yang sama. Tidak hanya melukai korban bencana, tetapi juga membunuh rasa kemanusiaan dalam diri mereka sendiri.
Sehingga, kita tidak punya pilihan selain menumbuhkan cinta. Bukan dalam artian yang romantis, melainkan solidaritas universal. Melepaskan kebencian adalah satu-satunya investasi yang sehat, sebab energi yang kita habiskan untuk merendahkan jauh lebih mahal daripada upaya membangun. Jika tidak, kisah tragis Bagas dan Raden Mas Kamandjaya dalam film Gowok (2025) hanya akan menjadi cermin paling akurat atas nasib bangsa yang kehilangan akal dan hatinya. []









































