Mubadalah.id – Islam memberi perhatian besar terhadap haidh, nifas, dan istihadhah bukan hanya karena aspek medisnya, tetapi karena ketiganya berimplikasi pada banyak hukum agama.
Dalam ibadah, misalnya, perempuan yang sedang haidh dilarang shalat dan puasa; dalam mu’amalah, ada aturan mengenai thaharah (kesucian); dan dalam munakahah, ada ketentuan hubungan suami-istri yang tidak boleh dilakukan saat haidh.
Namun, bila kita cermati secara mendalam, sebagaimana dalam pandangan Nyai Hj. Badriyah Fayumi dalam tulisannya di Kupipedia.id, al-Qur’an tidak membahas haidh secara detail. Al-Qur’an justru menekankan aspek filosofis dan teologisnya.
Dalam Surah Al-Baqarah ayat 222, Allah berfirman, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: itu adalah kotoran. Maka jauhilah perempuan di waktu haidh, dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci.”
Kata adzā dalam ayat tersebut sering mereka terjemahkan sebagai “kotoran”, padahal secara etimologis berarti “sesuatu yang menyakitkan” atau “mengganggu”.
Dengan demikian, ayat ini seharusnya kita pahami bukan sebagai bentuk penistaan terhadap perempuan. Melainkan perhatian terhadap kondisi biologis dan kenyamanan perempuan itu sendiri.
Sayangnya, tafsir yang patriarkal sering menafsirkan ayat ini sebagai justifikasi bahwa perempuan haidh itu najis, tidak suci, dan harus mereka hindari. Padahal, konteks ayat tersebut lebih pada etika relasi suami-istri dan penghormatan terhadap tubuh perempuan yang sedang mengalami perubahan biologis.
Hadis dan Fiqh
Nabi Muhammad Saw telah memberi panduan kepada istri dan sahabat perempuan, seperti Sayyidah Aisyah dan Fatimah binti Abu Hubaisy, tentang tata cara bersuci, kapan boleh shalat, dan bagaimana membedakan darah haidh dan istihadhah.
Namun dalam perkembangan ilmu fiqh, pembahasan ini menjadi semakin rumit dan detail. Ulama membahas panjang lebar tentang warna darah, lama haidh, serta hukum-hukum cabang yang sering kali membingungkan perempuan.
Bahkan dalam beberapa kitab fiqh, perempuan yang mengalami istihadhah dianggap tidak stabil, karena dianggap selalu dalam kondisi hadas.
Nyai Badriyah menyebut, pembahasan ini dalam batas-batas tertentu mengandung bias gender. Bias ini tampak ketika tubuh perempuan dikontrol dengan sangat ketat oleh tafsir keagamaan laki-laki. Sementara pengalaman biologis perempuan sendiri jarang menjadi sumber pengetahuan.
Padahal, Islam tidak pernah melarang perempuan berpikir dan berijtihad atas tubuhnya sendiri. Dalam sejarah Islam, para perempuan sahabat seperti Aisyah RA justru menjadi rujukan utama dalam hal-hal yang berkaitan dengan haidh.
Artinya, otoritas pengetahuan tentang tubuh perempuan seharusnya kembali ke perempuan itu sendiri. []








































