Mubadalah.id – Wacana gender dalam konteks Haramain—Mekkah dan Madinah—selalu menjadi medan kajian yang menarik. Karena kedua kota suci ini berada pada titik pertemuan antara religiusitas, tradisi, modernitas, aturan negara, dan praktik ibadah jutaan Muslim dunia. Haramain bukan sekadar ruang ritual; ia adalah ruang sosial, ruang publik, dan ruang kultural yang hidup.
Oleh karena itu, diskusi mengenai gender di Haramain tidak dapat terpisahkan dari dinamika sosial-keagamaan yang terus bergerak dalam skala global.
Batasan ruang, cara masyarakat mengakses situs suci, hingga bagaimana perempuan dan laki-laki mengambil peran dalam pengalaman ibadah maupun aktivitas publik. Semuanya terjalin dalam satu lanskap yang kompleks. Setiap elemen saling bertaut, membentuk gambaran utuh tentang bagaimana ruang suci ini beradaptasi, menegosiasikan tradisi, dan merespons tuntutan zaman dengan caranya sendiri.
Konstruksi Batasan Gender dan Ruang Suci
Haramain dalam sejarah panjangnya selalu menjadi ruang dengan struktur gender yang spesifik. Konstruksi batasan gender di ruang suci tidak muncul begitu saja, tetapi terbentuk melalui interaksi antara penafsiran keagamaan, tradisi lokal, dan regulasi otoritas pengelola.
Ruang khusus perempuan, pembagian jalur thawaf, atau area salat yang terpisahkan merupakan contoh dari batasan yang terbangun untuk alasan yang diklaim berkaitan dengan ketertiban, kenyamanan, dan keamanan jamaah.
Namun, batasan ini sering kali terpahami secara sempit hanya sebagai “pemisahan.” Padahal secara sosial batasan gender sejatinya adalah cara masyarakat menata ruang. Dalam konteks Haramain, penataan ini memiliki legitimasi religius karena berkaitan dengan konsep adab, kesucian tempat, serta kehormatan jamaah.
Meski begitu, tidak semua batasan bersifat permanen. Sebagian adalah hasil konstruksi sosial yang berubah seiring perubahan masyarakat Muslim global. Misalnya, pada musim haji, penataan ruang menjadi lebih fleksibel karena membludaknya jamaah. Dalam situasi ini, praktik di lapangan menunjukkan bahwa banyak aturan batasan gender menyesuaikan kebutuhan, bukan bersifat absolut.
Selain itu, diskursus gender di Haramain juga terpengaruhi oleh narasi kesucian. Sebagai ruang yang dianggap paling suci dalam Islam, keseimbangan antara keteraturan ibadah dan keterlibatan semua jamaah menjadi pertimbangan utama. Oleh karena itu, batasan gender sering kali diposisikan sebagai bagian dari upaya menjaga ketertiban di tengah intensitas keramaian dan besarnya skala ritual.
Namun, seiring meningkatnya kesadaran gender dan semakin luasnya peran perempuan dalam ruang publik global, masyarakat mulai mempertanyakan apakah batasan-batasan tertentu di Haramain merupakan keharusan agama atau sekadar bentuk budaya yang terwarisi dari masa lalu.
Perluasan Akses dan Perubahan Kebijakan
Beberapa tahun terakhir, kebijakan terkait akses perempuan di Arab Saudi mengalami perubahan signifikan, dan dampaknya turut terasa di Mekkah dan Madinah. Pemerintah Saudi membuka ruang yang lebih besar bagi perempuan untuk terlibat dalam berbagai sektor. Mulai dari layanan publik, keamanan, hingga perhotelan dan pariwisata religi. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi cara perempuan mengakses ruang-ruang di Haramain.
Modernisasi layanan ibadah, seperti pengamanan masjid berbasis teknologi, sistem antre digital, dan pelebaran area thawaf, menciptakan akses yang lebih inklusif. Penataan zona khusus perempuan kini dibuat lebih terintegrasi dan tidak sepenuhnya terpisah dari jalur utama jamaah, sehingga pengalaman ibadah menjadi lebih setara. Bahkan dalam beberapa situasi, perempuan memiliki akses lebih cepat di tempat-tempat tertentu demi menjaga alur pergerakan jamaah.
Perubahan ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma, bahwa akses perempuan tidak lagi terlihat sebagai potensi masalah, tetapi sebagai bagian penting dari tata kelola tempat suci. Namun demikian, perluasan akses tidak selalu berjalan mulus.
Masih terdapat kritik bahwa beberapa kebijakan belum sepenuhnya sensitif gender. Misalnya dalam hal ketersediaan fasilitas, ruang menyusui, atau jalur aman bagi perempuan lansia dan perempuan yang datang tanpa mahram. Meski begitu, tren perubahan kebijakan tetap mengarah pada keterbukaan dan penguatan kesetaraan akses.
Selain itu, meningkatnya jumlah perempuan yang melakukan umrah mandiri setelah pelonggaran aturan mahram memperlihatkan transformasi signifikan. Perempuan kini memiliki kesempatan untuk membangun pengalaman spiritual yang lebih otonom dan tidak bergantung pada struktur keluarga patriarkal. Fenomena ini turut memperkaya wacana gender di Haramain karena menempatkan perempuan sebagai subjek aktif dalam perjalanan ibadahnya.
Partisipasi Perempuan dalam Ibadah dan Ruang Publik Haramain
Partisipasi perempuan di Haramain tidak hanya berkaitan dengan kehadiran mereka sebagai jamaah, tetapi juga peran mereka dalam struktur pelayanan ibadah.
Dalam beberapa tahun terakhir, perempuan mulai hadir sebagai petugas keamanan, pemandu jamaah, akademisi riset haramain, teknisi, hingga staf pengelola Masjidil Haram dan Nabawi. Kehadiran perempuan dalam peran-peran ini menandai perubahan penting. Bahwa ruang suci bukan hanya tempat perempuan menjalankan ibadah, tetapi juga ruang kerja dan kontribusi sosial.
Dari sisi jamaah, partisipasi perempuan semakin beragam. Keterlibatan perempuan dalam majelis-majelis ilmu, halaqah Al-Qur’an, hingga kegiatan edukasi nonformal di halaman masjid menunjukkan bahwa aktivitas perempuan tidak hanya terbatas pada ritual formal. Mereka juga menjadi bagian dari dinamika intelektual Haramain. Bahkan pada musim haji, peran perempuan dalam kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH), sebagai tenaga medis, maupun relawan sosial semakin diakui.
Namun, partisipasi ini masih menghadapi tantangan. Persepsi sebagian masyarakat yang masih memandang kehadiran perempuan di wilayah publik sebagai sesuatu yang perlu terbatasi menjadi hambatan kultural. Selain itu, ada pula tantangan struktural seperti kepadatan, risiko pelecehan, dan ketidaksetaraan fasilitas yang memerlukan intervensi kebijakan yang lebih serius.
Ruang yang Lebih Inklusif
Meski demikian, perkembangan keterlibatan perempuan menunjukkan bahwa Haramain sedang bergerak menuju ruang yang lebih inklusif. Wacana gender di tempat suci kini tidak lagi terpaku pada pertanyaan “apa yang boleh” atau “apa yang tidak boleh.” Melainkan bergeser pada bagaimana memastikan bahwa setiap jamaah—laki-laki maupun perempuan—mendapatkan pengalaman ibadah yang aman, nyaman, dan bermartabat.
Pembacaan terhadap Haramain dalam perspektif gender menunjukkan bahwa batasan, akses, dan partisipasi adalah tiga titik analisis yang saling berkaitan. Ruang suci selalu berubah mengikuti dinamika sosial umatnya, dan Haramain hari ini adalah cerminan dari dunia Muslim yang sedang mencari keseimbangan antara tradisi dan kesetaraan.
Dengan terus mengembangkan kebijakan yang sensitif gender dan mengakui kontribusi perempuan dalam berbagai sektor, Haramain dapat menjadi contoh bagaimana ruang religius tetap suci sambil tetap inklusif terhadap semua jamaah. []











































