Mubadalah.id – Menurutmu pernikahan itu berkonsekuensi menghalalkan atau memiliki? seorang sahabat bertanya lalu saya jawab begini, pernikahan harus dipahami dengan dua sisi; praktis dan subtantif. Secara praktis adalah transaksi/akad (‘aqd) yang memiliki dua unsur subjek (‘āqidain) dan objek (ma’qūd). Dalam hal ini anda boleh menyamakan dua subjek itu adalah suami dan wali sementara objeknya adalah istri, ini hanya untuk memperjelas bahwa calon suami dan calon istri sungguh-sungguh dalam mengucap suatu ikatan janji/akad.
Saya tidak setuju jika pernikahan berdampak kepemilikan, siapa memiliki siapa. Sebab dalam teori ekonomi sesuatu yang bisa memiliki tidak bisa dimiliki. Oleh karenanya dulu, harta seorang budak (‘abd) seluruhnya dimiliki oleh tuannya karena budak bisa dimiliki dengan jual-bali, hibah dan sebagainya maka ia tidak bisa memiliki. Sementara sekarang konsep perbudakan sudah dihapus baik dalam hukum positif ataupun hukum syariat.
Sampai di sini clear. Perempuan bisa memiliki hartanya maka ia tidak bisa dimiliki oleh siapapun. Jadi keliru jika ada lelaki yang melamarmu dengan berkata “Aku ingin memilikimu seutuhnya” bukankah berarti kau mau dia jadikan budak?
Secara substantif pernikahan adalah sarana kesejahteraan. Pasangan (zauj) diciptakan untuk saling memberi ketenangan dengan berbekal kasih dan sayang (QS. Ar-Rūm: 21). Dalam kitab-kitab fikih umumnya pernikahan diartikan dengan akad yang menghalalkan persebadanan (istimtā’) dengan orang yang tidak mahram secara nasab, sesusuan atau hubungan kemertuaan.
Syekh Wahbah Az-Zuhailī dalam karya opusnya Alfiqh al-Islāmī wa adillatuhū mengatakan pernikahan berimplikasi kepemilikan mutlak beristimtā’ bagi laki-laki dan legalitas (tanpa memiliki) bagi perempuan, artinya jika perempuan sudah menikah maka tidak boleh ada lelaki lain yang bersebadan dengannya. Beda dengan lelaki, meski sudah menikah ia masih punya legalitas melakukan hal yang sama dengan 3 istri lain.
Barangkali konsep ini yang disalahpahami oleh kebanyakan lelaki yang ingin memiliki perempuannya. Padahal konsep ini hadir untuk mengatakan fakta ilmiah bahwa lelaki diperbolehkan memiliki 4 istri dengan ketentuan-ketentuan yang lumayan rumit. Bukan untuk memberi wewenang kepemilikan suami atas istri.
Bukti bahwa tujuan menikah adalah kenyamanan dan kesejahteraan adalah dinamisme hukum menikah. 1) Wajib jika tidak menikah diyakini akan berbuat zina, 2) haram jika diyakini dengan menikah akan mendiskriminasi perempuan (tidak mampu memberi nafkah atau tidak adil dengan istri yang lain), 3) makruh jika khawatir terjadi diskriminasi/bahaya, 4) sunah dalam keadaan normal (usia dewasa mampu fisik dan psikis) dan 5) mubah jika sudah mampu tapi lebih senang beribadah yang lain.
Perubahan hukum ini bertujuan mencari kemaslahatan bagi semua pihak. Syariat tidak hanya mementingkan kepuasan satu pihak (laki-laki) melainkan pihak lain (istri dan anak). Lelaki jika sudah memiliki kemampuan mencari nafkah dan kebelet menikah, tidak bisa ditahan dengan berpuasa, maka lakukanlah karena di sana ada kebaikan yaitu menjaga dari zina (I’fāf). Namun andai belum mampu mencari nafkah dan hak-hak istri lainnya maka menikah tidak boleh dilaksanakan sebab akan ada kedzaliman di sana yaitu terlantarnya istri.
Dan begitu seterusnya, setiap hukum memiliki alasannya masing-masing yang bertumpu pada untuk mendatangkan maslahat pada semua pihak dan menolak mafsadat (jalbu al-maṣālih wa dar-u al-mafāsid) dari semuanya. Dengan demikian menikah adalah ibadah yang bergantung pada kemaslahatan. Jika mendatangkan maslahat maka ia ibadah, jika tidak maka bukan ibadah.
Syekh Abū Bakr Syaṭā’ ad-Dimyaṭī berkomentar tentang tujuan menikah dengan mengutip dari ahli medis bahwa menikah memiliki 3 manfaat; melanjutkan keturunan, mengeluarkan cairan yang tak baik berdiam dalam tubuh dan memperoleh kenikmatan.
Manfaat yang pertama disarikan dari hadis تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Menikahlah kalian dengan orang yang dicinta lagi subur, sebab aku bangga pada nabi yang lain kelak di hari kiamat”, untuk mewujudkan kebanggaan Nabi maka dianjurkanlah menikah bagi orang yang sudah mampu.
Tentang manfaat yang kedua penulis kitab I’ānatu aṭ-Ṭālibīn ini tidak asal-asalan, menurut beberapa artikel yang saya baca, laki-laki usia 20-29 yang mengeluarkan mani 21 kali perbulan dengan cara seks sehat (bukan masturbasi atau cara berbahaya lainnya) memiliki kemungkinan kanker prostat 19% lebih rendah dan beberapa efek positif bagi kesehatan.
Untuk manfaat yang terakhir, ada seorang pengantin anyar pernah bilang “Menikah itu enaknya 1%, 99% nya selebihnya enak banget” komentar ini tidak berarti dalam hubungan seksual saja melainkan dalam lingkup yang lebih luas. Misal sebelum menikah terbiasa melakukan pekerjaan rumah sendirian, setelah menikah bisa menjalaninya berdua, pekerjaan lebih ringan dan cepat selesai. Nikmat bukan?
Bagaimanapun perbedaan tujuan pernikahan menurut para ahli fikih itu bersumber dari ayat yang saya sebutkan di atas (QS. Ar-Rūm: 21), pernikahan disyariatkan untuk memberikan ketenangan satu dengan yang lain. Jikapun dipastikan ada polemik maka ia hadir untuk saling mengisi dan memperbaiki bukan saling membenci apalagi mendiskriminasi. walLahu A’lam. []