Mubadalah.id – Salingers, masih kuat puasanya? Masih jalan amalan-amalan ibadahnya? Tentunya, masih bahagia dong! Momen Ramadan yang hanya terjadi setahun sekali ini harus benar-benar kita lalui dengan suka hati. Baik itu dalam relasi dengan diri sendiri, terhadap sesama makhluk Ilahi, maupun dengan Dia Sang Rabb al-Izzati. Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh berkah bagi umat Muhammad dan umat-umat terdahulu, sehingga semua insan berlomba-lomba memperbaiki diri guna mengharap limpahan berkah tersebut dengan menjalankan berbagai amalan.
Bahkan menurut riwayat Abu Hurairah, Kanjeng Nabi memotivasi umatnya agar giat beribadah di bulan mulia ini dengan mengatakan bahwasanya semua setan dibelenggu dan ditutupnya pintu-pintu neraka. Sehingga hendaknya umat Kanjeng Nabi tidak menyia-nyiakan bergulirnya waktu yang terlewati di dalamnya (HR. Ahmad, Nasa’i dan Baihaqi).
Di era sekarang ini, kita semua tidak terlepas dari kehidupan bermedia sosial. Kita memiliki karakter masing-masing tentang apa-apa yang kita bagikan di media sosial yang kita punya. Termasuk membagikan kegiatan amalan ibadah selama Ramadan. Baik itu saat sahur, saat salat wajib dan tarawih berjamaah, saat tadarus, saat membagikan sedekah saat berbuka, dan masih banyak lagi. Apakah hal-hal yang demikian termasuk dari flexing ibadah yang tidak diperbolehkan?
Asal Mula Istilah Flexing
Flexing merupakan sebuah istilah yang merujuk pada kebiasaan pamer bagi orang-orang yang memiliki kelebihan, terutama dalam hal materi duniawi. Sikap ini dilakukan untuk mendapatkan pengakuan atas apa yang sedang dipamerkan tersebut. Sehingga, secara lebih luas, flexing juga bisa masuk pada ranah lainnya, pamer pencapaian kerja, pamer kebahagiaan keluarga, pamer pencapaian studi, pamer relasi, pamer melakukan kebaikan, termasuk juga pamer dalam melaksanakan amalan ibadah di bulan Ramadan.
Apakah flexing ibadah itu selalu buruk? Benarkah flexing ibadah harus kita hindari? Lalu, apakah flexing ibadah selalu memudarati?
Merespon pertanyaan tersebut, saya teringat suatu kejadian. Di mana kejadian itu almarhum Ayah saya gunakan untuk memotivasi orang agar gemar beribadah. Pada suatu hari, Ayah kedatangan seorang tamu yang menyatakan kegundahan hatinya. Ia berkata, “Pak Ustaz, saya ini lagi belajar istiqamah ibadah. Tapi kenapa dalam hati saya selalu ingin apa yang saya lakukan itu terlihat oleh orang lain.”
Jawaban Ayah saat itu hanya, “Bagus. Kerjakan dan lanjutkan saja. Semua perlu proses. Nanti lama-kelamaan juga perasaan riya’/flexing itu akan hilang dengan sendirinya. Karena jika sudah terbiasa melakukan sebuah kebaikan, maka nanti kita tidak akan memerlukan pujian dan pengakuan dari orang lain. Jika sudah menjadi sebuah kebiasaan, apabila kita tinggalkan akan merasa ada yang kurang.”
Melatih Diri Agar tidak Riya’
Dengan kata lain, melatih diri/riyadlah itu perlu proses, tidak semudah membalik telapak tangan. Dan proses itu harus dilewati. Menjadi riya’ sementara waktu adalah kewajaran, yang penting ingat pada tujuan akhir, yakni Dia. Tidak sedikit orang yang menyerah melakukan kebaikan karena khawatir riya’.
Padahal, riya’ harus kita latih untuk menghilangkannya. Salah satu jalan baiknya adalah dengan melakukan kebaikan-kebaikan kepada diri sendiri dan sesama. Kalau dalam dunia Tasawuf ada yang namanya lathifah dan maqamat. Di mana yang harus kita latih dan lewati setiap tahapannya untuk meraih akhir yang paripurna.
Jadi bagaimana status hukum dari flexing segala amalan selama Ramadan? Tentu boleh-boleh saja. Karena mau kita tampakkan atau tidak kepada orang lain, apapun kebaikan itu pasti orang lain ketahui. Saat kita memberi sedekah, orang yang diberi pasti akan selalu mengingat, bahkan menceritakan ke orang lain bahwa orang tersebut adalah orang yang dermawan. Terlepas dari adanya riya’ atau tidak dalam hatinya.
Mau kita umumkan atau tidak saat taraweh, jamaah satu masjid juga tahu bahwa kita hadir dalam prosesi tersebut. Seperti halnya juga saat Kanjeng Nabi Uzlah di Gua Hira, para wali yang tapa dan suluk, semua tirakat tersebut mustahil tidak orang lain ketahui. Bagaimana respon mereka dan kondisi jiwa kita, semua tergantung maksudnya.
Tidak Selamanya Pamer itu Buruk
Tidak selamanya menampakkan sesuatu itu kita maksudkan untuk pamer. Mungkin ini yang bisa kita latih dan luruskan masing-masing dalam diri. Jika ingin membagikan aktivitas ibadah selama Ramadan, niatkan untuk mengedukasi, atau sebagai upaya sosialisasi. Selain itu bisa juga untuk menjadi inspirasi, dan motivasi dalam mendakwahkan nilai-nilai kebaikan. Sehingga dengan demikian pamer yang kita lakukan adalah pamer yang hasanah muakkadah.
Di momen Ramadan, Ayah juga kerap menyampaikan tingkatan orang puasa dengan mengutip pernyataan Imam Ghazali. Bahwasanya orang yang berpuasa itu memiliki tiga tingkatan: puasanya orang awam (poso aam); puasanya orang khusus (poso khaas); dan puasa khusus buat orang khusus (poso khawash al-khawash).
Poso khas adalah puasanya orang kebanyakan, yakni sekedar menahan lapar dan dahaga sejak terbitnya matahari hingga datangnya mega merah. Adapun terpenuhinya syarat-syarat sahnya secara syara’. Poso khaas adalah puasa menahan anggota tubuh dan alat indra untuk bermaksiat atau melakukan dosa. Menahan diri gak nyinyir, marah, iri, adu domba, dan sejenisnya, termasuk menyebarkan berita hoaks yang belum tervalidasi kebenarannya. Puasa yang demikian adalah puasanya orang-orang salih.
Sedangkan Poso khawash al-khawash adalah puasa tingkatan tertinggi, tidak sekedar berpuasa secara syariat (poso aam) dan hakekat (poso khaas) saja. Tetapi melakukan keduanya kita barengi dengan puasa makrifat. Di mana indikator batalnya adalah lupanya hati dari menyebut nama-Nya. Puasa kategori ini adalah puasanya para Nabi, shiddiiqiin, muqarrabiin, dan awliyaaallah.
Flexing Hasanah Muakkadah
So, mari gunakan kesempatan flexing hasanah muakkadah ini untuk bersama-sama mengingatkan, menguatkan, dan memotivasi satu dan lainnya untuk mencapai segala keberkahan selama Ramadan. Flexing ibadah bareng-bareng sebagai bagian menyemarakkan bulan mulia, tradisi membangunkan sahur bareng-bareng yang menyenangkan, tradisi berbagi bukaan dengan teman-teman komunitas yang kita agendakan dan dokumentasikan.
Atau bisa juga ngabuburit bareng-bareng dan kita unggah sebagai dophamin silaturahim yang memanjangkan usia, jamaah tarawih dan tadarus yang menguatkan komuni, dan masih banyak lagi. Yuk, kita ramaikan dan raih berkah selama Ramadan ini secara bersama-sama. Yakni guna menapaki tangga-tangga tingkatan puasa untuk menjadi insan yang mulia. Entah itu di dunia nyata, maupun di sosial media. Ramadan Mubarak! []